Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

RE Part 2 - Chapter 13



Rei’s Side
Aku menggenggam tangan Runa dan berlari kearah hutan yang dimaksud Ayano, yang letaknya tidak jauh dari tempat mobilku berada. Ketika aku menoleh ke belakang, aku bisa melihat ada beberapa titik api di tempat yang aku duga adalah bagian dari markas Clematis.
“Rei!!”

Aku menoleh dan melihat Leia dan juga Komandan berdiri tepat di luar hutan. Mereka berdua tampaknya memang menunggu kami karena Leia langsung memintaku menjelaskan apa yang terjadi begitu kami sampai di hadapannya.
Satu hal yang mengejutkanku adalah, Komandan langsung memeluk Runa ketika beliau dan gadis itu berhadapan. Runa tampak bingung karena tiba-tiba Komandan memeluknya, bahkan aku sendiri juga bingung pada sikap Komandan yang cukup… aneh ini.
“Ayano menghadapi Diva sendirian?” tanya Leia.
“Dia menyuruhku membawa Runa kemari dan menjaganya.” Jawabku, “Aku berencana untuk membantunya setelah aku mengantarkan Runa kemari.”
“Tidak, kau tetap menjaga Runa di sini.” ujar Leia, “Aku dan Komandan akan membantu Ayano.”
“Apa?”
“Ini bagian dari rencana.” Katanya lagi, “Aku dan Alice punya urusan dengan Diva. Jadi, Rei, kau tetap di sini dan jaga Runa, oke?”
“Tapi…”
“Tidak ada tapi.” Sergah Leia, “Alice, kita pergi sekarang.”
Komandan mengangguk dan mengucapkan sesuatu yang tidak bisa kudengar pada Runa, yang meresponnya dengan mengangguk.
“Aku titip Runa padamu, Kujo,” kata Komandan, “Jaga dia sampai dia sudah siap.”
“Ah, eh… baiklah.”
Kedua wanita itu segera berlari menuju kearah kami datang tadi. Runa berdiri di sampingku dan memegang tanganku.
“Rei,” dia menatapku dengan cemas, “Semuanya… akan baik-baik saja, kan? Mama dan Leia-san… juga Ayano…”
“Aku yakin semua akan baik-baik saja.” kataku, “Untuk saat ini, aku harus menjagamu. Itu permintaan Ayano, sampai kamu benar-benar mendapatkan kesadaranmu kembali.”
“Aku tahu,” dia mengangguk, “Tapi apa maksudnya kalau aku adalah senjata terakhir yang bisa mengalahkan Profesor Diva?”
Aku menjawab pertanyaan itu dengan menggelengkan kepalaku. Wajah Runa tampak semakin cemas dan aku menggenggam tangannya lebih erat.
“Jangan khawatir, aku akan menjagamu.” Kataku.
“Aku tahu, tapi… tapi Ayano…”
“Kenapa dengan dia?”
“Kalau kesadarannya adalah kesadaranku, dan ketika aku mendapatkan kesadaranku seutuhnya… apa dia akan mati?”
“Sejak awal Ayano adalah cloning yang diciptakan oleh Diva dengan menggunakan DNA dan kesadaranmu. Mungkin dialah percobaan yang katamu sering disebut-sebut oleh Diva ketika kamu masih menjadi Claydoll.” Kataku, “Mungkin dia akan mati, mungkin juga dia tidak mati…”
“Kuharap dia tidak mati.” Kata Runa, “Aku tidak bisa membiarkannya mati, walau dia pernah berusaha membunuhmu.”
“Kau tahu?”
“Aku selalu mendengar suaranya ketika aku tertidur.” Jawab Runa, “Itu membuatku tahu dia membenci dan ingin membunuhmu.”
“Begitu…”
Aku menepuk kepalanya dengan sebelah tanganku, kemudian menariknya ke dalam pelukanku.
“Aku benar-benar bersyukur kamu baik-baik saja, Runa. Kamu tidak tahu seperti apa aku ketika kamu diculik lagi oleh Clematis.” Kataku, “Benar-benar seperti di neraka.”
