Minato membimbing mereka semua menuju ruang tamu.
Di sana sudah menunggu Kurome yang sedang menghidangkan sepoci teh dan juga
biscuit. Entah darimana wanita itu mendapatkannya. Tapi dia lalu ingat Sakura
mungkin menyimpan banyak persediaan makanan ringan di dapurnya, mengingat dapur
gadis itu cukup luas dan bisa menampung lebih dari sepuluh orang sekaligus.
Minato duduk dan berterima kasih
pada Kurome, yang kemudian disuruhnya mengawasi Sakura. Takut gadis itu bangkit
dari tempat tidur dan malah mencelakakan diri sendiri padahal masih belum
sembuh benar.
“Jadi…” Minato menatap Queen yang
duduk tenang di kursinya, “… kamu bersedia membantuku dan Sakura untuk bebas?”
“Bersama Deuce dan Ace, ya.” kata
Queen. “Aku sudah mendengar semuanya dari mereka berdua, dan kurasa, setelah
apa yang kulakukan pada permainan ini kurasa sepadan jika aku ingin bebas
sepenuhnya dari permainan ini.”
Minato mengangguk-angguk, “Lalu
kalian bertiga, kenapa kalian kemari?”
“Membunuh gadis Miko itu tentu
saja.” balas Neo dingin.
“Neo, hentikan! Biar bagaimanapun
Minato masih pemimpin kelompok Phoenix!” kata Hana.
“Aku dipilih sebagai pemimpin bukan
atas kemauanku sendiri.” kata Minato.
“Tapi Mayumi yang memilihmu!” kata
Neo lagi, “Seharusnya kamu malu karena mengkhianati kami semua, Minato!”
“Aku tidak pernah mengkhianati
siapapun.”
“Kamu—”
“Hentikan. Sekarang bukan waktunya
untuk bertengkar!” sergah Queen, lalu memandang Neo, “Apa kamu tidak keberatan
jika aku melakukan sesuatu padamu?”
“Memangnya kamu mau melakukan apa?
Aku akan membalasmu.” Balas Neo.
Queen melirik kearah Minato, seolah
meminta persetujuan. Tapi kemudian dia mengibaskan tangannya dan membuat Neo
tersentak. Sebuah gelombang kekuatan mengenai pipinya dan mengakibatkan segaris
luka terbentuk di sana.
“Kalau kamu tidak pernah mendengar,
Neo, kekuatanku adalah mengubah udara menjadi senjata.” Kata Queen. “Angin
adalah senjataku, dan aku bisa saja membunuhmu di sini sekarang juga jika aku
ingin.”
“Ap—”
“Hentikan. Tidak boleh ada
pertarungan di sini.” kata Minato. “Jadi… kalian menuntut pertanggung-jawaban
dariku karena aku adalah pemimpin kalian? Kagene?”
“Begitulah.” Kata Kagene. “Mayumi
menceritakan semuanya pada kami. Dan… kami merasa kami perlu meminta kepastian
darimu.”
“Kepastian tentang apa? Bahwa aku
bukan pion yang sah? Atau aku adalah keturunan dari Kurogane Kouji?”
“Semuanya.” Jawab Kagene lagi.
“Mayumi sudah menceritakan
semuanya, kan? Berarti tidak ada lagi yang harus kukatakan.” Kata Minato lagi.
“T-tapi—”
“Aku tidak perlu menjelaskan
apa-apa lagi.” kata Minato tegas. “Sejak awal aku tidak pernah memiliki hubungan
dengan kelompok Phoenix.”
“Tapi kamu pemimpin kami!” ujar
Neo, “Kenapa tiba-tiba kamu berubah seperti ini, Minato? Apa karena gadis itu?”
“Dia punya nama, Neo.” Balas
Minato. “Dan dia adalah adikku.”
“Adik—apa!?”
“Dia adikku. Adik angkat, memang. Tapi
dia tetap adalah keluargaku. Adikku yang kucari selama ini.” kata Minato, “Jadi
tidak ada alasan bagiku untuk tidak peduli padanya.”
