Rei’s Side
Aku menggenggam tangan Runa dan berlari kearah
hutan yang dimaksud Ayano, yang letaknya tidak jauh dari tempat mobilku berada.
Ketika aku menoleh ke belakang, aku bisa melihat ada beberapa titik api di
tempat yang aku duga adalah bagian dari markas Clematis.
“Rei!!”
Aku menoleh dan melihat Leia dan
juga Komandan berdiri tepat di luar hutan. Mereka berdua tampaknya memang
menunggu kami karena Leia langsung memintaku menjelaskan apa yang terjadi
begitu kami sampai di hadapannya.
Satu hal yang mengejutkanku adalah,
Komandan langsung memeluk Runa ketika beliau dan gadis itu berhadapan. Runa
tampak bingung karena tiba-tiba Komandan memeluknya, bahkan aku sendiri juga
bingung pada sikap Komandan yang cukup… aneh ini.
“Ayano menghadapi Diva sendirian?”
tanya Leia.
“Dia menyuruhku membawa Runa kemari
dan menjaganya.” Jawabku, “Aku berencana untuk membantunya setelah aku
mengantarkan Runa kemari.”
“Tidak, kau tetap menjaga Runa di
sini.” ujar Leia, “Aku dan Komandan akan membantu Ayano.”
“Apa?”
“Ini bagian dari rencana.” Katanya
lagi, “Aku dan Alice punya urusan dengan Diva. Jadi, Rei, kau tetap di sini dan
jaga Runa, oke?”
“Tapi…”
“Tidak ada tapi.” Sergah Leia,
“Alice, kita pergi sekarang.”
Komandan mengangguk dan mengucapkan
sesuatu yang tidak bisa kudengar pada Runa, yang meresponnya dengan mengangguk.
“Aku titip Runa padamu, Kujo,” kata
Komandan, “Jaga dia sampai dia sudah siap.”
“Ah, eh… baiklah.”
Kedua wanita itu segera berlari
menuju kearah kami datang tadi. Runa berdiri di sampingku dan memegang
tanganku.
“Rei,” dia menatapku dengan cemas,
“Semuanya… akan baik-baik saja, kan? Mama dan Leia-san… juga Ayano…”
“Aku yakin semua akan baik-baik
saja.” kataku, “Untuk saat ini, aku harus menjagamu. Itu permintaan Ayano,
sampai kamu benar-benar mendapatkan kesadaranmu kembali.”
“Aku tahu,” dia mengangguk, “Tapi
apa maksudnya kalau aku adalah senjata terakhir yang bisa mengalahkan Profesor
Diva?”
Aku menjawab pertanyaan itu dengan
menggelengkan kepalaku. Wajah Runa tampak semakin cemas dan aku menggenggam
tangannya lebih erat.
“Jangan khawatir, aku akan
menjagamu.” Kataku.
“Aku tahu, tapi… tapi Ayano…”
“Kenapa dengan dia?”
“Kalau kesadarannya adalah
kesadaranku, dan ketika aku mendapatkan kesadaranku seutuhnya… apa dia akan
mati?”
“Sejak awal Ayano adalah cloning
yang diciptakan oleh Diva dengan menggunakan DNA dan kesadaranmu. Mungkin
dialah percobaan yang katamu sering disebut-sebut oleh Diva ketika kamu masih
menjadi Claydoll.” Kataku, “Mungkin
dia akan mati, mungkin juga dia tidak mati…”
“Kuharap dia tidak mati.” Kata
Runa, “Aku tidak bisa membiarkannya mati, walau dia pernah berusaha
membunuhmu.”
“Kau tahu?”
“Aku selalu mendengar suaranya
ketika aku tertidur.” Jawab Runa, “Itu membuatku tahu dia membenci dan ingin
membunuhmu.”
“Begitu…”
Aku menepuk kepalanya dengan sebelah
tanganku, kemudian menariknya ke dalam pelukanku.
“Aku benar-benar bersyukur kamu
baik-baik saja, Runa. Kamu tidak tahu seperti apa aku ketika kamu diculik lagi
oleh Clematis.” Kataku, “Benar-benar seperti di neraka.”
