Mata Reina tertuju pada sudut lain
dinding yang dia jadikan R&K Moment’s.
Kenangan-kenangannya bersama Kay dari kecil sampai sekarang. Dinding yang dekat
dengan jendela dan sofa yang dijadikannya Pojok Santai itu dihiasi sebuah Styrofoam besar berwarna biru muda dan
ditempeli berbagai foto-foto masa kecilnya bersama Kay. Di dekat Styrofoam itu ada sebuah lemari kecil
dari kayu. Hadiah dari Kay waktu dia berulang tahun ke-14, tiga tahun yang
lalu. Lemari itu berisi album-album fotonya bersama Kay, hadiah-hadiah yang
diberikan Kay ketika dia berulang tahun, saat Christmas, Tahun Baru, juga pada Valentine’s Day. Semua barang-barang pemberian Kay ditaruhnya di
lemari kecil itu.
Reina melompat bangun dari sofa
putih yang didudukinya dan menghampiri lemari kayu itu. Dia meneliti sebentar
dan tersenyum lebar menemukan apa yang dicarinya. Sebuah buku diary berwarna ungu muda dengan hiasan
kupu-kupu cantik berwarna putih.
Itu hadiah ulang tahun Kay tahun
lalu. Kay bilang hadiah itu adalah buatannya sendiri, dan Reina tidak pernah
menyangka Kay akan membuat buku diary
dari kertas warna-warni bekas yang dikumpulkan menjadi satu dan dihias begitu
cantik. Kay memang sering memberikannya hadiah buku diary di setiap dia berulang tahun, bersama hadiah-hadiahnya yang
lain, yang kata Kay, adalah hasil dari kerja sambilannya mengajar privat dan
melatih beberapa anak komplek main sepakbola. Bayaran melatih anak-anak komplek
memang tidak seberapa, tapi Reina selalu senang melihat Kay gembira setiap kali
selesai mengajari sepakbola. Orang-orang di komplek perumahan mereka tidak tahu
reputasi Kay yang dijuluki trouble maker
dan hanya tahu kalau Kay adalah anak yang sopan dan penurut. Reina sering
menggoda Kay tentang hal itu, yang dibalas dengan wajah cemberut oleh cowok
itu.
Reina mengelus buku itu, mengagumi
kehebatan Kay yang jago mendaur ulang. Dia membuka diary itu dan membaca kalimat yang tertulis pada halaman pertama.
Happy
Birthday to my lovely girl, Reina. Now, ur sweet seventeen! Congrats!
Hope u
like this diary dan mau menuliskan semua hari-harimu di sini. J
And I
hope u will love to tell me, not only in this diary, but also the maker.
Hehehe…
Anyway,
once more, Happy Sweet Seventeen, Reina. May God bless you with His miracle,
always.
Reina tersenyum membaca kalimat
itu. Seperti yang biasa dia lakukan pada semua buku harian yang diberikan Kay,
dia selalu menuliskan semua yang dialami dan dirasakannya ke dalam buku diary pemberian cowok itu. Tidak peduli
seberapa parah atau buruknya hari yang dialaminya.
Gadis itu tersenyum lebar dan
mengambil pensil mekanik dari kotak pensilnya, kemudian membawa buku diary itu
ke sofa dan mulai menulis.
Dear My Luvly Diary, 110714
You know, hari ini juga adalah hari yang paling
indah bagiku. Hari ini aku sukses memaksa Kay jalan-jalan denganku. Hehehe… aku
memang kejam, sih kalau soal Kay. Soalnya aku suka nggak tahan melihat Kay diam
terus di sekolah. Dia selalu… kelihatan kesepian.
Anyway, hari ini kami jalan-jalan keliling
Jakarta. Walau nggak sampai ke Dufan, sih. Aku tadi mau memaksa Kay ke sana,
tapi aku tahu Kay ada jadwal mengajar les privat, jadi kami hanya jalan-jalan
sambil sesekali berhenti untuk cari makan. Hehehe… kalau soal makan, kami
memang nggak kira-kira, seperti biasanya.
My Diary, kamu tahu, aku sudah sering
menuliskan hal seperti ini, tentang hari-hariku dengan Kay. I have so much fun
together with him! Rasanya aku nggak perlu lagi cowok lain selain dia. Apa aku
terlalu muluk kalau aku ingin sekali saja mendengarnya mengucapkan three magic
words, kayak drama-drama romantic yang sering kutonton dengan Mama? I hope he
will, someday, maybe.
