Sakura mengikat rambutnya menjadi buntut kuda
dan menatap cermin di depannya. Sebagian wajahnya terutup oleh perban karena
matanya masih terluka dan belum sembuh benar. Tangannya terangkat menyentuh
perban di wajahnya sementara bibirnya mengeluarkan helaan nafas.
Aku
harus melakukannya. kata
Sakura dalam hati.
Dia mennyampirkan senjatanya di
pinggang kanan dan berjalan keluar kamar dan terkejut melihat seseorang
ternyata sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
“Kuroki? Ada apa?”
Wanita berpakaian serba gelap itu
mengulurkan sesuatu di tangannya.
“Bawalah ini, dan jangan katakan
pada siapapun mengenai benda ini.” ujar Kuroki.
Sakura menerima benda yang
diberikan Kuroki, sebuah kepingan berlian kecil berwarna keemasan yang sangat
indah.
“Apa ini? Warnanya indah sekali.”
“Itu benda keberuntungan.” Kuroki
tersenyum, “Benda itu akan menjagamu dan pengawalmu dari bahaya apa pun.”
Sakura mengangguk-angguk mengerti,
tapi kemudian dia mengerutkan kening.
“Benda ini sangat kecil, Kuroki.
Bagaimana bisa aku membawanya bersamaku?”
“Kalau itu, biar aku yang
mengurusnya.”
Kuroki dan Sakura menoleh melihat
Shirushi muncul di dekat mereka. Shirushi tersenyum lembut dan mengalungkan
sesuatu ke leher Sakura.
“Liontin ini akan menjaga permata
yang diberikan Kuroki.” Kata Shirushi, “Bersama dengan permata milikku.”
“Milikmu?”
“Aku juga mempunyai permata yang
sama.” Kata Shirushi lagi, “Permata itu adalah jimat keberuntungan. Kamu harus
menjaganya sebaik mungkin.”
“Permata yang sama?”
Sakura membuka bandul liontin yang
dipasangkan oleh Shirushi tadi dan melihat permata keemasan yang sama dengan
bentuk yang sedikit berbeda dari milik Kuroki.
“Permata ini… kenapa sepertinya aku
pernah melihatnya?” kata Sakura, “Apa dulu permata ini adalah satu kesatuan?”
“Ya.” Kuroki mengangguk, “Permata
ini sebenarnya adalah satu permata utuh, tapi kami membaginya menjadi empat,
masing-masing dari kami memegang satu.”
“Oh…” Sakura mengangguk-angguk
lagi. “Kalau begitu, di mana dua yang lainnya? Jika permata ini adalah satu
kesatuan, maka semuanya harus terkumpul agar benar-benar menjadi satu kesatuan
yang sempurna, kan?”
Shirushi tersenyum mendengar
pertanyaan Sakura. Dia menggenggam tangan gadis itu dan mengetuknya pelan satu
kali.
“Permata yang satu lagi ada
diantara Aoryuu, Festialle, dan juga Vermillion.” Kata wanita itu, “Sedang
permata yang terakhir ada di dalam dirimu. Aku yakin diantara mereka bertiga
nanti ada yang akan memberikan permata itu padamu, tapi yang jelas permata
terakhir ada di dalam dirimu sendiri, Miko Sakura.”
“Di dalam diriku… bagaimana bisa?”
“Kamu akan mengetahuinya nanti.
Untuk saat ini kamu hanya harus melakukan apa yang menjadi dorongan hatimu,
kan?”
“Oh, benar juga.” Sakura
mengangguk, “Aku haurs ikut Minato melakukan Tatakatta—tidak, aku harus mencegahnya melakukan hal itu.”
“Benar.” Kuroki mengangguk,
“Pergilah sekarang, Miko Sakura. Aku yakin Minato sedang menunggumu.”
---------
Ketika turun dari tangga, Sakura melihat Minato
sudah siap. Pakaian pemuda itu sama seperti biasa, hanya saja kali ini tangan
pemuda itu menggenggam sebuah pisau pendek yang belum pernah dilihat Sakura
sebelumnya.
Minato menoleh kearahnya dan
tersenyum.
“Sudah siap?”
Sakura mengangguk, “Apa itu pisau
pendek? Tanto?” tanyanya menunjuk
senjata di tangan Minato.
“Ya. Ini senjata pertamamu.”
“Senjata… pertamaku?” Sakura
mengerutkan kening.
“Benar. Ini kutemukan bersama
benda-benda lain dari time capsule
yang dulu pernah kita kuburkan di padang bunga.” Kata Minato, “Ini adalah
senjata yang kamu bawa sebelum kamu diangkat adik oleh Kak Setsuna.”
Minato menyerahkan pisau pendek itu
pada Sakura. Gadis itu menerimanya dan melihat ukirannya yang berbentuk bunga
kamelia berwarna merah di gagangnya. Sebuah permata berwarna keemasan yang sama
persis seperti milik Kuroki dan Shirushi ada di sana, terletak di tengah gagang
dengan tiga rongga lain yang kosong di dekatnya.
“Permata ini…”
“Hm? Kenapa dengan permata itu?”
“Permatanya sama.” Kata Sakura,
“Permatanya sama seperti permata yang diberikan Kuroki dan Shirushi padaku.”
Sakura mengeluarkan dua permata
yang diberikan Kuroki dan Shirushi, lalu memasangkannya di rongga tempat
permata di pisau tersebut dan cocok. Ketiga permata itu bersinar berkilauan
walau tanpa cahaya matahari. Sinarnya yang berwarna emas seolah memberikan
kehangatan ke tangan Sakura.