“Aku ada di sini, kan? Aku tidak mungkin meninggalkanmu, terutama karena aku pernah berjanji padamu kalau aku akan berada di sampingmu.” Dia membalas sambil tersenyum, “Berkat tidur panjang selama koma itu, aku bisa mengingat semua ingatan masa kecilku.”
Aku tersenyum dan mencium keningnya.
“Sekarang, kita harus mengistirahatkanmu terlebih dulu, sampai kamu mendapatkan kesadaranmu seutuhnya, kamu tidak boleh membuang-buang tenagamu.”

***
Leia’s Side
Kami datang tepat ketika Ayano menyerang Diva dan membuat debu beterbangan di sekitar mereka. Dalam hati aku harus mengakui, kekuatan Ayano dan juga Diva benar-benar setara, kalau tidak mau kubilang nyaris seimbang. Dari yang kulihat, Diva tampak jauh lebih unggul dari segi kekuatan, teknik bertarung, dan juga dari segi pengalaman dibandingkan Ayano.
“Mereka sama-sama kuat.” Kata Alice di sebelahku. “Tidak salah kalau julukan Oni-hime diberikan pada mereka.”
“Aku sependapat.”
Diva memukul mundur Ayano dan membuat gadis itu terlempar ke belakang, menghantam dinding di belakangnya. Diva menyadari keberadaanku dan Alice.
“Ah, rupanya kalian yang datang…” katanya. “Hai, Hanae Alice, kau masih ingat padaku?”
“Aku tidak akan pernah melupakanmu.” Balas Alice, “Nakamori Diva, atau harus kusebut #005? Atau mungkin… Jennifer Stone?”
Diva tersenyum mendengar ucapan Alice, “Panggil saja aku Diva, itu adalah nama yang diberikan oleh Nakamori Kikue padaku. Dan aku cukup menyukainya.” Katanya, “Dan, tolong… nama Jennifer Stone itu tidak akan kusebut sebagai namaku karena aku membenci nama itu.”
“Begitu?” aku menaikkan sebelah alis, “Apa karena itu berhubungan dengan masa lalumu? Dengan cloning #009?”
“Jangan sebut kode namanya di hadapanku!” kata Diva.
“Kenapa? Bukankah dia adalah orang yang seharusnya kau paling sayangi?”
“Hentikan!” bentaknya, “Jangan… sebut… dia…!”
Diva bergerak cepat dan menyerang kami berdua, namun aku dan Alice menghindari serangannya dengan gerak sama cepat. Aku melihat Ayano berdiri dan berjalan kearahku. Ada darah yang mengalir dari kepalanya dan mengenai topeng yang dikenakannya. Selebihnya, dia tampak baik-baik saja.
“Aku baik-baik saja, jika itu yang ingin kau tanyakan.” Kata gadis itu. “Kalian datang terlambat.”
“Maaf, aku harus memastikan segalanya berjalan sesuai rencana.” Balasku.
Ayano memperhatikan Diva yang kini sedang menatap kearah Alice.
“Haruskah kita menyerangnya sekarang?”
“Nanti dulu. Kita harus melakukan Rencana B.” kataku.
“Rencana B…” Ayano melenguh dan mengibaskan pedangnya, “Aku ingin membunuhnya, tahu.”
“Sabar…”
“Jangan pernah menyebutnya di hadapanku!” kata Diva, “Kalian… apa yang kalian tahu soal DIA!?”
“Tentu saja kami tahu.” kata Alice, “Dia ibuku.”
“Hah!” Diva mendengus, “Ibumu? Dan apa kau tahu apa yang dilakukan ibumu padaku?”
Alice hanya diam, tapi matanya menatap lurus pada Diva.
“Aku tidak akan pernah melupakan apa yang sudah dilakukannya… apa yang sudah dilakukan Fuyuki padaku…” kata Diva, “Dia mengkhianatiku, dan aku akan membalaskan apa yang sudah dia lakukan padaku!”
“Dengan membuat putriku menjadi Claydoll?” tanya Alice, yang membuatku sedikit terkejut.
