Aku memastikan semua murid baru sudah kembali
ke asrama mereka, dan aku langung pamit pada yang lain untuk segera
beristirahat di kamarku. Mereka memperbolehkanku untuk pulang duluan, karena
sebagai ganti keterlambatanku pagi ini, aku bekerja tiga kali lebih keras
daripada mereka. Dan sekarang aku merasakan tubuhku remuk semua.
Aku menaiki lift menuju lantai
paling atas di gedung asrama kedua, gedung asrama untuk para pengajar di
akademi. Dan aku mendapatkan kamar di lantai paling atas. Karena, entah kenapa,
aku diperlakukan khusus oleh semua pengajar di akademi ini. Ingat kata-kata
Michael tentang surat yang tadi kami diskusikan di gazebo? Ya… kemungkinan
besar juga karena itu aku diperlakukan khusus.
Entahlah, sejak dulu, aku selalu
diperlakukan secara khusus, bahkan di dunia luar akademi. Dan ketika di akademi,
perlakuan khusus itu semakin kurasakan. Jujur saja, perlakuan khusus yang
kuterima itu cukup membuatku dibenci oleh teman-teman yang lain.
Aku melepas blazerku dan
meletakkannya di atas kursi. Berjalan mendekati jendela besar di dekatku, aku
melihat kesibukan lain di lapangan kecil di dekat gedung asrama. Walau sulit
bagi manusia biasa untuk melihat apa yang terjadi di sana kalau berada di
lantai tertinggi (ngomong-ngomong, kamarku berada di lantai 45) sebuah gedung,
namun aku bisa. Bahkan aku bisa melihat dengan jelas semuanya yang terjadi di
lapangan, seolah aku melihatnya dari dekat.
Aku melihat di bawah ada beberapa
pengajar baru yang sepertinya baru menjalani detensi. Tidak hanya para murid
yang bisa menjalani detensi, tapi para pengajar juga. Jumlah murid yang
mencapai sepuluh ribu orang, mengharuskan para pengajar mempunyai jumlah
setidaknya setengah dari para murid.
Aku tertawa geli melihat aktivitas
itu. Ini hiburan yang cukup menarik.
“Kamu menggunakan matamu lagi.”
Aku menoleh dan melihat seseorang
berdiri di depan pintu kamarku. Seorang pria tua dengan perawakan tinggi dan
rambut yang nyaris memutih semua. Kerutan di wajahnya menegaskan bahwa dia
sudah berusia lebih dari lima puluh tahun. Beliau adalah kepala akademi ini, Henry
Savager. Dan beliau adalah orang yang menawariku masuk akademi ini, secara
langsung mengadopsiku dari panti asuhan dan menjadikanku anak angkatnya.
Aku tahu. Kalian menganggapku
sangat beruntung, kan?
Sebenarnya, tidak juga.
“Sudah kukatakan agar jangan
terlalu sering menggunakan matamu itu.” ujar beliau mendekatiku, “Atau
orang-orang itu, dan Shadow, akan menemukan dan membunuhmu.”
“Aku tahu, tapi aku hanya tidak
sengaja melihat detensi di bawah sana. Sepertinya mengasyikkan jika aku ikut
bergabung di sana.” kataku asal.
“Kau tidak boleh melakukannya,
Ilana. Ingat statusmu di sini.” beliau menyipitkan mata kearahku.
“Iya, iya…” aku menghela nafas dan
menatap beliau, “Kenapa Anda ada di sini? Jarang sekali Anda mau meluangkan
waktu untuk mengunjungi saya.”
“Ilana, panggil aku ayah.”
“Anda hanya ayah angkat saya. Walau
Anda berjasa besar dalam memasukkan saya ke akademi ini dan melatih saya, tapi
saya hanya bisa memanggil Anda dengan sebutan kehormatan, Kepala Akademi.”
Aku yakin aku melihat kerutan di
wajahnya menekuk karena menahan marah. Tapi, beliau tidak pernah marah padaku,
walau ucapan dan sikapku sangat menyakiti hati seorang tua seperti beliau.
Bukan berarti aku anak berandalan.
Hanya saja aku selalu merasa seperti… terkekang, dengan segala perhatian dan
sikap protektif beliau. Jadi, sikap dan ucapanku yang terdengar membangkang dan
semacamnya itu hanya sebagai pelampiasan saja.
Aku menghampiri lemari pakaianku
dan mengambil kaus lengan panjang berwarna hijau dan celana katun.
“Anda tidak mungkin di sini saja
sementara saya ganti baju, kan?” tanyaku tanpa menoleh. “Ngomong-ngomong, Anda
ke sini pasti bukan karena ingin menengok saya saja, benar, kan?”
“Kau benar.” kata beliau. “Aku
ingin mengajakmu makan malam di ruanganku. Sudah lama sekali kita tidak makan
malam bersama.”
“Anda bisa makan bersama Vanessa.