***
Kay baru saja pulang dari rumah tempat dia
mengajar les privat, seorang siswi SMP yang akan menempuh ujian nasional tahun
depan. Kay sempat ditawari makan dulu oleh ibu siswi itu, tapi dia menolak
karena dia tidak berselera makan. Kay yakin, dia bukannya tidak berselera
makan, tapi lebih karena dia tidak terlalu suka mengajar anak didik privatnya
kali ini, yang sifatnya sedikit… nakal.
Kay bergidik ketika mengingat anak
didiknya itu menggodanya sepanjang les privat. Dia memang punya julukan trouble maker, tapi itu bukan berarti
dia benar-benar seorang pembuat onar. Malah, dia jarang berkumpul di
tempat-tempat yang biasa menjadi tongkrongan anak-anak sepertinya dirinya. Kay
lebih memilih berdiam di rumah atau mengajar les privat. Selain lumayan bisa
mendapatkan uang dari hasil kerja sendiri, dia juga bisa sesekali mengulang
pelajaran yang sudah nyaris dilupakannya seperti pelajaran SMP.
“Kay!!”
Kay mendongak dan melihat kearah
rumah Reina, yang bersebelahan dengan rumahnya. Dia melihat cewek itu duduk
manis di teras rumahnya dan sedang melambai kearahnya. Kay belum sempat
bereaksi ketika Reina sudah berdiri dan berlari menghampirinya.
“Baru pulang mengajar les?” tanya
Reina sambil membuka pintu pagar rumahnya.
“Iya… ini baru pulang.” kata Kay,
“Kenapa kamu di luar? Bukannya sekarang sudah malam? Kamu, kan tidak tahan
dingin.”
“Aku dari tadi menunggumu.” Ujar
Reina tanpa memperdulikan nada suara Kay yang terdengar menegur. “Kamu pasti
belum makan, kan? Kita makan bareng di rumahku, yuk!”
“Tidak usah. Aku makan di rumah
saja.” kata Kay, menolak dengan halus, “Lagipula Tante Renata juga pasti
kecapekan setelah mengurus butiknya, kan?”
Mama Reina memang punya usaha butik
yang cukup terkenal di Jakarta dan sudah punya banyak cabang di Pulau Jawa.
Rencananya beliau akan menambah cabang di luar pulau, kemungkinan besar di
Kalimantan atau Bali.
Reina menggeleng mendengar ucapan
Kay.
“Nggak, tuh. Mama malah bilang,
kalau kamu lewat di depan rumah, suruh ajak makan malam bareng.” Kata Reina.
“Ayo, deh… kita makan dulu. Nanti aku antar kamu sampai rumah dengan selamat.
Ya? Ya? Ya?”
Kay tidak bisa menolak jika Reina
sudah membujuknya dengan nada memelas seperti itu.
***
Tante Renata, Mama Reina, ternyata memasak ikan
patin bakar kesukaan Reina, dan juga sambal goreng kentang. Ada juga mie goreng
dengan suwiran daging ayam yang kelihatan enak banget.
Tante Renata menyambut ramah Kay
dan mengajaknya makan bersama. Kay tentu saja tidak bisa menolak, apalagi Reina
sudah menariknya ke tempat duduk dan menghidangkan sepiring nasi dan lauknya
yang menggunung di hadapan cowok itu. Sesekali Kay ditawari untuk tambah setiap
lima menit sekali.
Kay menolak dengan halus tawaran
untuk menambah makanan ke piringnya lagi. Selain karena dia sungkan, porsi yang
diambilkan Reina tadi benar-benar membuat perutnya tambah gendut beberapa
senti!
“Ma, aku ke rumah Kay dulu, ya?”
kata Reina setelah mereka selesai makan malam.
“Jangan pulang malam-malam, lho ya!
Besok kamu sekolah, kan?”
“Ah, Mama kayak nggak tahu aku
saja. Kalau aku nggak pulang, kan berarti aku menginap di rumah Kay.” Ujar
Reina.
“Reina…”
“Hehe…, iya Ma, aku tahu, kok.”
Reina tertawa dan mencium pipi Mamanya.
“Yuk, Kay!”
Reina menarik tangan Kay dan
mengajak cowok itu keluar. Kay membuka pintu pagar rumahnya dan langsung
berpapasan dengan Bi Ijah, pembantu di rumahnya.
“Mama belum pulang, Bi?” tanya Kay.
“Belum, Tuan. Tapi, tadi Tuan Besar
ke sini.” ujar Bi Ijah.
“Papa tadi ke sini?”
“Iya, Tuan. Tapi terus pergi lagi,
katanya nanti saja lagi kemari kalau Tuan Kay sudah datang.”
Kay manggut-manggut, “Ya sudah.