“Aku ada di sini, kan? Aku tidak
mungkin meninggalkanmu, terutama karena aku pernah berjanji padamu kalau aku
akan berada di sampingmu.” Dia membalas sambil tersenyum, “Berkat tidur panjang
selama koma itu, aku bisa mengingat semua ingatan masa kecilku.”
Aku tersenyum dan mencium keningnya.
“Sekarang, kita harus
mengistirahatkanmu terlebih dulu, sampai kamu mendapatkan kesadaranmu
seutuhnya, kamu tidak boleh membuang-buang tenagamu.”
***
Leia’s Side
Kami datang tepat ketika Ayano menyerang Diva
dan membuat debu beterbangan di sekitar mereka. Dalam hati aku harus mengakui,
kekuatan Ayano dan juga Diva benar-benar setara, kalau tidak mau kubilang
nyaris seimbang. Dari yang kulihat, Diva tampak jauh lebih unggul dari segi
kekuatan, teknik bertarung, dan juga dari segi pengalaman dibandingkan Ayano.
“Mereka sama-sama kuat.” Kata Alice
di sebelahku. “Tidak salah kalau julukan Oni-hime
diberikan pada mereka.”
“Aku sependapat.”
Diva memukul mundur Ayano dan
membuat gadis itu terlempar ke belakang, menghantam dinding di belakangnya.
Diva menyadari keberadaanku dan Alice.
“Ah, rupanya kalian yang datang…”
katanya. “Hai, Hanae Alice, kau masih ingat padaku?”
“Aku tidak akan pernah
melupakanmu.” Balas Alice, “Nakamori Diva, atau harus kusebut #005? Atau
mungkin… Jennifer Stone?”
Diva tersenyum mendengar ucapan
Alice, “Panggil saja aku Diva, itu adalah nama yang diberikan oleh Nakamori
Kikue padaku. Dan aku cukup menyukainya.” Katanya, “Dan, tolong… nama Jennifer
Stone itu tidak akan kusebut sebagai namaku karena aku membenci nama itu.”
“Begitu?” aku menaikkan sebelah
alis, “Apa karena itu berhubungan dengan masa lalumu? Dengan cloning #009?”
“Jangan sebut kode namanya di
hadapanku!” kata Diva.
“Kenapa? Bukankah dia adalah orang
yang seharusnya kau paling sayangi?”
“Hentikan!” bentaknya, “Jangan…
sebut… dia…!”
Diva bergerak cepat dan menyerang
kami berdua, namun aku dan Alice menghindari serangannya dengan gerak sama
cepat. Aku melihat Ayano berdiri dan berjalan kearahku. Ada darah yang mengalir
dari kepalanya dan mengenai topeng yang dikenakannya. Selebihnya, dia tampak
baik-baik saja.
“Aku baik-baik saja, jika itu yang
ingin kau tanyakan.” Kata gadis itu. “Kalian datang terlambat.”
“Maaf, aku harus memastikan
segalanya berjalan sesuai rencana.” Balasku.
Ayano memperhatikan Diva yang kini
sedang menatap kearah Alice.
“Haruskah kita menyerangnya
sekarang?”
“Nanti dulu. Kita harus melakukan
Rencana B.” kataku.
“Rencana B…” Ayano melenguh dan
mengibaskan pedangnya, “Aku ingin membunuhnya, tahu.”
“Sabar…”
“Jangan pernah menyebutnya di
hadapanku!” kata Diva, “Kalian… apa yang kalian tahu soal DIA!?”
“Tentu saja kami tahu.” kata Alice,
“Dia ibuku.”
“Hah!” Diva mendengus, “Ibumu? Dan
apa kau tahu apa yang dilakukan ibumu padaku?”
Alice hanya diam, tapi matanya
menatap lurus pada Diva.
“Aku tidak akan pernah melupakan
apa yang sudah dilakukannya… apa yang sudah dilakukan Fuyuki padaku…” kata
Diva, “Dia mengkhianatiku, dan aku akan membalaskan apa yang sudah dia lakukan
padaku!”
“Dengan membuat putriku menjadi Claydoll?” tanya Alice, yang membuatku
sedikit terkejut.
Dari mana Alice mengetahui hal itu,
aku tidak tahu. Karena aku tidak pernah memberikan informasi mengenai hal itu
padanya. Apalagi Rei menyuruhku, Leon, dan Alex untuk merahasiakannya dari
orang lain selain kami.