Neo lagi-lagi terdiam mendengar
suara Minato yang tampak dingin dan datar. Sebelumnya dia memang selalu
mendengar suara Minato yang datar, tapi tidak pernah terdengar dingin seperti
ini…
Entah bagaimana Minato berubah
menjadi orang yang tidak dikenalnya.
Itu juga yang dipikirkan oleh Hana
dan Kagene. Mereka berdua menatap Minato yang memandang kearah lain dan seolah
tampak tidak peduli dengan apa yang sedang mereka pikirkan.
“Kalau begitu, aku akan pergi
sekarang.” Queen berdiri. “Urusanku kemari hanya untuk mengucapkan selamat
datang pada Miko Sakura. Sekarang urusanku sudah selesai.”
“Baiklah, terima kasih.”
Queen lalu berdiri dan sempat
melirik kearah Neo sekilas sebelum beranjak pergi dari sana.
Sekarang hanya tinggal Hana,
Kagene, Neo, dan Minato di ruangan itu. Suasananya jadi lebih mencekam daripada
tadi. Dan Neo mulai jengah dengan suasana seperti ini.
“Kalian,” Minato menatap mereka
bertiga, “Apa kalian datang kemari hanya karena ingin melampiaskan kemarahan
padaku?”
“Tidak, tentu saja.” kata Hana
mendahului sebelum Neo berbicara, “Kami hanya ingin memastikan bahwa kamu
baik-baik saja, Minato. Dan kami senang kamu memang baik-baik saja.”
Minato hanya mengedikkan bahu dan
kembali menatap kearah lain. Suasana kembali canggung.
“Jadi…” kata Kagene, “Kamu akan
meneruskan permainan ini, sebagai orang lain? Sebagai Senshu dari Blue Phoenix?”
“Ya.” Minato mengangguk, “Aku tidak
akan meninggalkan Sakura lagi. Dia satu-satunya keluargaku yang tersisa.”
Kagene hanya terdiam. Dia melirik
kearah Hana yang duduk di sebelahnya, lalu kearah Neo, yang kelihatannya
mencoba menelan amarahnya dan lebih memilih memandang kearah lain. Dia lalu
menghela nafas, dan kembali menatap Minato.
Sepertinya dia yang harus
mengendalikan situasi sekarang.
“Minato, apa kamu serius akan
meninggalkan kami dan menjadi Blue Phoenix?”
“Seratus persen.”
“Begitu…” Kagene mengangguk-angguk,
lalu berdiri, “Kalau begitu, temui kami di tempat biasa berkumpul. Jika kamu
memang benar-benar ingin keluar dari kelompok Phoenix… kamu harus datang ke
sana, membiarkan kami memberikanmu penghormatan terakhir, Tatakatta.”
Baik Hana dan Neo sama-sama
terkejut mendengar ucapan Kagene. Mereka tidak menduga Kagene akan menyuruh
Minato untuk datang dan melakukan Tatakatta,
sebuah pertarungan satu lawan satu untuk Senshu
yang dianggap membelot dari kelompoknya.
Minato sendiri sebenarnya tidak
menduga Kagene akan mengatakan hal itu. Tapi dia tetap memasang wajah tenang
dan mengangguk pelan.
“Baiklah.” kata pemuda itu, “Jam
sepuluh, atap gedung kosong di bagian selatan kota, kan?”
“Kami akan menunggumu di sana.”
balas Kagene sambil tersenyum tipis, “Ayo, Hana, Neo. Kita pulang sekarang.”
“Eh-tapi—”
Kagene sudah lebih dulu keluar dari
ruangan itu sementara Hana dan Neo buru-buru mengikutinya.
Ketika mereka bertiga sudah
benar-benar pergi, Minato menghela nafas dan menatap meja di depannya dengan
tatapan menerawang.
“Tatakatta… ya?”
