Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Hunter Academy ~ Bloodline - Chapter 2



Aku memastikan semua murid baru sudah kembali ke asrama mereka, dan aku langung pamit pada yang lain untuk segera beristirahat di kamarku. Mereka memperbolehkanku untuk pulang duluan, karena sebagai ganti keterlambatanku pagi ini, aku bekerja tiga kali lebih keras daripada mereka. Dan sekarang aku merasakan tubuhku remuk semua.
Aku menaiki lift menuju lantai paling atas di gedung asrama kedua, gedung asrama untuk para pengajar di akademi. Dan aku mendapatkan kamar di lantai paling atas. Karena, entah kenapa, aku diperlakukan khusus oleh semua pengajar di akademi ini. Ingat kata-kata Michael tentang surat yang tadi kami diskusikan di gazebo? Ya… kemungkinan besar juga karena itu aku diperlakukan khusus.

Entahlah, sejak dulu, aku selalu diperlakukan secara khusus, bahkan di dunia luar akademi. Dan ketika di akademi, perlakuan khusus itu semakin kurasakan. Jujur saja, perlakuan khusus yang kuterima itu cukup membuatku dibenci oleh teman-teman yang lain.
Aku melepas blazerku dan meletakkannya di atas kursi. Berjalan mendekati jendela besar di dekatku, aku melihat kesibukan lain di lapangan kecil di dekat gedung asrama. Walau sulit bagi manusia biasa untuk melihat apa yang terjadi di sana kalau berada di lantai tertinggi (ngomong-ngomong, kamarku berada di lantai 45) sebuah gedung, namun aku bisa. Bahkan aku bisa melihat dengan jelas semuanya yang terjadi di lapangan, seolah aku melihatnya dari dekat.
Aku melihat di bawah ada beberapa pengajar baru yang sepertinya baru menjalani detensi. Tidak hanya para murid yang bisa menjalani detensi, tapi para pengajar juga. Jumlah murid yang mencapai sepuluh ribu orang, mengharuskan para pengajar mempunyai jumlah setidaknya setengah dari para murid.
Aku tertawa geli melihat aktivitas itu. Ini hiburan yang cukup menarik.
“Kamu menggunakan matamu lagi.”
Aku menoleh dan melihat seseorang berdiri di depan pintu kamarku. Seorang pria tua dengan perawakan tinggi dan rambut yang nyaris memutih semua. Kerutan di wajahnya menegaskan bahwa dia sudah berusia lebih dari lima puluh tahun. Beliau adalah kepala akademi ini, Henry Savager. Dan beliau adalah orang yang menawariku masuk akademi ini, secara langsung mengadopsiku dari panti asuhan dan menjadikanku anak angkatnya.
Aku tahu. Kalian menganggapku sangat beruntung, kan?
Sebenarnya, tidak juga.
“Sudah kukatakan agar jangan terlalu sering menggunakan matamu itu.” ujar beliau mendekatiku, “Atau orang-orang itu, dan Shadow, akan menemukan dan membunuhmu.”
“Aku tahu, tapi aku hanya tidak sengaja melihat detensi di bawah sana. Sepertinya mengasyikkan jika aku ikut bergabung di sana.” kataku asal.
“Kau tidak boleh melakukannya, Ilana. Ingat statusmu di sini.” beliau menyipitkan mata kearahku.
“Iya, iya…” aku menghela nafas dan menatap beliau, “Kenapa Anda ada di sini? Jarang sekali Anda mau meluangkan waktu untuk mengunjungi saya.”
“Ilana, panggil aku ayah.”
“Anda hanya ayah angkat saya. Walau Anda berjasa besar dalam memasukkan saya ke akademi ini dan melatih saya, tapi saya hanya bisa memanggil Anda dengan sebutan kehormatan, Kepala Akademi.”
Aku yakin aku melihat kerutan di wajahnya menekuk karena menahan marah. Tapi, beliau tidak pernah marah padaku, walau ucapan dan sikapku sangat menyakiti hati seorang tua seperti beliau.
Bukan berarti aku anak berandalan. Hanya saja aku selalu merasa seperti… terkekang, dengan segala perhatian dan sikap protektif beliau. Jadi, sikap dan ucapanku yang terdengar membangkang dan semacamnya itu hanya sebagai pelampiasan saja.
Aku menghampiri lemari pakaianku dan mengambil kaus lengan panjang berwarna hijau dan celana katun.
“Anda tidak mungkin di sini saja sementara saya ganti baju, kan?” tanyaku tanpa menoleh. “Ngomong-ngomong, Anda ke sini pasti bukan karena ingin menengok saya saja, benar, kan?”
“Kau benar.” kata beliau. “Aku ingin mengajakmu makan malam di ruanganku. Sudah lama sekali kita tidak makan malam bersama.”
“Anda bisa makan bersama Vanessa. Ia adalah anak Anda.” Kataku. “Saya sedang tidak berselera makan.”
“Omong kosong. Kudengar dari Natalie kau makan siang untuk porsi tiga orang.” Beliau terkekeh. “Tidak ada yang menyangka kamu bernafsu makan besar, melihat dari tubuhmu yang mungil itu.”
Aku hanya mengedikkan bahu.
“Ikutlah makan malam bersama, Ilana. Vanessa pasti senang kamu ikut bersama kami.”
“Akan kupikirkan. Sekarang, bisakah Anda meninggalkanku untuk berganti baju? Anda tidak mau dikira orangtua mesum oleh petugas keamanan asrama, kan?”
“Selalu bermulut tajam. Seperti biasa,” beliau terkekeh, “Aku akan menunggumu di ruang makan di gedung utama. Sampai nanti, Ilana.”
Beliau berjalan meninggalkan kamarku dan menutup pintu. Aku menghela nafas dan menatap kearah pintu. Sebenarnya, aku bukannya tidak berselera makan. Tapi, aku memang tidak ingin makan. Makan siang porsi dua kali lipat dari biasanya yang kumakan saat makan siang sepertinya masih betah berada di perutku, dan aku tidak mau menyia-nyiakan makanan yang disediakan untukku jika aku benar-benar ikut makan malam bersama beliau dan Vanessa, putri tunggalnya yang lebih tua beberapa tahun dariku.
Aku menggelengkan kepala dan segera mengganti pakaianku. Kugantung seragamku di depan pintu lemari pakaianku dan beralih ke meja belajar, menyalakan laptop, dan mulai melakukan kegiatan yang kusuka, menulis.