“Putrimu memiliki suatu kecacatan
yang sangat fatal, dan aku memperbaikinya, dengan menjadikannya Claydoll.” Ujar Diva. “Seharusnya kau
berterima kasih padaku.”
“Aku memang harus berterima kasih,
tapi aku tidak suka kau mengubah putriku menjadi mesin pembunuh.” Alice
memandang tajam Diva. “Seperti yang ingin dilakukan pemerintah Edenia padamu
dan Sembilan cloning lainnya.”
“Kau tahu rupanya.”
“Aku tahu karena ibuku yang
menceritakannya padaku. Karena itulah dia memutuskan untuk tidak memihak pada
Raven maupun Clematis saat dia disuruh memilih apakah dia ingin mengikuti salah
satu kedua organisasi itu.
Organisasi Raven dan Clematis
sebenarnya adalah satu kesatuan, yang diciptakan oleh para pemimpin bodoh itu
dengan kedok menjaga perdamaian. Padahal, yang mereka inginkan hanyalah
kekuasaan penuh dan juga gelar yang tidak ada gunanya. Juga keselamatan untuk
diri mereka sendiri.” Kata Alice, “Aku sadar akan hal itu, karena itulah aku
mengikuti rencana Alfredo: membuat Raven dan Clematis menjadi satu.”
“Jangan bicara omong kosong. Raven
dan Clematis tidak akan pernah bisa disatukan.” Ujar Diva, “Aku sebagai
Ragnarok tidak akan menerimanya.”
“Kau bukan Ragnarok yang sah.”
“Aku adalah Ragnarok yang sah!”
balas Diva, “Nakamori Kikue membangunkanku untuk menjadikanku Ragnarok, agar
aku bisa menghancurkan Edenia dan mengulangi segalanya dari awal.”
Alice menggeleng, “Kau salah,
Diva.”
“Aku tidak salah!” ujar gadis itu
lagi, “Mou… lebih baik aku habisi
saja kalian semua di sini, setelahnya aku akan membunuh putrimu dan juga pemuda
itu.”
“Kau tidak akan bisa.” Kataku,
“Lawan kami dulu, Diva.”
“Aku akan melakukannya.”
Tepat setelah dia mengatakannya,
dia kembali menyerang. Dan kali ini, kami sudah siap.
Diva menyerangku lebih dulu.
Tendangannya berhasil kuhindari dan aku mengeluarkan nunchaku milikku dan balas menyerangnya. Ketika Diva berusaha
menyerangku kembali, aku mundur dan memberikan Ayano kesempatan untuk melakukan
bagiannya.
“Kita masih punya urusan, Profesor
Diva.” Kata Ayano, “Permainan kita belum selesai.”
“Aku tahu, Ayano sayang, karena
itu, aku akan memusnahkanmu!”
Pedang Ayano beradu dengan pistol
milik Diva. Dengan gerakan yang lincah, Ayano menundukkan kepalanya dan
mengincar perut Diva. Namun gerakan itu rupanya diketahui oleh Diva, hingga
gadis itu bisa menghindari serangan Ayano berikutnya dan melayangkan tendangan
yang cukup keras di wajah Ayano. Sesaat, tubuh Ayano agak limbung dan dia
nyaris jatuh ke tanah kalau saja dia tidak mundur beberapa langkah.
“Ayano!”
“Lakukan saja bagianmu, Hirano
Leia!” kata Ayano, “Aku masih punya waktu sekitar dua puluh menit sebelum aku
benar-benar kehilangan kesadaranku.”
Aku mengerjap dan mengangguk. Aku
mengerling pada Alice dan memberinya isyarat untuknya menyerang Diva. Dengan
kemampuan mematikannya.
“Kau tidak ingin menyerangku, Hanae
Alice? Atau aku harus menyerangmu lebih dulu?”
“Kau ingin aku menyerangmu?
Baiklah…”
Diva menatap Alice yang sedang
menggerakkan kedua tangannya layaknya memegang tali boneka yang terikat di
tangannya dan kelihatan tertegun.
“Kau… itu…”
“Kau tentu tahu ini teknik apa,”
kata Alice, “Ini teknik yang sama yang digunakan ibuku.”
