Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Farewell Rain - Chapter 3

 Reina tersenyum lebar sambil memandangi bintang yang menghiasi malam hari ini. Senyum itu bahkan tidak luntur ketika tiba-tiba saja ada awan mendung, dan hujan rintik mulai turun membasahi bumi. She don’t care about that. Dia suka bintang dan hujan, dua keindahan alam yang paling disukainya.
Mata Reina tertuju pada sudut lain dinding yang dia jadikan R&K Moment’s. Kenangan-kenangannya bersama Kay dari kecil sampai sekarang. Dinding yang dekat dengan jendela dan sofa yang dijadikannya Pojok Santai itu dihiasi sebuah Styrofoam besar berwarna biru muda dan ditempeli berbagai foto-foto masa kecilnya bersama Kay. Di dekat Styrofoam itu ada sebuah lemari kecil dari kayu. Hadiah dari Kay waktu dia berulang tahun ke-14, tiga tahun yang lalu. Lemari itu berisi album-album fotonya bersama Kay, hadiah-hadiah yang diberikan Kay ketika dia berulang tahun, saat Christmas, Tahun Baru, juga pada Valentine’s Day. Semua barang-barang pemberian Kay ditaruhnya di lemari kecil itu.
Reina melompat bangun dari sofa putih yang didudukinya dan menghampiri lemari kayu itu. Dia meneliti sebentar dan tersenyum lebar menemukan apa yang dicarinya. Sebuah buku diary berwarna ungu muda dengan hiasan kupu-kupu cantik berwarna putih.
Itu hadiah ulang tahun Kay tahun lalu. Kay bilang hadiah itu adalah buatannya sendiri, dan Reina tidak pernah menyangka Kay akan membuat buku diary dari kertas warna-warni bekas yang dikumpulkan menjadi satu dan dihias begitu cantik. Kay memang sering memberikannya hadiah buku diary di setiap dia berulang tahun, bersama hadiah-hadiahnya yang lain, yang kata Kay, adalah hasil dari kerja sambilannya mengajar privat dan melatih beberapa anak komplek main sepakbola. Bayaran melatih anak-anak komplek memang tidak seberapa, tapi Reina selalu senang melihat Kay gembira setiap kali selesai mengajari sepakbola. Orang-orang di komplek perumahan mereka tidak tahu reputasi Kay yang dijuluki trouble maker dan hanya tahu kalau Kay adalah anak yang sopan dan penurut. Reina sering menggoda Kay tentang hal itu, yang dibalas dengan wajah cemberut oleh cowok itu.
Reina mengelus buku itu, mengagumi kehebatan Kay yang jago mendaur ulang. Dia membuka diary itu dan membaca kalimat yang tertulis pada halaman pertama.
Happy Birthday to my lovely girl, Reina. Now, ur sweet seventeen! Congrats!
Hope u like this diary dan mau menuliskan semua hari-harimu di sini. J
And I hope u will love to tell me, not only in this diary, but also the maker. Hehehe…
Anyway, once more, Happy Sweet Seventeen, Reina. May God bless you with His miracle, always.
Reina tersenyum membaca kalimat itu. Seperti yang biasa dia lakukan pada semua buku harian yang diberikan Kay, dia selalu menuliskan semua yang dialami dan dirasakannya ke dalam buku diary pemberian cowok itu. Tidak peduli seberapa parah atau buruknya hari yang dialaminya.
Gadis itu tersenyum lebar dan mengambil pensil mekanik dari kotak pensilnya, kemudian membawa buku diary itu ke sofa dan mulai menulis.
Dear My Luvly Diary, 110714
You know, hari ini juga adalah hari yang paling indah bagiku. Hari ini aku sukses memaksa Kay jalan-jalan denganku. Hehehe… aku memang kejam, sih kalau soal Kay. Soalnya aku suka nggak tahan melihat Kay diam terus di sekolah. Dia selalu… kelihatan kesepian.
Anyway, hari ini kami jalan-jalan keliling Jakarta. Walau nggak sampai ke Dufan, sih. Aku tadi mau memaksa Kay ke sana, tapi aku tahu Kay ada jadwal mengajar les privat, jadi kami hanya jalan-jalan sambil sesekali berhenti untuk cari makan. Hehehe… kalau soal makan, kami memang nggak kira-kira, seperti biasanya.
My Diary, kamu tahu, aku sudah sering menuliskan hal seperti ini, tentang hari-hariku dengan Kay. I have so much fun together with him! Rasanya aku nggak perlu lagi cowok lain selain dia. Apa aku terlalu muluk kalau aku ingin sekali saja mendengarnya mengucapkan three magic words, kayak drama-drama romantic yang sering kutonton dengan Mama? I hope he will, someday, maybe.