Dari mana Alice mengetahui hal itu, aku tidak tahu. Karena aku tidak pernah memberikan informasi mengenai hal itu padanya. Apalagi Rei menyuruhku, Leon, dan Alex untuk merahasiakannya dari orang lain selain kami.
“Putrimu memiliki suatu kecacatan yang sangat fatal, dan aku memperbaikinya, dengan menjadikannya Claydoll.” Ujar Diva. “Seharusnya kau berterima kasih padaku.”
“Aku memang harus berterima kasih, tapi aku tidak suka kau mengubah putriku menjadi mesin pembunuh.” Alice memandang tajam Diva. “Seperti yang ingin dilakukan pemerintah Edenia padamu dan Sembilan cloning lainnya.”
“Kau tahu rupanya.”
“Aku tahu karena ibuku yang menceritakannya padaku. Karena itulah dia memutuskan untuk tidak memihak pada Raven maupun Clematis saat dia disuruh memilih apakah dia ingin mengikuti salah satu kedua organisasi itu.
Organisasi Raven dan Clematis sebenarnya adalah satu kesatuan, yang diciptakan oleh para pemimpin bodoh itu dengan kedok menjaga perdamaian. Padahal, yang mereka inginkan hanyalah kekuasaan penuh dan juga gelar yang tidak ada gunanya. Juga keselamatan untuk diri mereka sendiri.” Kata Alice, “Aku sadar akan hal itu, karena itulah aku mengikuti rencana Alfredo: membuat Raven dan Clematis menjadi satu.”
“Jangan bicara omong kosong. Raven dan Clematis tidak akan pernah bisa disatukan.” Ujar Diva, “Aku sebagai Ragnarok tidak akan menerimanya.”
“Kau bukan Ragnarok yang sah.”
“Aku adalah Ragnarok yang sah!” balas Diva, “Nakamori Kikue membangunkanku untuk menjadikanku Ragnarok, agar aku bisa menghancurkan Edenia dan mengulangi segalanya dari awal.”
Alice menggeleng, “Kau salah, Diva.”
“Aku tidak salah!” ujar gadis itu lagi, “Mou… lebih baik aku habisi saja kalian semua di sini, setelahnya aku akan membunuh putrimu dan juga pemuda itu.”
“Kau tidak akan bisa.” Kataku, “Lawan kami dulu, Diva.”
“Aku akan melakukannya.”
Tepat setelah dia mengatakannya, dia kembali menyerang. Dan kali ini, kami sudah siap.
Diva menyerangku lebih dulu. Tendangannya berhasil kuhindari dan aku mengeluarkan nunchaku milikku dan balas menyerangnya. Ketika Diva berusaha menyerangku kembali, aku mundur dan memberikan Ayano kesempatan untuk melakukan bagiannya.
“Kita masih punya urusan, Profesor Diva.” Kata Ayano, “Permainan kita belum selesai.”
“Aku tahu, Ayano sayang, karena itu, aku akan memusnahkanmu!”
Pedang Ayano beradu dengan pistol milik Diva. Dengan gerakan yang lincah, Ayano menundukkan kepalanya dan mengincar perut Diva. Namun gerakan itu rupanya diketahui oleh Diva, hingga gadis itu bisa menghindari serangan Ayano berikutnya dan melayangkan tendangan yang cukup keras di wajah Ayano. Sesaat, tubuh Ayano agak limbung dan dia nyaris jatuh ke tanah kalau saja dia tidak mundur beberapa langkah.
“Ayano!”
“Lakukan saja bagianmu, Hirano Leia!” kata Ayano, “Aku masih punya waktu sekitar dua puluh menit sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaranku.”
Aku mengerjap dan mengangguk. Aku mengerling pada Alice dan memberinya isyarat untuknya menyerang Diva. Dengan kemampuan mematikannya.
“Kau tidak ingin menyerangku, Hanae Alice? Atau aku harus menyerangmu lebih dulu?”
“Kau ingin aku menyerangmu? Baiklah…”
Diva menatap Alice yang sedang menggerakkan kedua tangannya layaknya memegang tali boneka yang terikat di tangannya dan kelihatan tertegun.
“Kau… itu…”
“Kau tentu tahu ini teknik apa,” kata Alice, “Ini teknik yang sama yang digunakan ibuku.”