****
“Kagene! Kagene, tunggu!!”
Kagene berhenti melangkah dan
menoleh kearah Hana yang berdiri di sebelahnya. Ditunggunya Hana yang sedang
terengah-engah dan berusaha mengatur nafasnya itu sebelum Neo bergabung dengan
mereka, juga dengan nafas terengah-engah.
“Kenapa kamu menyuruhnya melakukan Tatakatta?” tanya Hana. “Kamu sadar apa
yang kamu katakan pada Minato tadi?”
“Aku sadar. Karena itulah aku
memintanya datang nanti malam ke tempat biasa.” jawab Kagene.
“Tapi, yang kita bicarakan ini
adalah Minato!” kata Hana lagi, “Dia adalah yang terkuat di kelompok kita,
walau dia tidak pernah memperlihatkannya secara langsung… tapi aku bisa tahu
seberapa besar kekuatannya. Dan lagi setelah mendengar cerita Mayumi dan
pengakuan Minato… aku yakin kekuatannya lebih besar dari yang kurasakan.”
“Dan dia adalah pengkhianat.” Kata
Neo menyeletuk dengan nada dingin.
“Neo, cukup! Minato tidak pernah
berkhianat sejak awal, dan kita semua tidak berhak menyalahkan dia.” ujar Hana.
“Ya. Bukan Minato yang salah. Tapi
situasi yang membuatnya menjadi seperti ini.” kata Kagene, “Kenapa kamu tampak
marah mengetahui siapa Minato sebenarnya, Neo?”
“Aku hanya… hanya…”
Kagene dan Hana sama-sama menatap
Neo yang tampak tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Lalu tiba-tiba saja
sebuah pemikiran merasuk pikiran mereka.
“Neo, jangan bilang kalau kamu—”
“Apa?!” tanya Neo cepat. “Apa pun
yang ada di dalam pikiran kalian, jawabannya adalah TIDAK. Aku hanya tidak bisa
menerima kalau Minato ternyata adalah Senshu
dari kelompok lain, apalagi kelompok itu dibuat untuk menentang permainan Shigi.”
“Tapi kelompok itu dibuat untuk
membebaskan para Senshu, jadi kurasa
itu bukanlah kelompok jahat.” kata Kagene, “Jadi tepat seperti yang dikatakan
Hana. Kita tidak berhak menyalahkan Minato.”
Neo hanya mendengus dan tidak
membalas. Tapi dia membenarkan dalam hati kalau ucapan kedua temannya itu
benar.
Minato memang tidak bersalah.
Keadaan pemuda itulah yang membuatnya menjadi seperti sekarang.
Tapi kenapa Neo tidak suka dengan
kenyataan kalau Minato bukanlah seperti yang dia kira?
“Sekarang kita pulang saja. Nanti
malam kita akan melakukan Tatakatta.”
Kata Kagene, “Agar adil, aku yang akan memilih siapa yang akan melawan Minato.
Jika dia menang, kita harus merelakannya untuk keluar dari kelompok Phoenix.”
“Kalau kita yang menang?” tanya
Neo.
“Kita akan mempertahankan Minato
sebagai pemimpin kelompok kita dan membunuh Miko itu.” kata Kagene, “Walau itu
artinya kita harus menerima amarah dari Minato sendiri.”
****
Sakura menatap langit-langit kamarnya dan merenung.
Dia tidak bisa tidur, dan dia tidak ingin tidur sekarang karena sudah terlalu
lama beristirahat. Pikirannya masih tertuju pada apa yang dirasakan—atau lebih
tepat, dilihatnya dari gadis bernama Neo itu.
Sebuah perasaan yang tidak pernah
dia sangka akan dia rasakan. Perasaan itu…
“… apa ini yang dinamakan cemburu?”
tanyanya pada diri sendiri. “Perasaan yang tidak mengenakkan.”