***

Kay baru saja pulang dari rumah tempat dia mengajar les privat, seorang siswi SMP yang akan menempuh ujian nasional tahun depan. Kay sempat ditawari makan dulu oleh ibu siswi itu, tapi dia menolak karena dia tidak berselera makan. Kay yakin, dia bukannya tidak berselera makan, tapi lebih karena dia tidak terlalu suka mengajar anak didik privatnya kali ini, yang sifatnya sedikit… nakal.
Kay bergidik ketika mengingat anak didiknya itu menggodanya sepanjang les privat. Dia memang punya julukan trouble maker, tapi itu bukan berarti dia benar-benar seorang pembuat onar. Malah, dia jarang berkumpul di tempat-tempat yang biasa menjadi tongkrongan anak-anak sepertinya dirinya. Kay lebih memilih berdiam di rumah atau mengajar les privat. Selain lumayan bisa mendapatkan uang dari hasil kerja sendiri, dia juga bisa sesekali mengulang pelajaran yang sudah nyaris dilupakannya seperti pelajaran SMP.
“Kay!!”
Kay mendongak dan melihat kearah rumah Reina, yang bersebelahan dengan rumahnya. Dia melihat cewek itu duduk manis di teras rumahnya dan sedang melambai kearahnya. Kay belum sempat bereaksi ketika Reina sudah berdiri dan berlari menghampirinya.
“Baru pulang mengajar les?” tanya Reina sambil membuka pintu pagar rumahnya.
“Iya… ini baru pulang.” kata Kay, “Kenapa kamu di luar? Bukannya sekarang sudah malam? Kamu, kan tidak tahan dingin.”
“Aku dari tadi menunggumu.” Ujar Reina tanpa memperdulikan nada suara Kay yang terdengar menegur. “Kamu pasti belum makan, kan? Kita makan bareng di rumahku, yuk!”
“Tidak usah. Aku makan di rumah saja.” kata Kay, menolak dengan halus, “Lagipula Tante Renata juga pasti kecapekan setelah mengurus butiknya, kan?”
Mama Reina memang punya usaha butik yang cukup terkenal di Jakarta dan sudah punya banyak cabang di Pulau Jawa. Rencananya beliau akan menambah cabang di luar pulau, kemungkinan besar di Kalimantan atau Bali.
Reina menggeleng mendengar ucapan Kay.
“Nggak, tuh. Mama malah bilang, kalau kamu lewat di depan rumah, suruh ajak makan malam bareng.” Kata Reina. “Ayo, deh… kita makan dulu. Nanti aku antar kamu sampai rumah dengan selamat. Ya? Ya? Ya?”
Kay tidak bisa menolak jika Reina sudah membujuknya dengan nada memelas seperti itu.