Controller…”
“Kau menebaknya dengan tepat.” Alice tersenyum tipis, “Dan sekarang…”
Alice mengangkat tangannya ke udara dan tanah di sekitarnya bergerak, membentuk lima raksasa yang berdiri menjulang di hadapannya.
Controller, sebuah kemampuan yang lebih cocok disebut ilmu sihir.” Kata Alice, “Hanamura Fuyuki, cloning #009, adalah cloning yang diciptakan dari DNA seorang keturunan penyihir, karena itulah kemampuan ini menurun padaku.”
Kelima raksasa itu, Alice menyebutnya homunculus, bergerak kearah Diva dan mulai menyerangnya. Diva bisa menghindari serangan homunculus itu, tentu saja, karena gerakan mereka yang agak lambat. Namun itulah yang kami butuhkan: pengalih perhatian.
“Ayano, sampai sini, biar kami yang mengurus.” Kataku pada Ayano yang berdiri tidak jauh dariku, “Kau pergilah ke tempat yang aman dan tunggu sampai Runa-chan mendapatkan kesadarannya seutuhnya.”
“Tidak. Aku akan tetap di sini.” bantah Ayano, “Setidaknya aku ingin melukainya sedikit lagi.”
“Itu terlalu berbahaya.”
“Tidak jadi soal.” Balas Ayano, lalu berlari menerjang Diva.
“Oh, sial.”
Ayano menyerang Diva, namun serangannya bisa dihentikan oleh gadis itu. Tapi, rupanya Ayano sudah memperkirakan hal itu, karena dia menggunakan katana-nya yang satu lagi untuk menyerang sisi pertahanan Diva yang terbuka. Serangannya kali ini telak mengenai bahu kanan Diva dan membuat gadis itu mundur beberapa langkah. Wajah Diva tampak gelap karena marah.
“Rupanya aku terlalu meremehkanmu.” Kata Diva sambil tersenyum dengan sebelah bibir, “Sepertinya aku membuatmu terlalu kuat, ya?”
“Aku berterima kasih untuk itu.” balas Ayano, “Dengan begitu, aku bisa melukaimu, setidaknya di beberapa bagian lagi, sebelum Runa Oneesan membunuhmu.”
“Dia tidak akan bisa membunuhku, begitu juga dirimu.” Ujar Diva, “Aku memegang kunci yang seharusnya kalian miliki.”
“Kunci apa yang kamu maksud, tidak ada urusannya denganku.” kata Ayano, “Sekarang—”
“Tunggu!”
Aku dan Ayano sama-sama menoleh kearah Alice yang tadi berteriak. Mata Alice tampak melebar dan wajahnya agak memucat. Aku menoleh kearah Diva dan melihatnya memegang dua buah kalung yang serupa. Kalung dengan bandul berbentuk bunga clematis berwarna hijau.
“Kalung ini adalah kunci yang seharusnya kalian miliki,” kata Diva, “dan aku memegang keduanya.”
“Apa arti kalung itu?” tanyaku.
“Itu kalung yang seharusnya kuberikan pada Kujo… kenapa ada padamu?”
“Dia memberikannya padaku secara sukarela, tanpa tahu apa arti sebenarnya kalung ini.” balas Diva. “Sekarang, tidak akan ada yang bisa menghentikanku.”
“Alice, apa maksudnya? Apa maksud kalung yang dipegangnya?” tanyaku pada Alice.
“Itu… itu kalung yang diberikan ibuku padaku.” kata Alice, “Dan kalung itu adalah kunci yang dapat mengaktifkan reactor nuklir yang tertanam di dasar Edenia… dan meledakkannya.”
“Apa!?”
“Kesepuluh cloning Proyek RE yang pertama memiliki kalung ini.” kata Diva, “Kalung ini sebenarnya adalah lambang identitas kami, tapi siapa sangka benda ini adalah bom waktu berjalan?”
“Dengan ini, aku akan menghancurkan Edenia, dan aku akan memastikannya, kalian akan melihat neraka sebelum kalian sempat mengedipkan mata.”