Ia adalah anak Anda.” Kataku. “Saya sedang tidak berselera makan.”
“Omong kosong. Kudengar dari
Natalie kau makan siang untuk porsi tiga orang.” Beliau terkekeh. “Tidak ada
yang menyangka kamu bernafsu makan besar, melihat dari tubuhmu yang mungil
itu.”
Aku hanya mengedikkan bahu.
“Ikutlah makan malam bersama,
Ilana. Vanessa pasti senang kamu ikut bersama kami.”
“Akan kupikirkan. Sekarang, bisakah
Anda meninggalkanku untuk berganti baju? Anda tidak mau dikira orangtua mesum
oleh petugas keamanan asrama, kan?”
“Selalu bermulut tajam. Seperti
biasa,” beliau terkekeh, “Aku akan menunggumu di ruang makan di gedung utama.
Sampai nanti, Ilana.”
Beliau berjalan meninggalkan
kamarku dan menutup pintu. Aku menghela nafas dan menatap kearah pintu.
Sebenarnya, aku bukannya tidak berselera makan. Tapi, aku memang tidak ingin
makan. Makan siang porsi dua kali lipat dari biasanya yang kumakan saat makan
siang sepertinya masih betah berada di perutku, dan aku tidak mau menyia-nyiakan
makanan yang disediakan untukku jika aku benar-benar ikut makan malam bersama
beliau dan Vanessa, putri tunggalnya yang lebih tua beberapa tahun dariku.
Aku menggelengkan kepala dan segera
mengganti pakaianku. Kugantung seragamku di depan pintu lemari pakaianku dan
beralih ke meja belajar, menyalakan laptop, dan mulai melakukan kegiatan yang
kusuka, menulis.
***
Ketika makan malam, aku tidak muncul di ruang
makan utama, walau semua orang sedang berada di aula makan untuk menikmati
makanan yang kata Michael adalah salah satu makan malam terbaik (dia bahkan
mengirim fotonya ke ponselku, membuatku ngiler saja!) yang pernah dia hadiri.
Setelah mandi air hangat, aku hanya
tiduran di ranjang sambil membaca buku. Aku tidak ingin makan sekarang, perutku
masih merasa kenyang, dan aku tidak ingin menambah porsi makan lagi, walau
Michael mengirimi pesan berkali-kali ke ponselku untuk mengajakku ke aula
makan.
Aku baru saja menyelesaikan membaca
satu bab novel favorituku ketika aku mendengar suara aneh dari luar jendela.
Perhatianku seketika teralihkan kearah jendela besar di kamarku yang mengarah
ke serambi. Keningku berkerut melihat siluet tubuh seseorang yang terlindungi
oleh tirai putih tipis yang kupasang di sana.
“Siapa itu?” tanyaku lirih. Tidak
mungkin itu Michael, karena dia tidak punya kemampuan melompat jauh atau
kemampuan teleportasi.
Jangan-jangan… penyusup?
Aku langsung duduk tegak dan
waspada. Perlahan-lahan, aku meraih sebuah pisau di dekatku dan menggenggamnya
erat. Aku turun dari ranjang sepelan yang kubisa dan melangkah dengan waspada
kearah jendela. Sosok itu terlihat sangat tinggi, dan aku menduga Kepala
Akademi-lah yang sedang berdiri di balik jendela.
Tapi, tubuh beliau agak membungkuk
karena usia, dan sosok yang ini berdiri tegap, bahkan kelihatan seperti patung.
Kaku, namun… hidup.
Aku sudah berada di dekat jendela
sekarang, dan sosok itu masih diam. kupegang tirai tipis itu dan langsung
kusibak. Tetapi, aku tidak melihat siapapun di sana, padahal jelas-jelas tadi
aku melihat bayangan…
“Kewaspadaanmu tinggi juga. Aku
salut kamu tidak berteriak atau takut melihat seseorang di beranda kamarmu.”
Aku tersentak dan langsung menoleh.
Dan melongo ketika melihat cowok paling tampan, paling seksi, dan paling tinggi
yang sedang berdiri di hadapanku sekarang. Rambutnya berwarna coklat dan
dibiarkan acak-acakan dan panjang sepanjang kerah mantel hitam yang
dikenakannya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku mantelnya. Mataku
beralih pada wajahnya. Hidung mancung, kulit wajah yang sangat mulus, bibirnya
yang sedang tersenyum tipis itu bisa kukategorikan sebagai bibir paling seksi.
Tuhan… wajahnya benar-benar tampan!
Tapi, tunggu. Mataku bertatapan
langsung dengan matanya dan aku terkejut. Matanya berwarna biru bening. Dia
Shadow!?
Aku langsung meningkatkan
kewaspadaanku ke level yang lebih tinggi. Kuhunuskan pisau di tanganku
kearahnya dan memandangnya dengan tatapan tajam. Tapi, aku harus tetap tenang.