Sakura membalikkan tubuhnya tepat
ketika pintu kamarnya terbuka dan Minato masuk ke dalam. Pemuda itu melangkah
menghampiri tempat tidur dan duduk di sisi Sakura.
“Apakah pembicaraannya berjalan
lancar?” tanya Sakura.
“Lumayan…” Minato mengedikkan bahu,
“Tapi kurasa tidak terlalu mulus. Malam ini aku harus pergi untuk melakukan Tatakatta.”
“Apa?”
Sakura langsung terduduk tegak dan
menatap Minato lekat-lekat.
“Kamu akan melakukan… apa?”
“Tatakatta. Pertarungan satu lawan satu dalam kelompok jika ada yang
berkhianat. Pertarungan itu untuk menentukan apakah si pengkhianat masih pantas
berada dalam kelompok tersebut atau tidak.” kata Minato.
“Aku tahu soal itu, tapi… kenapa
kamu harus melakukannya?” tanya Sakura, “Apa mereka yang menginginkanmu
melakukannya?”
“Begitulah…”
“Apa… apa ini karena aku?”
“Kenapa kamu bilang begitu?” tanya
Minato balik, “Ini bukan karena kesalahanmu. Tidak ada yang pernah
menyalahkanmu.”
“Tapi… andai aku tidak mengingat
semuanya… mungkin kamu masih bisa membunuhku, dan… dan… aku tidak mau menjadi
penghalang.”
“Aku tidak mengerti apa maksudmu,
Keiko, tapi…”
Minato menarik Sakura mendekat dan
memeluk gadis itu. Dikecupnya kening Sakura dan membuat gadis itu mengerjap
kaget.
“Kamu tidak perlu khawatir. Aku
tidak akan bisa dibunuh dengan mudah oleh siapapun, dan aku akan menjaga jiwamu
yang ada dalam tubuhku.” Kata Minato. “Tidak perlu khawatir. Kamu mengerti, kan?”
“Mmm…” Sakura mengangguk,
menggelung dalam pelukan Minato, “Jangan sampai kamu mati.”
“Tidak akan.” Kata Minato. “Aku
tidak akan mati kecuali kamu menghembuskan nafas terakhir.”
****
Deuce berjalan cepat menembus hutan lebat di
hadapannya. Dia tampak terburu-buru dan wajahnya sedikit pucat karena dinginnya
udara di dalam hutan. Tapi, dia tidak berniat untuk berhenti, sekedar
menghangatkan dirinya dengan kekuatannya. Dia tidak memilih opsi itu.
Setelah beberapa saat, Deuce
akhirnya melihat sebuah rumah kayu yang persis sama seperti yang ditinggali
Sakura. Hanya saja rumah kayu itu sedikit lebih kecil, dan dilapisi dengan Kekkaii yang tebal, cukup untuk membuat
seorang Senshu kelas tiga terpental
sejauh lima belas meter.
Dengan mudah Deuce menembus
penghalang tak kasat mata yang menyelubungi rumah itu dan masuk ke dalam. Di
sana sudah menunggu Ace dan Queen, tapi dia tidak melihat Jack, Master yang
satu lagi.
“Maaf aku terlambat.” Kata Deuce
sambil duduk di sebelah Queen.
“Tidak apa-apa. Kita belum memulai
pembicaraan penting kita.” balas Ace, “Di mana Jack?”
“Aku tidak bisa menemukannya di
mana pun. Bahkan di tempat biasa dia bersembunyi.” Kata Deuce.
“Begitu…” Ace mengangguk-angguk.
“Tidak apa, yang penting sekarang adalah mencoba mencari tahu rencana apa yang
sebenarnya ingin dilakukan Manami. Pria licik itu tidak akan membiarkan Minato
dan Sakura lepas begitu saja sebelum tujuannya tercapai, sama seperti yang
dilakukannya pada buyutku dulu.”
“Sebelumnya aku ingin bertanya,
Ace,” kata Queen, “apa kamu yakin Manami akan melakukan seperti yang kamu
katakan?”