***
Ayano’s Side
Oke, aku tahu Profesor Diva merencanakan hal yang besar, bahkan ketika aku masih mematuhi semua perintahnya. Tapi, aku tidak percaya dia ingin menghancurkan Edenia dengan reactor nuklir yang tertanam di dasar kota ini.
Apa dia tidak sadar kalau itu adalah hal yang… terlampau mengerikan.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan ketika kau menciptakan neraka itu? Ikut mati bersama kami?” kataku sarkatis.
“Hmm… mungkin juga. Lagipula, bumi sudah tidak mungkin diselamatkan, kan?” jawabnya.
Hm… kutarik kata-kataku dulu yang menganggapnya mengerikan. Dia benar-benar GILA!
Kemudian aku kembali merasakan hawa dingin menyelimutiku, disusul pandanganku yang mulai mengabur. Oh, tidak. Kesadaranku mulai menghilang.
“Hentikan semua ini, Diva.” Kata Hirano Leia, “Apa yang kau lakukan sekarang ini hanya akan membuatmu menderita.”
“Menderita? Karena apa? Aku sudah lebih dulu menderita, jauh sebelum ini semua terjadi.” balas Profesor Diva, “Aku menderita karena pengkhianatan, rasa sakit yang kurasakan ketika melihat semua teman-teman yang kumiliki terbunuh, dan semua hal yang bernama rasa sakit, penyesalan, kesedihan, semuanya pernah kurasakan.”
“Tapi, tidak begini caranya.” Kata Hirano Leia lagi.
“Lalu, dengan cara apa? Jangan coba-coba untuk membujukku. Tanpa kau bujuk, aku akan tetap menghancurkan kota ini beserta kalian semua.”
“Ini tidak bagus.” Kataku, “Bolehkah aku melukainya sedikit lagi? Setelah ini aku ingin berbaring sejenak.”
Hirano Leia menoleh kearahku dengan kening berkerut, tapi kemudian dia mengerti maksudku.
“Kau tidak akan bisa melukaiku.”
“Kita lihat saja.” balasku, “Hirano Leia, Komandan, tolong jangan menggangguku dulu untuk saat ini, kalau kalian tidak ingin terluka.”
“Baiklah…”
“Terserah padamu.”
Aku memutar-mutar kedua katana-ku dan kemudian menyerang Profesor Diva. Kali ini aku benar-benar mengerahkan kemampuan terbaik yang kumiliki. Aku tidak melepaskan mataku dari gerak-gerik Profesor Diva, sembari menyerang, aku mempelajari kondisiku sekarang, dan ketika saaatnya tepat, aku melayangkan sebuah serangan tepat kearah perutnya.
Sekali lagi, aku berhasil melukainya. Pakaian hitam yang dikenakannya sobek terkena sayatan pedangku dan menorehkan segaris luka di sana. Well… walaupun hanya segaris dan tidak terlalu dalam, tapi aku puas bisa menorehkan luka lagi di tubuhnya.
Persis seperti yang biasa kulakukan ketika ditugasinya membunuh.
“Kuharap kau senang dengan riasan yang kupoleskan di tubuhmu, Profesor.” Kataku sambil tersenyum, “Itu baru permulaan.”
Professor Diva menatap perutnya yang berdarah dan tertawa.
“Kuakui kemampuanmu meningkat, Ayano.” Katanya, “Tapi, kau tidak akan bisa mengalahkanku.”
“Aku takut itu tidak akan terjadi.” balasku, sedikit meringis karena kali ini kedua tanganku terasa kebas.
Sebentar lagi… batinku, Sebentar lagi, sebelum waktunya…
Aku mengibaskan kedua katana-ku dan menyarungkannya.
“Hirano Leia, kali ini giliran kalian.” kataku, mengisyaratkan padanya kalau aku mulai kehilangan kesadaranku.
“Baiklah,” wanita itu mengangguk dan mengeluarkan nunchaku-nya, kemudian menyerang kearah Profesor Diva.
Aku mundur beberapa langkah dan menyandarkan punggungku ke dinding di dekatku, menatap pertarungan di depanku dan tersenyum kecil.
Sekarang…

0 komentar:

Posting Komentar