***

Tante Renata, Mama Reina, ternyata memasak ikan patin bakar kesukaan Reina, dan juga sambal goreng kentang. Ada juga mie goreng dengan suwiran daging ayam yang kelihatan enak banget.
Tante Renata menyambut ramah Kay dan mengajaknya makan bersama. Kay tentu saja tidak bisa menolak, apalagi Reina sudah menariknya ke tempat duduk dan menghidangkan sepiring nasi dan lauknya yang menggunung di hadapan cowok itu. Sesekali Kay ditawari untuk tambah setiap lima menit sekali.
Kay menolak dengan halus tawaran untuk menambah makanan ke piringnya lagi. Selain karena dia sungkan, porsi yang diambilkan Reina tadi benar-benar membuat perutnya tambah gendut beberapa senti!
“Ma, aku ke rumah Kay dulu, ya?” kata Reina setelah mereka selesai makan malam.
“Jangan pulang malam-malam, lho ya! Besok kamu sekolah, kan?”
“Ah, Mama kayak nggak tahu aku saja. Kalau aku nggak pulang, kan berarti aku menginap di rumah Kay.” Ujar Reina.
“Reina…”
“Hehe…, iya Ma, aku tahu, kok.” Reina tertawa dan mencium pipi Mamanya.
“Yuk, Kay!”
Reina menarik tangan Kay dan mengajak cowok itu keluar. Kay membuka pintu pagar rumahnya dan langsung berpapasan dengan Bi Ijah, pembantu di rumahnya.
“Mama belum pulang, Bi?” tanya Kay.
“Belum, Tuan. Tapi, tadi Tuan Besar ke sini.” ujar Bi Ijah.
“Papa tadi ke sini?”
“Iya, Tuan. Tapi terus pergi lagi, katanya nanti saja lagi kemari kalau Tuan Kay sudah datang.”
Kay manggut-manggut, “Ya sudah. Tolong buatkan minuman dan cemilan, ya, Bi. Aku sama Reina mau ke kamar.”
“Baik, Tuan.”
Kay kemudian masuk ke dalam rumah. Reina mengikutinya di belakang. Gadis itu mengedarkan pandangannya pada interior rumah Kay yang bernuansa abu-abu dan putih, khas rumah minimalis modern. Terkesan dingin dan kaku.
“Kay, kamu nggak ada niat untuk mengganti warna cat rumahmu?” tanya Reina sambil mengikuti Kay yang menaiki tangga. “Warna abu-abu dan putih kelihatan suram.”
“Mama nggak mau mengganti warnanya.” Kata Kay sambil mengedikkan bahu. “Memangnya warna abu-abu dan putihnya kelihatan suram, ya?”
“Banget.” Kata Reina sambil menggandeng tangan Kay dan menuju kamar cowok itu.
Reina sudah sering bermain ke rumah Kay, itu berarti dia juga sering keluar-masuk kamar Kay. Reina tersenyum kecil ketika melihat interior kamar Kay yang dihiasi warna biru tua. Sebuah tempat tidur beralaskan sprei biru tua terdapat di dekat jendela kamar. Ada meja belajar lengkap dengan kursinya. Lemari pakaian dan juga rak buku, serta koleksi gitar Kay. Selain suka sepakbola, Kay juga suka music dan bisa memainkan gitar. Reina sering meminta Kay memainkan lagu-lagu kesukaannya kalau dia sedang berkunjung ke rumah Kay.
Di sudut lain ada TV plasma yang ditanamkan di dinding serta seperangkat audio speaker lengkap, juga satu set PS3 dan PS4 keluaran terbaru. Reina sempat melihat DVD game Final Fantasy XIII favorit Kay. Koleksi boneka figurin Kamen Rider, Ultraman, dan juga tokoh-tokoh game menghiasi ‘pojok bermain’ itu.
Kay melemparkan tasnya dan mengambil handuk yang tersampir di kursi belajarnya.
“Aku mau mandi dulu. Kamu boleh menunggu sambil melakukan apa saja di sini, asal jangan bikin macam-macam saja.” kata Kay.
“Tenang saja, aku hanya akan mengutak-atik laptopmu, kok.” Kata Reina tersenyum lebar. “Oh ya, ada anime Ore Monogatari, nggak? Aku belum nonton episode yang terbaru.”
“Rasanya aku sudah men-download-nya. Lihat saja di laptop.” Kata Kay, “Kamu tahu saja yang mana foldernya, kan? Aku mandi dulu.”
Pintu kamar mandi menutup di depan Reina, dan gadis itu langsung menghampiri meja belajar Kay. Di sana ada laptop kesayangan Kay (Kay punya dua laptop, satu untuk main game, nonton atau mendengarkan music, yang satu lagi untuk urusan sekolah dan kegiatan penting akademis), Reina menyalakan satu laptop yang memuat anime-anime koleksi Kay, dan mencari folder anime yang dicarinya.
Kay memang suka anime, kartun Jepang. Dan Reina sering menumpang nonton episode anime terbaru di tempat Kay kalau dia tidak sempat men-download atau sedang nggak mood untuk nonton anime. Biasanya, Kay yang men-download anime untuknya. Dan dengan fasilitas internet yang selalu tersedia dua puluh empat jam di rumahnya, Kay bisa men-download anime, music, atau film terbaru sesukanya.