“Kurasa begitu. Melihat dari
gelagatnya, aku yakin dia akan melakukannya.”
“Memangnya dia akan melakukan apa?”
tanya Deuce.
“Kamu ingat pembicaraan kita
sebelum menemui Sakura?” tanya Ace balik, yang disambut anggukan oleh Deuce.
“Yang akan kita bicarakan kali ini
adalah masalah perlindungan Minato dan Sakura. Jika Sakura sudah memiliki
sebagian ingatannya, kita harus menjaganya dengan ketat. Jangan sampai apa yang
terjadi pada Miko Shirayuri terjadi lagi pada Sakura.”
“Apa yang terjadi pada Miko pertama
permainan Shigi itu?” tanya Queen.
“Aku hanya pernah mendengar namanya, tapi tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi pada Miko itu.”
“Semua Senshu juga begitu. Mereka hanya tahu nama Miko Shirayuri, tapi
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya sampai membentuk kelompok Blue
Phoenix besama Kurogane Kouji.” Kata Ace, “Miko Shirayuri dibunuh oleh Manami
karena dianggap membangkang dari peraturan permainan, istilahnya dia
dieksekusi, tapi tidak dengan eksekusi biasa.”
“Bukan dengan eksekusi biasa?
Lalu?”
“Miko Shirayuri… dia dibuat buta
dan cacat oleh Manami sebelum akhirnya dibunuh bersama dengan Kurogane Kouji
tepat ketika anak pertama mereka lahir 78 tahun yang lalu.” kata Ace, “Dan asal
kamu tahu, ingatan kematian seorang Miko akan melekat pada generasi berikutnya.
Dan karena Sakura merupakan reinkarnasi sempurna dari Miko Shirayuri…”
“… ada kemungkinan ingatan dan juga
jiwa Miko Shirayuri berada di dalam tubuh Sakura, iya kan?” lanjut Deuce.
“Ya. Jika itu memang benar,
keadaannya benar-benar gawat. Tidak hanya Sakura sebagai wadah yang tepat untuk
membangkitkan jiwa Miko Shirayuri lagi, tapi juga karena di dalam tubuhnya,
Sakura memiliki anugerah dari ke Empat Dewa permainan Shigi.”
****
Sakura menatap Minato yang tertidur di
sebelahnya. Tangannya memeluk Sakura erat-erat, seolah tidak mau melepaskannya.
Hal yang wajar bagi Sakura ketika dia ingat Minato selalu memeluknya seperti
ini ketika mereka akan tidur.
Tatakatta…
kenapa aku merasakan perasaan tidak nyaman mengenai hal ini?
Sakura tidak tahu apa yang
menyebabkannya tidak tenang seperti ini. Tatakatta
memang sebuah peraturan mutlak bagi Senshu
yang dituduh berkhianat untuk melawan yang terkuat di kelompoknya. Selain Miko
yang bekerja menghapus perasaan dan ingatan yang tidak penting bagi Senshu, Tatakatta adalah bentuk lain dari ‘eksekusi’ yang biasa dilakukan
baik oleh Miko atau sang Master sendiri. Eksekusi dalam Shigi sendiri ada beberapa tipe, dan Tatakatta termasuk yang paling ringan.
Sakura bangun dan berjalan pelan
kearah pintu. Dia berjalan keluar dari kamar menuju balkon kamarnya. Sakura
merapatkan pakaiannya yang cukup tebal dan menyentuh pagar pembatas balkon.
Danau di hadapannya tampak tenang, tapi hati Sakura justru tidak tenang.
“Aku… takut…” katanya lirih, “Aku
tidak mau kehilangan Minato lagi.”