***

Ketika makan malam, aku tidak muncul di ruang makan utama, walau semua orang sedang berada di aula makan untuk menikmati makanan yang kata Michael adalah salah satu makan malam terbaik (dia bahkan mengirim fotonya ke ponselku, membuatku ngiler saja!) yang pernah dia hadiri.
Setelah mandi air hangat, aku hanya tiduran di ranjang sambil membaca buku. Aku tidak ingin makan sekarang, perutku masih merasa kenyang, dan aku tidak ingin menambah porsi makan lagi, walau Michael mengirimi pesan berkali-kali ke ponselku untuk mengajakku ke aula makan.
Aku baru saja menyelesaikan membaca satu bab novel favorituku ketika aku mendengar suara aneh dari luar jendela. Perhatianku seketika teralihkan kearah jendela besar di kamarku yang mengarah ke serambi. Keningku berkerut melihat siluet tubuh seseorang yang terlindungi oleh tirai putih tipis yang kupasang di sana.
“Siapa itu?” tanyaku lirih. Tidak mungkin itu Michael, karena dia tidak punya kemampuan melompat jauh atau kemampuan teleportasi.
Jangan-jangan… penyusup?
Aku langsung duduk tegak dan waspada. Perlahan-lahan, aku meraih sebuah pisau di dekatku dan menggenggamnya erat. Aku turun dari ranjang sepelan yang kubisa dan melangkah dengan waspada kearah jendela. Sosok itu terlihat sangat tinggi, dan aku menduga Kepala Akademi-lah yang sedang berdiri di balik jendela.
Tapi, tubuh beliau agak membungkuk karena usia, dan sosok yang ini berdiri tegap, bahkan kelihatan seperti patung. Kaku, namun… hidup.
Aku sudah berada di dekat jendela sekarang, dan sosok itu masih diam. kupegang tirai tipis itu dan langsung kusibak. Tetapi, aku tidak melihat siapapun di sana, padahal jelas-jelas tadi aku melihat bayangan…
“Kewaspadaanmu tinggi juga. Aku salut kamu tidak berteriak atau takut melihat seseorang di beranda kamarmu.”
Aku tersentak dan langsung menoleh. Dan melongo ketika melihat cowok paling tampan, paling seksi, dan paling tinggi yang sedang berdiri di hadapanku sekarang. Rambutnya berwarna coklat dan dibiarkan acak-acakan dan panjang sepanjang kerah mantel hitam yang dikenakannya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku mantelnya. Mataku beralih pada wajahnya. Hidung mancung, kulit wajah yang sangat mulus, bibirnya yang sedang tersenyum tipis itu bisa kukategorikan sebagai bibir paling seksi.
Tuhan… wajahnya benar-benar tampan!
Tapi, tunggu. Mataku bertatapan langsung dengan matanya dan aku terkejut. Matanya berwarna biru bening. Dia Shadow!?
Aku langsung meningkatkan kewaspadaanku ke level yang lebih tinggi. Kuhunuskan pisau di tanganku kearahnya dan memandangnya dengan tatapan tajam. Tapi, aku harus tetap tenang. Ketenangan adalah satu poin penting jika kau tidak ingin dikalahkan musuh.
“Sedang apa Shadow sepertimu ada di sini?” kataku dingin, “Darimana kamu masuk kemari?”
Dia hanya menatap pisau di tanganku dengan sebelah alis terangkat. Dengan perlahan, dia menyingkirkan pisau itu dari hadapannya dengan tangannya. Aku sekali lagi melongo melihat tangannya yang begitu ramping, sama rampingnya dengan tubuhnya yang… seksi.
“Tidak baik seorang gadis bermain-main dengan senjata.” Katanya, “Namaku Gabriel Oyster. Dan, memang, aku seorang Shadow. Shadow yang ditugaskan untuk menemukanmu.”