Ketenangan adalah satu poin penting jika kau tidak ingin dikalahkan musuh.
“Sedang apa Shadow sepertimu ada di
sini?” kataku dingin, “Darimana kamu masuk kemari?”
Dia hanya menatap pisau di tanganku
dengan sebelah alis terangkat. Dengan perlahan, dia menyingkirkan pisau itu
dari hadapannya dengan tangannya. Aku sekali lagi melongo melihat tangannya
yang begitu ramping, sama rampingnya dengan tubuhnya yang… seksi.
“Tidak baik seorang gadis
bermain-main dengan senjata.” Katanya, “Namaku Gabriel Oyster. Dan, memang, aku
seorang Shadow. Shadow yang ditugaskan untuk menemukanmu.”
“Menemukanku? Apa maksudmu?” tanyaku
kembali menghunuskan pisauku.
“Untuk membantu kami melepaskan
diri dari kutukan. Dalam ramalan yang diberikan pada kami, kamulah orang yang
akan melepaskan kami, kaum Shadow, dari kutukan yang sudah membelenggu kami
selama ribuan tahun. Dan hanya keluarga kerajaan yang bisa melepaskan kami dari
kutukan itu.”
“Aku tidak mengerti apa maksudmu,
tapi, aku akan membunuhmu karena kamu berani-beraninya masuk ke dalam kamarku.”
Ujarku. “Bersiaplah.”
Aku menyerang kearahnya, menyabet
pisau kearah dadanya. Tapi, aku hanya mengenai udara kosong. Aku merasakan
sebuah gerakan di belakangku dan berbalik cepat, menyabetkan pisauku secepat
mungkin. Aku merasakan gesekan dari pisauku dan melihat Shadow itu mundur
beberapa langkah dengan sebuah luka garis sepanjang tiga senti di wajahnya.
“Rupanya aku terlalu meremehkanmu.”
Dia mengusap pipinya yang berdarah, “Kamu memang seperti yang dikatakan
orang-orang, cepat, dan gerakanmu nyaris tidak terlihat bahkan oleh Shadow
sepertiku.”
“Kalau kau bisa mengejekku seperti
itu, itu artinya mulutmu perlu diajari.” Balasku dan memukul perutnya dengan
telak.
Tidak habis dengan itu, aku
melakukan gerakan split dan menyerang
kedua kakinya hingga dia jatuh terjerembab. Aku segera mengunci gerakannya yang
ingin berdiri dengan menindihnya sambil menempatkan pisauku di lehernya.
“Terlalu dekat,” katanya sambil
terbatuk-batuk. “Dan terlalu kuat. Persis seperti yang diceritakan.”
“Aku tidak tahu apa maumu padaku.
Tapi, aku tidak akan membiarkanmu keluar hidup-hidup dari sini.” kataku tanpa menghiraukan
kata-katanya, “Sekarang, bersiaplah untuk—”
“Tunggu dulu. Aku tidak berniat
untuk bertarung denganmu.” katanya sambil, lagi-lagi menepis pisauku darinya.
“Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu. Aku yakin kamu mendapat sebuah surat
yang menginginkanmu diserahkan atau akan ada peperangan.”
Aku tertegun mendengar ucapannya.
Bagaimana dia bisa tahu tentang surat itu?
“Kamu tahu hal itu dari mana?”
tanyaku bingung.
“Tentu saja aku tahu.” dia
tersenyum, “Karena itulah aku datang kemari, untuk memperingatkanmu, dan juga
meminta bantuanmu.”
“Aku tidak percaya padamu.” Kataku,
“Lebih baik kubunuh saja kamu sekarang.”
“Bagaimana kalau aku juga
menceritakan tentang kedua orangtuamu? Dan saudaramu yang masih hidup sampai
sekarang dan menjadi tawanan?”
“S, saudara?”
“Ya.” dia mengangguk dan menatapku
dalam-dalam. “Saudaramu, dan juga dirimu sedang dalam bahaya besar, yang kalau
tidak diselesaikan, bisa membuat dunia ini hancur.”
“Kamu juga tahu tentang…
keluargaku? Keluarga kandungku?” tanyaku lagi. Kali ini pisau di tanganku
menjauh dari lehernya.
“Aku tentu saja tahu, karena
saudaramu sendiri yang memintaku untuk menemuimu.” Katanya, “Dan… kamu mungkin
tidak akan percaya, tapi kamu adalah salah satu dari keturunan Selene Edelweiss
dan Arslan Beverill yang tersisa.”
“Selene Edelweiss… tunggu, bukankah
itu nama…”
“Selene Edelweiss adalah Huntress
terkuat, dan Arslan Beverill adalah Shadow tertua yang sudah hidup ribuan tahun
sekaligus orang yang menjadi orangtuamu.”
2 komentar:
kak lanjuttt.. seru ceritanya!!
seru... lanjuuttt kak....!!!
Semangat kak!
Posting Komentar