Di rumahnya memang ada koneksi internet juga, tapi Reina sering tidak enak memakai fasilitas itu untuk men-download hal lain selain pelajaran, ber-facebook ria, memeriksa Twitter atau e-mail. Karena itulah dia meminta Kay yang men-download. Memang dia merasa seperti parasit, tapi Reina selalu membuatkan donat kentang berlapis coklat atau es krim untuk Kay. Jadi, ada hubungan timbal-baliknya juga. Hehehe…
Bi Ijah datang sambil membawa seteko limun segar dan kue coklat favorit Reina. Gadis itu mencomot satu kue coklat di atas nampan yang dibawa Bi Ijah dan memuji rasa coklatnya yang benar-benar lezat.
Kay keluar dari kamar mandi dengan kaus putih dan celana basket berwarna hitam. Rambutnya agak basah karena dia juga keramas. Bau harum sampo beraroma mint tercium dari rambut cowok itu.
Kay lalu duduk di dekat Reina sambil tangannya mencomot kue coklat di atas nampan. Berdua mereka menonton anime di laptop Kay sambil sesekali tertawa.
“Eh, Kay, kamu tahu Stevan?”
“Salah satu penggemarmu, kan?” tebak Kay, “Kalau tidak salah dia itu kapten basket sekolah dan jadi Ketua Siswa juga. Aku kenal dia karena pernah satu kelompok dengannya saat acara pariwisata sekolah. Memangnya, kenapa?”
“Dia… dia menembakku tadi sore di rumah.”
Kue coklat yang sedang dalam perjalanan ke mulutnya terhenti. Kay menatap Reina yang sedang menunduk sambil memandangi gelas limunnya.
“Dia menembakmu?”
Reina mengangguk.
 “Sore tadi dia datang ke rumah. Kamu tahu, kan, aku termasuk anggota OSIS? Kupikir dia datang ke rumah karena mau minta data pensi yang akan dilaksanakan sebulan lagi. Tapi, ternyata dia menembakku. Dia bilang, dia suka denganku sejak kelas satu…” kata Reina.
“Dan jawabanmu apa?” tanya Kay.
“Belum kujawab. Aku… aku tidak suka dengannya.” Kata Reina lagi. “Dia terlalu… sempurna, dan playboy. Aku tidak suka tipe cowok seperti itu.”
“Kamu jangan begitu. Siapa tahu dia mau mengubah sikap playboy-nya setelah pacaran dengan kamu?” kata Kay.
“Tapi, tetap saja aku nggak suka. Aku, kan sudah suka sama seseorang.” Kata Reina sambil memasang wajah cemberut.
“Memangnya siapa orang yang kamu suka?”
“Itu…” Reina membuka mulutnya, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Sebaliknya, wajahnya memerah dan dia memilih memperhatikan layar laptop sambil mengunyah kue di tangannya.
Kay sendiri tidak memaksa Reina untuk mengatakan yang sebenarnya. Dia pikir, Reina masih belum siap untuk memberitahu siapa cowok yang disukainya. Dan Kay menghormati kebebasan Reina untuk mengatakan hal itu padanya, walau diamnya Reina kalau ditanya soal cowok yang disukainya sedikit membuat hatinya sakit.
“Kay,”
“Ada apa?”
“Kalau kita suka sama seseorang, dan orang itu nggak pernah tahu kalau kita suka sama dia… bagaimana harus menyikapinya?” tanya Reina.
“Hmm…” Kay menghentikan video yang mereka tonton dan mengerutkan kening. “Mungkin aku akan bersikap tidak ada apa-apa dan menganggap apa pun yang ada diantara kami biasa-biasa saja. Tapi, lain lagi kalau orang yang kita suka memiliki perasaan yang sama dengan kita. Kalau itu yang terjadi, kita harus berjuang untuk mendapatkannya.”
“Berjuang?”
“Iya. Kalaupun orang itu belum mengetahui perasaan kita, kita harus berjuang agar perasaan kita tersampaikan pada orang itu. Kita harus mencobanya, karena kalau tidak mencoba, tidak akan ketahuan hasilnya seperti apa.”
Reina memiringkan kepalanya mendengar jawaban Kay, kemudian manggut-manggut.
“Benar juga.” Kata gadis itu, “Terima kasih, ya, Kay. Sudah memberikan nasihat yang baik.”
“Sama-sama.” Kay memeluk bahu Reina dan mencium puncak kepala gadis itu. “Kalau kamu ada masalah, cerita sama aku atau Kak Rion, ya? Jangan dipendam sendiri di dalam hati.”
“Iya, sayang…” Reina tertawa dan memeluk Kay, “Aku jadi makin sayang sama kamu, deh. Boleh kucium, nggak?”
“Cium lagi? Memangnya kita anak keci, pakai main cium segala?” Kay balas tertawa dan mencubit hidung Reina yang mancung.
“Iiih, Kay!!!”

***

Setelah Reina pulang (dan sebelumnya sempat merengek mau menginap di rumahnya), Kay duduk sambil memetik gitar kesayangannya. Gitar ayahnya yang selalu dia rawat setiap hari. Dia memikirkan percakapan Reina mengenai perasaan seseorang yang bertepuk sebelah tangan, dan menerka-nerka apakah perasaan yang sedang dia rasakan sekarang ini adalah perasaan bertepuk sebelah tangan yang sama seperti yang mereka bicarakan.
Kay memetik gitarnya, menciptakan nada-nada tak beraturan, sama seperti perasaannya sekarang.

0 komentar:

Posting Komentar