“Menemukanku? Apa maksudmu?” tanyaku kembali menghunuskan pisauku.
“Untuk membantu kami melepaskan diri dari kutukan. Dalam ramalan yang diberikan pada kami, kamulah orang yang akan melepaskan kami, kaum Shadow, dari kutukan yang sudah membelenggu kami selama ribuan tahun. Dan hanya keluarga kerajaan yang bisa melepaskan kami dari kutukan itu.”
“Aku tidak mengerti apa maksudmu, tapi, aku akan membunuhmu karena kamu berani-beraninya masuk ke dalam kamarku.” Ujarku. “Bersiaplah.”
Aku menyerang kearahnya, menyabet pisau kearah dadanya. Tapi, aku hanya mengenai udara kosong. Aku merasakan sebuah gerakan di belakangku dan berbalik cepat, menyabetkan pisauku secepat mungkin. Aku merasakan gesekan dari pisauku dan melihat Shadow itu mundur beberapa langkah dengan sebuah luka garis sepanjang tiga senti di wajahnya.
“Rupanya aku terlalu meremehkanmu.” Dia mengusap pipinya yang berdarah, “Kamu memang seperti yang dikatakan orang-orang, cepat, dan gerakanmu nyaris tidak terlihat bahkan oleh Shadow sepertiku.”
“Kalau kau bisa mengejekku seperti itu, itu artinya mulutmu perlu diajari.” Balasku dan memukul perutnya dengan telak.
Tidak habis dengan itu, aku melakukan gerakan split dan menyerang kedua kakinya hingga dia jatuh terjerembab. Aku segera mengunci gerakannya yang ingin berdiri dengan menindihnya sambil menempatkan pisauku di lehernya.
“Terlalu dekat,” katanya sambil terbatuk-batuk. “Dan terlalu kuat. Persis seperti yang diceritakan.”
“Aku tidak tahu apa maumu padaku. Tapi, aku tidak akan membiarkanmu keluar hidup-hidup dari sini.” kataku tanpa menghiraukan kata-katanya, “Sekarang, bersiaplah untuk—”
“Tunggu dulu. Aku tidak berniat untuk bertarung denganmu.” katanya sambil, lagi-lagi menepis pisauku darinya. “Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu. Aku yakin kamu mendapat sebuah surat yang menginginkanmu diserahkan atau akan ada peperangan.”
Aku tertegun mendengar ucapannya. Bagaimana dia bisa tahu tentang surat itu?
“Kamu tahu hal itu dari mana?” tanyaku bingung.
“Tentu saja aku tahu.” dia tersenyum, “Karena itulah aku datang kemari, untuk memperingatkanmu, dan juga meminta bantuanmu.”
“Aku tidak percaya padamu.” Kataku, “Lebih baik kubunuh saja kamu sekarang.”
“Bagaimana kalau aku juga menceritakan tentang kedua orangtuamu? Dan saudaramu yang masih hidup sampai sekarang dan menjadi tawanan?”
“S, saudara?”
“Ya.” dia mengangguk dan menatapku dalam-dalam. “Saudaramu, dan juga dirimu sedang dalam bahaya besar, yang kalau tidak diselesaikan, bisa membuat dunia ini hancur.”
“Kamu juga tahu tentang… keluargaku? Keluarga kandungku?” tanyaku lagi. Kali ini pisau di tanganku menjauh dari lehernya.
“Aku tentu saja tahu, karena saudaramu sendiri yang memintaku untuk menemuimu.” Katanya, “Dan… kamu mungkin tidak akan percaya, tapi kamu adalah salah satu dari keturunan Selene Edelweiss dan Arslan Beverill yang tersisa.”
“Selene Edelweiss… tunggu, bukankah itu nama…”
“Selene Edelweiss adalah Huntress terkuat, dan Arslan Beverill adalah Shadow tertua yang sudah hidup ribuan tahun sekaligus orang yang menjadi orangtuamu.”

2 komentar:

kak lanjuttt.. seru ceritanya!!

 

seru... lanjuuttt kak....!!!
Semangat kak!

 

Posting Komentar