Gadis itu menghela nafas dan
menatap kedua tangannya yang berpegangan pada pagar balkon. Kedua tangan itu
gemetar, tapi Sakura tidak merasakan kedinginan, dia juga tidak merasakan kegelisahan,
tapi…
Cahaya-cahaya yang biasa
mengelilinginya mendadak muncul di sekitarnya. Sakura mengerjap dan melihat
cahaya-cahaya itu sambil mengerutkan kening. Aneh, kenapa cahaya-cahaya itu
muncul di saat seperti ini? Dan… kenapa mereka bergerak dengan pola yang tidak
biasa.
“Apa mau kalian?” tanya Sakura,
“Aku tidak punya waktu untuk bermain-main dengan kalian semua.”
“… sang Miko pertama memanggilmu…”
“… menunggumu di dekat danau…”
“… tempat segalanya bermula, semua yang terjadi pada Senshu pertama…”
Sakura mengerutkan kening makin
dalam. Miko pertama? Apa maksud cahaya-cahaya itu sebenarnya?
“Aku tidak akan tertipu dengan
ucapan kalian. Pergilah. Aku ingin sendirian saat ini.”
Namun, cahaya-cahaya itu tidak
mendengarkan ucapan Sakura. Malahan mereka ‘menarik’ gadis itu mengikuti mereka
kearah danau.
“A-apa yang kalian—hei!!”
Sakura terpaksa mengikuti
cahaya-cahaya itu dengan sedikit kesal. Tapi dia cukup penasaran, kenapa mereka
mengatakan Miko pertama ingin menemuinya? Bukankah tubuhnya adalah wadah bagi
ingatan Miko-Miko sebelum dirinya termasuk Miko pertama, Shirayuri? Lalu…
Sakura tidak sempat memikirkan
kemungkinan yang terpikirkan dalam kepalanya ketika dia akhirnya mencapai danau
dan terkejut melihat seorang gadis berambut hitam panjang dan sedang duduk di
atas batu besar di samping danau. Gaun yang dikenakan gadis itu berwarna putih,
kontras dengan rambutnya yang sehitam malam. Ketika Sakura mendekat, gadis itu
menoleh dan lagi-lagi Sakura dibuat tertegun ketika melihat wajah gadis itu
persis seperti dirinya!
“Kamu…”
“Aku hanya bisa menemui dalam
bentuk fisik seperti ini karena kamu mulai mengingat semuanya.” Kata gadis itu
sambil tersenyum, “Ngomong-ngomong aku belum memperkenalkan diirku, ya? Aku
Shirayuri, tapi nama asliku sebenarnya adalah Rin.”
“Rin[1]?”
“Ya. Itu satu-satunya nama yang
lebih kusuka ketimbang Shirayuri.” Kata Shirayuri lagi, “Kouji yang memberiku
nama Rin, dan aku menyukainya.”
Sakura melihat Shirayuri tampak
merenung dan kembali memandang danau.
“Cahaya-cahaya itu bilang kamu ingin
berbicara denganku,” kata Sakura, “Apa yang ingin kamu bicarakan?”
“Sebelumnya aku ingin meminta maaf
kalau akulah penyebab kalian berdua menjadi seperti sekarang. Tapi semua ini
ternyata sudah menjadi rencana Manami sejak lama.”
“Kalau hal itu aku sudah tahu.”
“Tapi, dia juga sudah memperkirakan
Minato akan mengikuti kemauan temannya untuk melakukan Tatakatta.” Kata Shirayuri lagi, “Jangan sampai dia melakukan Tatakatta itu, apapun yang terjadi.
Karena aku yakin Manami akan memanipulasi pertarungan itu.”
“Dari mana kamu tahu tentang itu?”
“Aku bisa merasakannya, lagipula
kamu adalah wadah bagi ingatan semua Miko sebelum dirimu.” Shirayuri tersenyum,
“Tapi kamu lebih dari itu, Sakura. Aku bisa melihatnya, kamu lebih daripada
yang kamu pikirkan sekarang.”
“Begitukah? Lalu, jika Minato tidak
boleh melakukan Tatakatta, lantas
bagaimana aku bisa mencegahnya?” kata Sakura, “Minato tidak akan bisa diubah
pendapatnya sekali dia menetapkan sesuatu.”