“Controller…”
“Kau menebaknya dengan tepat.”
Alice tersenyum tipis, “Dan sekarang…”
Alice mengangkat tangannya ke udara
dan tanah di sekitarnya bergerak, membentuk lima raksasa yang berdiri menjulang
di hadapannya.
“Controller, sebuah kemampuan yang lebih cocok disebut ilmu sihir.”
Kata Alice, “Hanamura Fuyuki, cloning #009, adalah cloning yang diciptakan dari
DNA seorang keturunan penyihir, karena itulah kemampuan ini menurun padaku.”
Kelima raksasa itu, Alice
menyebutnya homunculus, bergerak
kearah Diva dan mulai menyerangnya. Diva bisa menghindari serangan homunculus
itu, tentu saja, karena gerakan mereka yang agak lambat. Namun itulah yang kami
butuhkan: pengalih perhatian.
“Ayano, sampai sini, biar kami yang
mengurus.” Kataku pada Ayano yang berdiri tidak jauh dariku, “Kau pergilah ke
tempat yang aman dan tunggu sampai Runa-chan
mendapatkan kesadarannya seutuhnya.”
“Tidak. Aku akan tetap di sini.”
bantah Ayano, “Setidaknya aku ingin melukainya sedikit lagi.”
“Itu terlalu berbahaya.”
“Tidak jadi soal.” Balas Ayano,
lalu berlari menerjang Diva.
“Oh, sial.”
Ayano menyerang Diva, namun
serangannya bisa dihentikan oleh gadis itu. Tapi, rupanya Ayano sudah
memperkirakan hal itu, karena dia menggunakan katana-nya yang satu lagi untuk
menyerang sisi pertahanan Diva yang terbuka. Serangannya kali ini telak
mengenai bahu kanan Diva dan membuat gadis itu mundur beberapa langkah. Wajah
Diva tampak gelap karena marah.
“Rupanya aku terlalu meremehkanmu.”
Kata Diva sambil tersenyum dengan sebelah bibir, “Sepertinya aku membuatmu
terlalu kuat, ya?”
“Aku berterima kasih untuk itu.”
balas Ayano, “Dengan begitu, aku bisa melukaimu, setidaknya di beberapa bagian
lagi, sebelum Runa Oneesan membunuhmu.”
“Dia tidak akan bisa membunuhku,
begitu juga dirimu.” Ujar Diva, “Aku memegang kunci yang seharusnya kalian
miliki.”
“Kunci apa yang kamu maksud, tidak
ada urusannya denganku.” kata Ayano, “Sekarang—”
“Tunggu!”
Aku dan Ayano sama-sama menoleh
kearah Alice yang tadi berteriak. Mata Alice tampak melebar dan wajahnya agak
memucat. Aku menoleh kearah Diva dan melihatnya memegang dua buah kalung yang
serupa. Kalung dengan bandul berbentuk bunga clematis berwarna hijau.
“Kalung ini adalah kunci yang
seharusnya kalian miliki,” kata Diva, “dan aku memegang keduanya.”
“Apa arti kalung itu?” tanyaku.
“Itu kalung yang seharusnya
kuberikan pada Kujo… kenapa ada padamu?”
“Dia memberikannya padaku secara
sukarela, tanpa tahu apa arti sebenarnya kalung ini.” balas Diva. “Sekarang,
tidak akan ada yang bisa menghentikanku.”
“Alice, apa maksudnya? Apa maksud
kalung yang dipegangnya?” tanyaku pada Alice.
“Itu… itu kalung yang diberikan
ibuku padaku.” kata Alice, “Dan kalung itu adalah kunci yang dapat mengaktifkan
reactor nuklir yang tertanam di dasar Edenia… dan meledakkannya.”
“Apa!?”
“Kesepuluh cloning Proyek RE yang
pertama memiliki kalung ini.” kata Diva, “Kalung ini sebenarnya adalah lambang
identitas kami, tapi siapa sangka benda ini adalah bom waktu berjalan?”
“Dengan ini, aku akan menghancurkan
Edenia, dan aku akan memastikannya, kalian akan melihat neraka sebelum kalian
sempat mengedipkan mata.”