Tolong buatkan minuman dan cemilan, ya, Bi. Aku sama Reina mau ke kamar.”
“Baik, Tuan.”
Kay kemudian masuk ke dalam rumah.
Reina mengikutinya di belakang. Gadis itu mengedarkan pandangannya pada
interior rumah Kay yang bernuansa abu-abu dan putih, khas rumah minimalis
modern. Terkesan dingin dan kaku.
“Kay, kamu nggak ada niat untuk
mengganti warna cat rumahmu?” tanya Reina sambil mengikuti Kay yang menaiki
tangga. “Warna abu-abu dan putih kelihatan suram.”
“Mama nggak mau mengganti
warnanya.” Kata Kay sambil mengedikkan bahu. “Memangnya warna abu-abu dan
putihnya kelihatan suram, ya?”
“Banget.” Kata Reina sambil
menggandeng tangan Kay dan menuju kamar cowok itu.
Reina sudah sering bermain ke rumah
Kay, itu berarti dia juga sering keluar-masuk kamar Kay. Reina tersenyum kecil
ketika melihat interior kamar Kay yang dihiasi warna biru tua. Sebuah tempat
tidur beralaskan sprei biru tua terdapat di dekat jendela kamar. Ada meja
belajar lengkap dengan kursinya. Lemari pakaian dan juga rak buku, serta
koleksi gitar Kay. Selain suka sepakbola, Kay juga suka music dan bisa
memainkan gitar. Reina sering meminta Kay memainkan lagu-lagu kesukaannya kalau
dia sedang berkunjung ke rumah Kay.
Di sudut lain ada TV plasma yang
ditanamkan di dinding serta seperangkat audio
speaker lengkap, juga satu set PS3 dan PS4 keluaran terbaru. Reina sempat
melihat DVD game Final Fantasy XIII
favorit Kay. Koleksi boneka figurin Kamen Rider, Ultraman, dan juga tokoh-tokoh
game menghiasi ‘pojok bermain’ itu.
Kay melemparkan tasnya dan
mengambil handuk yang tersampir di kursi belajarnya.
“Aku mau mandi dulu. Kamu boleh
menunggu sambil melakukan apa saja di sini, asal jangan bikin macam-macam
saja.” kata Kay.
“Tenang saja, aku hanya akan
mengutak-atik laptopmu, kok.” Kata Reina tersenyum lebar. “Oh ya, ada anime Ore Monogatari, nggak? Aku belum nonton
episode yang terbaru.”
“Rasanya aku sudah men-download-nya. Lihat saja di laptop.”
Kata Kay, “Kamu tahu saja yang mana foldernya, kan? Aku mandi dulu.”
Pintu kamar mandi menutup di depan
Reina, dan gadis itu langsung menghampiri meja belajar Kay. Di sana ada laptop
kesayangan Kay (Kay punya dua laptop, satu untuk main game, nonton atau mendengarkan music, yang satu lagi untuk urusan
sekolah dan kegiatan penting akademis), Reina menyalakan satu laptop yang
memuat anime-anime koleksi Kay, dan mencari folder anime yang dicarinya.
Kay memang suka anime, kartun
Jepang. Dan Reina sering menumpang nonton episode anime terbaru di tempat Kay
kalau dia tidak sempat men-download
atau sedang nggak mood untuk nonton
anime. Biasanya, Kay yang men-download
anime untuknya. Dan dengan fasilitas internet yang selalu tersedia dua puluh
empat jam di rumahnya, Kay bisa men-download
anime, music, atau film terbaru sesukanya.
Di rumahnya memang ada koneksi
internet juga, tapi Reina sering tidak enak memakai fasilitas itu untuk men-download hal lain selain pelajaran, ber-facebook ria, memeriksa Twitter atau
e-mail. Karena itulah dia meminta Kay yang men-download. Memang dia merasa seperti parasit, tapi Reina selalu
membuatkan donat kentang berlapis coklat atau es krim untuk Kay. Jadi, ada
hubungan timbal-baliknya juga. Hehehe…
Bi Ijah datang sambil membawa
seteko limun segar dan kue coklat favorit Reina. Gadis itu mencomot satu kue
coklat di atas nampan yang dibawa Bi Ijah dan memuji rasa coklatnya yang
benar-benar lezat.
Kay keluar dari kamar mandi dengan
kaus putih dan celana basket berwarna hitam. Rambutnya agak basah karena dia
juga keramas. Bau harum sampo beraroma mint
tercium dari rambut cowok itu.
Kay lalu duduk di dekat Reina
sambil tangannya mencomot kue coklat di atas nampan. Berdua mereka menonton
anime di laptop Kay sambil sesekali tertawa.