“Sifatnya memang sama seperti
Kouji. Dan kurasa memang dia tidak bisa dihentikan.” Shirayuri mengangguk
setuju, “Tapi setidaknya, kamu bisa mencegahnya terperangkap dalam jebakan
Manami.”
“Bagaimana caranya?”
Shirayuri tersenyum tipis. Dia lalu
berdiri dan mendekati Sakura. Disadarinya tinggi Shirayuri juga sama persis
seperti dirinya.
“Aku akan mengatakannya, tapi
sebagai gantinya kamu harus melakukan sesuatu untukku terlebih dulu.”
----------
Minato terbangun dan menyadari Sakura tidak ada
di dekatnya. Dia langsung terduduk tegak dan bangkit dari tempat tidur, mencari
Sakura.
“Keiko?”
Minato membuka pintu kamar dan
melihat Shirushi sedang berdiri di dekat tangga.
“Shirushi, di mana Keiko?” tanya
Minato.
“Kulihat dia pergi ke danau.
Cahaya-cahaya itu membawanya ke sana.” jawab Shirushi.
“Danau? Apa yang dilakukannya di
danau?”
“Entahlah. Para cahaya itu yang
membawanya ke sana.” ujar Shirushi, “Apa kamu ingin aku mencarinya?”
‘Tidak perlu.” Minato menggeleng, “Aku
akan mencarinya sendiri.”
Minato berjalan menuruni tangga
tepat ketika dia melihat seseorang masuk dari arah balkon di yang bersebelahan
dengan dapur.
Sakura masuk ke dalam sambil
menunduk. Cahaya-cahaya berkerumun di sekitarnya dan membuat Minato tidak bisa
melihat dengan jelas wajah Sakura.
“Keiko?”
Sakura mendongak dan melihat Minato
yang berdiri di anak tangga. Gadis itu memaksakan seulas senyuman walau saat
itu tubuhnya agak gemetar.
“Kamu dari mana saja?” tanya Minato
sambil mendekati Sakura, dan menyadari tubuh gadis itu gemetar, “Kamu
gemetaran. Apa di luar sangat dingin?”
“Tidak… aku hanya… mungkin sedikit
kelelahan karena berjalan-jalan di danau.” Kata Sakura.
“Begitu…”
Minato menarik Sakura dan
memeluknya. Gadis itu sendiri langsung menyandarkan kepalanya di dada Minato.
Memejamkan mata dan merasakan kehangatan dari tubuh Minato.
“Kamu mau pergi?” tanya Sakura.
“Ya. Aku harus melakukan Tatakatta dengan mereka malam ini.” kata
Minato, “Aku akan segera kembali. Tidak akan lama kok.”
“Tapi—”
“Tidak apa-apa. Aku bisa
mengatasinya.”
“Aku ingin ikut.”
“Apa?”
“Kalau itu pertarunganmu, itu
artinya pertarunganku juga.” Kata Sakura, “Lagipula aku punya firasat Manami
akan mengganggu Tatakatta-mu.”
“Pria itu?”
“Aku masih dendam padanya karena
sudah menambah luka di tubuhku. Aku ingin menghabisinya jika dia benar-benar
mengganggu pertarunganmu.”
Minato tertawa pelan mendengar
ucapan Sakura.
“Apa kamu sudah bisa bergerak
seperti biasa?” tanya pemuda itu.
“Aku bisa pergi ke danau itu
artinya aku sudah sembuh sepenuhnya, kan?” balas Sakura, “Lagipula aku abadi.
Aku tidak mungkin kalah hanya karena luka seperti ini.”
“Tapi kemarin kamu terlihat seperti
orang yang benar-benar sekarat.”
“Minato…”
“Baiklah, baiklah… aku tidak akan
menghalangimiu.” Kata Minato, “Bersiaplah sebentar lagi. Aku akan menunggumu di
luar.”
0 komentar:
Posting Komentar