***
Ayano’s
Side
Oke, aku tahu Profesor Diva merencanakan hal
yang besar, bahkan ketika aku masih mematuhi semua perintahnya. Tapi, aku tidak
percaya dia ingin menghancurkan Edenia dengan reactor nuklir yang tertanam di
dasar kota ini.
Apa dia tidak sadar kalau itu
adalah hal yang… terlampau mengerikan.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan
ketika kau menciptakan neraka itu? Ikut mati bersama kami?” kataku sarkatis.
“Hmm… mungkin juga. Lagipula, bumi
sudah tidak mungkin diselamatkan, kan?” jawabnya.
Hm… kutarik kata-kataku dulu yang
menganggapnya mengerikan. Dia benar-benar GILA!
Kemudian aku kembali merasakan hawa
dingin menyelimutiku, disusul pandanganku yang mulai mengabur. Oh, tidak.
Kesadaranku mulai menghilang.
“Hentikan semua ini, Diva.” Kata
Hirano Leia, “Apa yang kau lakukan sekarang ini hanya akan membuatmu
menderita.”
“Menderita? Karena apa? Aku sudah
lebih dulu menderita, jauh sebelum ini semua terjadi.” balas Profesor Diva,
“Aku menderita karena pengkhianatan, rasa sakit yang kurasakan ketika melihat
semua teman-teman yang kumiliki terbunuh, dan semua hal yang bernama rasa
sakit, penyesalan, kesedihan, semuanya pernah kurasakan.”
“Tapi, tidak begini caranya.” Kata
Hirano Leia lagi.
“Lalu, dengan cara apa? Jangan
coba-coba untuk membujukku. Tanpa kau bujuk, aku akan tetap menghancurkan kota
ini beserta kalian semua.”
“Ini tidak bagus.” Kataku,
“Bolehkah aku melukainya sedikit lagi? Setelah ini aku ingin berbaring
sejenak.”
Hirano Leia menoleh kearahku dengan
kening berkerut, tapi kemudian dia mengerti maksudku.
“Kau tidak akan bisa melukaiku.”
“Kita lihat saja.” balasku, “Hirano
Leia, Komandan, tolong jangan menggangguku dulu untuk saat ini, kalau kalian
tidak ingin terluka.”
“Baiklah…”
“Terserah padamu.”
Aku memutar-mutar kedua katana-ku
dan kemudian menyerang Profesor Diva. Kali ini aku benar-benar mengerahkan
kemampuan terbaik yang kumiliki. Aku tidak melepaskan mataku dari gerak-gerik
Profesor Diva, sembari menyerang, aku mempelajari kondisiku sekarang, dan
ketika saaatnya tepat, aku melayangkan sebuah serangan tepat kearah perutnya.
Sekali lagi, aku berhasil
melukainya. Pakaian hitam yang dikenakannya sobek terkena sayatan pedangku dan
menorehkan segaris luka di sana. Well…
walaupun hanya segaris dan tidak terlalu dalam, tapi aku puas bisa menorehkan
luka lagi di tubuhnya.
Persis seperti yang biasa kulakukan
ketika ditugasinya membunuh.
“Kuharap kau senang dengan riasan
yang kupoleskan di tubuhmu, Profesor.” Kataku sambil tersenyum, “Itu baru
permulaan.”
Professor Diva menatap perutnya
yang berdarah dan tertawa.
“Kuakui kemampuanmu meningkat,
Ayano.” Katanya, “Tapi, kau tidak akan bisa mengalahkanku.”
“Aku takut itu tidak akan terjadi.”
balasku, sedikit meringis karena kali ini kedua tanganku terasa kebas.
Sebentar
lagi… batinku, Sebentar lagi, sebelum waktunya…
Aku mengibaskan kedua katana-ku dan
menyarungkannya.
“Hirano Leia, kali ini giliran
kalian.” kataku, mengisyaratkan padanya kalau aku mulai kehilangan kesadaranku.
“Baiklah,” wanita itu mengangguk
dan mengeluarkan nunchaku-nya,
kemudian menyerang kearah Profesor Diva.
Aku mundur beberapa langkah dan
menyandarkan punggungku ke dinding di dekatku, menatap pertarungan di depanku
dan tersenyum kecil.
Sekarang…
0 komentar:
Posting Komentar