“Ini… masih ada satu lagi tempat
yang kosong.” kata Sakura, “Menurut Shirushi, ada satu permata lagi, dan aku
tidak tahu di mana…”
Minato yang juga melihat permata
itu hanya mengangguk-angguk.
“Tidak apa-apa, kita pasti akan
menemukan permata yang satu lagi.” kata Minato, “Kita berangkat sekarang?”
“Ya. Aku siap.”
“Perlu kugendong?” Minato tersenyum
lebar, “Siapa tahu kamu masih lemah—”
“Dan memberimu kesempatan untuk
menggodaku? Tidak, terima kasih.” Balas Sakura sambil menyentil dahi Minato,
“Aku tidak akan membiarkanmu menggodaku begitu saja, Minato.”
Minato tertawa dan mencium kening
Sakura.
“Kalau begitu, kita berangkat
sekarang. Kita akan menuntaskan semuanya malam ini juga.”
----------
Minato merasakan Sakura tampak lebih diam dari
biasanya. Bahkan ketika mereka sudah sampai di tempat di mana Tatakatta akan berlangsung.
“Keiko, kamu tidak apa-apa kan?”
“Tidak apa-apa.” Sakura menggeleng,
“Aku baik-baik saja kok.”
Minato tidak percaya pada ucapan
Sakura tapi dia juga tidak ingin bertanya lebih jauh karena Neo dan yang lain
sudah datang, dan entah kenapa di sekeliling mereka juga mulai berkerumun para Senshu dari kelompok lainnya.
“Ini seperti arena sirkus saja.”
gumam Minato, “Pertarungan ini akan dilihat oleh orang banyak.”
“Kamu benar.” Sakura setuju, “Aku
merasa sesuatu yang buruk akan terjadi di sini.”
Kagene berjalan ke depan, dia
menatap Minato dan Sakura.
“Terima kasih karena sudah mau
datang kemari, Minato.” Kata Kagene, “Dan seperti kataku waktu itu, kita akan
melakukan Tatakatta.”
“Ya.”
“Tapi bukan aku yang akan
melawanmu. Aku akan menunjuk salah satu anggota kelompok Phoenix. Tidak masalah
kan?”
“Tentu tidak. Memang siapa yang
akan kamu pilih?” tanya Minato.
Kagene menatap kearah
teman-temannya, kemudian menoleh lagi kearah Minato.
“Neo. Dia yang kupilih untuk
melawanmu.”
Neo melangkah maju dan berdiri di
samping Kagene. Mata Neo menatap kearah Minato dengan tatapan datar.
“Kamu tidak keberatan kalau harus
melakukan Tatakatta dengan Neo, kan?”
kata Kagene.
“Tentu saja tidak.” balas Minato.
“Kalau begitu, kita mulai
sekarang.” Kagene mundur selangkah, “Pertarungan kalian tidak boleh lebih dari
lima menit, peraturan Tatakatta kali
ini sedikit kuubah karena Miko itu tidak akan memihak siapa-siapa.”
“Siapa pun yang diantara kalian
harus mematuhi perkataan sang pemenang. Jika kamu yang menang, Minato, kami
akan melepasmu dan akan menganggapmu sebagai musuh kami seperti halnya kelompok
satu menganggap yang lain sebagai musuhnya. Dan jika Neo menang…”
“… kami akan membunuh Miko Sakura,
tidak peduli kamu akan marah atau membantai kami.” Sambung Neo. “Setuju dengan
peraturan kami?”
Minato mengerjap kaget mendengar
persyaratan yang diucapkan mereka berdua. Matanya sempat melirik kearah Sakura
yang berdiri di sebelahnya tapi gadis itu hanya diam. Di wajahnya tidak
terlihat kegelisahan atau rasa takut sama sekali.
Sepertinya
ini akan menjadi hal yang buruk.
Kata Minato dalam hati.
Tapi dia tidak mungkin mengabaikan
persyaratan itu. Tatakatta adalah
peraturan mutlak bagi pemberontak dalam satu kelompok, jadi menentang
persyaratan yang ada di dalamnya akan membuat Senshu yang melakukan Tatakatta
dihukum mati saat itu juga.
“Baik, aku menerima syarat itu.”
kata Minato.
“Bagus.”
Kagene mengangguk kearah Neo yang
kemudian mengeluarkan senjatanya. Minato juga mengeluarkan senjatanya.
Sakura mundur beberapa langkah dan
memberi ruang untuk Minato dan Neo bertarung. Dia menatap kearah Kagene yang
juga menatap balik kearahnya.
Tatakatta dimulai!
***
Deuce berjalan masuk ke dalam ruangan di mana
Ace alias Setsuna sedang duduk bersama Queen. Kedua wanita itu duduk berhadapan
dan memejamkan mata, bermeditasi.
Deuce mendekati mereka berdua
“Ace, Queen,”
Setsuna membuka mata lebih dulu dan
menoleh kearah Deuce. Queen juga membuka matanya tapi pandangannya tetap lurus
ke depan.
“Mereka melakukannya, Tatakatta.” Kata Deuce, “Sekarang, apa
rencanamu?”
Setsuna berdiri dan menatap kearah
jendela di dekatnya. Deuce menanti apa yang akan diucapkan oleh wanita itu.
“Kita akan mengakhiri semuanya.
Pesta terakhir bagi para Senshu dan
juga permainan ini.” kata Setsuna, “Kita akan mengakhiri apa yang sudah terjadi
malam ini.”
0 komentar:
Posting Komentar