“Eh, Kay, kamu tahu Stevan?”
“Salah satu penggemarmu, kan?”
tebak Kay, “Kalau tidak salah dia itu kapten basket sekolah dan jadi Ketua
Siswa juga. Aku kenal dia karena pernah satu kelompok dengannya saat acara
pariwisata sekolah. Memangnya, kenapa?”
“Dia… dia menembakku tadi sore di
rumah.”
Kue coklat yang sedang dalam
perjalanan ke mulutnya terhenti. Kay menatap Reina yang sedang menunduk sambil
memandangi gelas limunnya.
“Dia menembakmu?”
Reina mengangguk.
“Sore tadi dia datang ke rumah. Kamu tahu,
kan, aku termasuk anggota OSIS? Kupikir dia datang ke rumah karena mau minta
data pensi yang akan dilaksanakan sebulan lagi. Tapi, ternyata dia menembakku.
Dia bilang, dia suka denganku sejak kelas satu…” kata Reina.
“Dan jawabanmu apa?” tanya Kay.
“Belum kujawab. Aku… aku tidak suka
dengannya.” Kata Reina lagi. “Dia terlalu… sempurna, dan playboy. Aku tidak suka tipe cowok seperti itu.”
“Kamu jangan begitu. Siapa tahu dia
mau mengubah sikap playboy-nya
setelah pacaran dengan kamu?” kata Kay.
“Tapi, tetap saja aku nggak suka.
Aku, kan sudah suka sama seseorang.” Kata Reina sambil memasang wajah cemberut.
“Memangnya siapa orang yang kamu
suka?”
“Itu…” Reina membuka mulutnya, tapi
tidak ada kata-kata yang keluar. Sebaliknya, wajahnya memerah dan dia memilih
memperhatikan layar laptop sambil mengunyah kue di tangannya.
Kay sendiri tidak memaksa Reina
untuk mengatakan yang sebenarnya. Dia pikir, Reina masih belum siap untuk
memberitahu siapa cowok yang disukainya. Dan Kay menghormati kebebasan Reina
untuk mengatakan hal itu padanya, walau diamnya Reina kalau ditanya soal cowok
yang disukainya sedikit membuat hatinya sakit.
“Kay,”
“Ada apa?”
“Kalau kita suka sama seseorang,
dan orang itu nggak pernah tahu kalau kita suka sama dia… bagaimana harus
menyikapinya?” tanya Reina.
“Hmm…” Kay menghentikan video yang
mereka tonton dan mengerutkan kening. “Mungkin aku akan bersikap tidak ada
apa-apa dan menganggap apa pun yang ada diantara kami biasa-biasa saja. Tapi,
lain lagi kalau orang yang kita suka memiliki perasaan yang sama dengan kita.
Kalau itu yang terjadi, kita harus berjuang untuk mendapatkannya.”
“Berjuang?”
“Iya. Kalaupun orang itu belum
mengetahui perasaan kita, kita harus berjuang agar perasaan kita tersampaikan
pada orang itu. Kita harus mencobanya, karena kalau tidak mencoba, tidak akan
ketahuan hasilnya seperti apa.”
Reina memiringkan kepalanya
mendengar jawaban Kay, kemudian manggut-manggut.
“Benar juga.” Kata gadis itu,
“Terima kasih, ya, Kay. Sudah memberikan nasihat yang baik.”
“Sama-sama.” Kay memeluk bahu Reina
dan mencium puncak kepala gadis itu. “Kalau kamu ada masalah, cerita sama aku
atau Kak Rion, ya? Jangan dipendam sendiri di dalam hati.”
“Iya, sayang…” Reina tertawa dan
memeluk Kay, “Aku jadi makin sayang sama kamu, deh. Boleh kucium, nggak?”
“Cium lagi? Memangnya kita anak
keci, pakai main cium segala?” Kay balas tertawa dan mencubit hidung Reina yang
mancung.
“Iiih, Kay!!!”
***
Setelah Reina pulang (dan sebelumnya sempat
merengek mau menginap di rumahnya), Kay duduk sambil memetik gitar
kesayangannya. Gitar ayahnya yang selalu dia rawat setiap hari. Dia memikirkan
percakapan Reina mengenai perasaan seseorang yang bertepuk sebelah tangan, dan
menerka-nerka apakah perasaan yang sedang dia rasakan sekarang ini adalah
perasaan bertepuk sebelah tangan yang sama seperti yang mereka bicarakan.
Kay memetik gitarnya, menciptakan
nada-nada tak beraturan, sama seperti perasaannya sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar