Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Unmei Gokko - Chapter 10



Minato membimbing mereka semua menuju ruang tamu. Di sana sudah menunggu Kurome yang sedang menghidangkan sepoci teh dan juga biscuit. Entah darimana wanita itu mendapatkannya. Tapi dia lalu ingat Sakura mungkin menyimpan banyak persediaan makanan ringan di dapurnya, mengingat dapur gadis itu cukup luas dan bisa menampung lebih dari sepuluh orang sekaligus.
Minato duduk dan berterima kasih pada Kurome, yang kemudian disuruhnya mengawasi Sakura. Takut gadis itu bangkit dari tempat tidur dan malah mencelakakan diri sendiri padahal masih belum sembuh benar.

“Jadi…” Minato menatap Queen yang duduk tenang di kursinya, “… kamu bersedia membantuku dan Sakura untuk bebas?”
“Bersama Deuce dan Ace, ya.” kata Queen. “Aku sudah mendengar semuanya dari mereka berdua, dan kurasa, setelah apa yang kulakukan pada permainan ini kurasa sepadan jika aku ingin bebas sepenuhnya dari permainan ini.”
Minato mengangguk-angguk, “Lalu kalian bertiga, kenapa kalian kemari?”
“Membunuh gadis Miko itu tentu saja.” balas Neo dingin.
“Neo, hentikan! Biar bagaimanapun Minato masih pemimpin kelompok Phoenix!” kata Hana.
“Aku dipilih sebagai pemimpin bukan atas kemauanku sendiri.” kata Minato.
“Tapi Mayumi yang memilihmu!” kata Neo lagi, “Seharusnya kamu malu karena mengkhianati kami semua, Minato!”
“Aku tidak pernah mengkhianati siapapun.”
“Kamu—”
“Hentikan. Sekarang bukan waktunya untuk bertengkar!” sergah Queen, lalu memandang Neo, “Apa kamu tidak keberatan jika aku melakukan sesuatu padamu?”
“Memangnya kamu mau melakukan apa? Aku akan membalasmu.” Balas Neo.
Queen melirik kearah Minato, seolah meminta persetujuan. Tapi kemudian dia mengibaskan tangannya dan membuat Neo tersentak. Sebuah gelombang kekuatan mengenai pipinya dan mengakibatkan segaris luka terbentuk di sana.
“Kalau kamu tidak pernah mendengar, Neo, kekuatanku adalah mengubah udara menjadi senjata.” Kata Queen. “Angin adalah senjataku, dan aku bisa saja membunuhmu di sini sekarang juga jika aku ingin.”
“Ap—”
“Hentikan. Tidak boleh ada pertarungan di sini.” kata Minato. “Jadi… kalian menuntut pertanggung-jawaban dariku karena aku adalah pemimpin kalian? Kagene?”
“Begitulah.” Kata Kagene. “Mayumi menceritakan semuanya pada kami. Dan… kami merasa kami perlu meminta kepastian darimu.”
“Kepastian tentang apa? Bahwa aku bukan pion yang sah? Atau aku adalah keturunan dari Kurogane Kouji?”
“Semuanya.” Jawab Kagene lagi.
“Mayumi sudah menceritakan semuanya, kan? Berarti tidak ada lagi yang harus kukatakan.” Kata Minato lagi.
“T-tapi—”
“Aku tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi.” kata Minato tegas. “Sejak awal aku tidak pernah memiliki hubungan dengan kelompok Phoenix.”
“Tapi kamu pemimpin kami!” ujar Neo, “Kenapa tiba-tiba kamu berubah seperti ini, Minato? Apa karena gadis itu?”
“Dia punya nama, Neo.” Balas Minato. “Dan dia adalah adikku.”
“Adik—apa!?”
“Dia adikku. Adik angkat, memang. Tapi dia tetap adalah keluargaku. Adikku yang kucari selama ini.” kata Minato, “Jadi tidak ada alasan bagiku untuk tidak peduli padanya.”
Neo lagi-lagi terdiam mendengar suara Minato yang tampak dingin dan datar. Sebelumnya dia memang selalu mendengar suara Minato yang datar, tapi tidak pernah terdengar dingin seperti ini…
Entah bagaimana Minato berubah menjadi orang yang tidak dikenalnya.
Itu juga yang dipikirkan oleh Hana dan Kagene. Mereka berdua menatap Minato yang memandang kearah lain dan seolah tampak tidak peduli dengan apa yang sedang mereka pikirkan.
“Kalau begitu, aku akan pergi sekarang.” Queen berdiri. “Urusanku kemari hanya untuk mengucapkan selamat datang pada Miko Sakura. Sekarang urusanku sudah selesai.”
“Baiklah, terima kasih.”
Queen lalu berdiri dan sempat melirik kearah Neo sekilas sebelum beranjak pergi dari sana.
Sekarang hanya tinggal Hana, Kagene, Neo, dan Minato di ruangan itu. Suasananya jadi lebih mencekam daripada tadi. Dan Neo mulai jengah dengan suasana seperti ini.
“Kalian,” Minato menatap mereka bertiga, “Apa kalian datang kemari hanya karena ingin melampiaskan kemarahan padaku?”
“Tidak, tentu saja.” kata Hana mendahului sebelum Neo berbicara, “Kami hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja, Minato. Dan kami senang kamu memang baik-baik saja.”
Minato hanya mengedikkan bahu dan kembali menatap kearah lain. Suasana kembali canggung.
“Jadi…” kata Kagene, “Kamu akan meneruskan permainan ini, sebagai orang lain? Sebagai Senshu dari Blue Phoenix?”
“Ya.” Minato mengangguk, “Aku tidak akan meninggalkan Sakura lagi. Dia satu-satunya keluargaku yang tersisa.”
Kagene hanya terdiam. Dia melirik kearah Hana yang duduk di sebelahnya, lalu kearah Neo, yang kelihatannya mencoba menelan amarahnya dan lebih memilih memandang kearah lain. Dia lalu menghela nafas, dan kembali menatap Minato.
Sepertinya dia yang harus mengendalikan situasi sekarang.
“Minato, apa kamu serius akan meninggalkan kami dan menjadi Blue Phoenix?”
“Seratus persen.”
“Begitu…” Kagene mengangguk-angguk, lalu berdiri, “Kalau begitu, temui kami di tempat biasa berkumpul. Jika kamu memang benar-benar ingin keluar dari kelompok Phoenix… kamu harus datang ke sana, membiarkan kami memberikanmu penghormatan terakhir, Tatakatta.
Baik Hana dan Neo sama-sama terkejut mendengar ucapan Kagene. Mereka tidak menduga Kagene akan menyuruh Minato untuk datang dan melakukan Tatakatta, sebuah pertarungan satu lawan satu untuk Senshu yang dianggap membelot dari kelompoknya.
Minato sendiri sebenarnya tidak menduga Kagene akan mengatakan hal itu. Tapi dia tetap memasang wajah tenang dan mengangguk pelan.
“Baiklah.” kata pemuda itu, “Jam sepuluh, atap gedung kosong di bagian selatan kota, kan?”
“Kami akan menunggumu di sana.” balas Kagene sambil tersenyum tipis, “Ayo, Hana, Neo. Kita pulang sekarang.”
“Eh-tapi—”
Kagene sudah lebih dulu keluar dari ruangan itu sementara Hana dan Neo buru-buru mengikutinya.
Ketika mereka bertiga sudah benar-benar pergi, Minato menghela nafas dan menatap meja di depannya dengan tatapan menerawang.
Tatakatta… ya?”

****

“Kagene! Kagene, tunggu!!”
Kagene berhenti melangkah dan menoleh kearah Hana yang berdiri di sebelahnya. Ditunggunya Hana yang sedang terengah-engah dan berusaha mengatur nafasnya itu sebelum Neo bergabung dengan mereka, juga dengan nafas terengah-engah.
“Kenapa kamu menyuruhnya melakukan Tatakatta?” tanya Hana. “Kamu sadar apa yang kamu katakan pada Minato tadi?”
“Aku sadar. Karena itulah aku memintanya datang nanti malam ke tempat biasa.” jawab Kagene.
“Tapi, yang kita bicarakan ini adalah Minato!” kata Hana lagi, “Dia adalah yang terkuat di kelompok kita, walau dia tidak pernah memperlihatkannya secara langsung… tapi aku bisa tahu seberapa besar kekuatannya. Dan lagi setelah mendengar cerita Mayumi dan pengakuan Minato… aku yakin kekuatannya lebih besar dari yang kurasakan.”
“Dan dia adalah pengkhianat.” Kata Neo menyeletuk dengan nada dingin.
“Neo, cukup! Minato tidak pernah berkhianat sejak awal, dan kita semua tidak berhak menyalahkan dia.” ujar Hana.
“Ya. Bukan Minato yang salah. Tapi situasi yang membuatnya menjadi seperti ini.” kata Kagene, “Kenapa kamu tampak marah mengetahui siapa Minato sebenarnya, Neo?”
“Aku hanya… hanya…”
Kagene dan Hana sama-sama menatap Neo yang tampak tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Lalu tiba-tiba saja sebuah pemikiran merasuk pikiran mereka.
“Neo, jangan bilang kalau kamu—”
“Apa?!” tanya Neo cepat. “Apa pun yang ada di dalam pikiran kalian, jawabannya adalah TIDAK. Aku hanya tidak bisa menerima kalau Minato ternyata adalah Senshu dari kelompok lain, apalagi kelompok itu dibuat untuk menentang permainan Shigi.”
“Tapi kelompok itu dibuat untuk membebaskan para Senshu, jadi kurasa itu bukanlah kelompok jahat.” kata Kagene, “Jadi tepat seperti yang dikatakan Hana. Kita tidak berhak menyalahkan Minato.”
Neo hanya mendengus dan tidak membalas. Tapi dia membenarkan dalam hati kalau ucapan kedua temannya itu benar.
Minato memang tidak bersalah. Keadaan pemuda itulah yang membuatnya menjadi seperti sekarang.
Tapi kenapa Neo tidak suka dengan kenyataan kalau Minato bukanlah seperti yang dia kira?
“Sekarang kita pulang saja. Nanti malam kita akan melakukan Tatakatta.” Kata Kagene, “Agar adil, aku yang akan memilih siapa yang akan melawan Minato. Jika dia menang, kita harus merelakannya untuk keluar dari kelompok Phoenix.”
“Kalau kita yang menang?” tanya Neo.
“Kita akan mempertahankan Minato sebagai pemimpin kelompok kita dan membunuh Miko itu.” kata Kagene, “Walau itu artinya kita harus menerima amarah dari Minato sendiri.”

****

Sakura menatap langit-langit kamarnya dan merenung. Dia tidak bisa tidur, dan dia tidak ingin tidur sekarang karena sudah terlalu lama beristirahat. Pikirannya masih tertuju pada apa yang dirasakan—atau lebih tepat, dilihatnya dari gadis bernama Neo itu.
Sebuah perasaan yang tidak pernah dia sangka akan dia rasakan. Perasaan itu…
“… apa ini yang dinamakan cemburu?” tanyanya pada diri sendiri. “Perasaan yang tidak mengenakkan.”
Sakura membalikkan tubuhnya tepat ketika pintu kamarnya terbuka dan Minato masuk ke dalam. Pemuda itu melangkah menghampiri tempat tidur dan duduk di sisi Sakura.
“Apakah pembicaraannya berjalan lancar?” tanya Sakura.
“Lumayan…” Minato mengedikkan bahu, “Tapi kurasa tidak terlalu mulus. Malam ini aku harus pergi untuk melakukan Tatakatta.”
“Apa?”
Sakura langsung terduduk tegak dan menatap Minato lekat-lekat.
“Kamu akan melakukan… apa?”
Tatakatta. Pertarungan satu lawan satu dalam kelompok jika ada yang berkhianat. Pertarungan itu untuk menentukan apakah si pengkhianat masih pantas berada dalam kelompok tersebut atau tidak.” kata Minato.
“Aku tahu soal itu, tapi… kenapa kamu harus melakukannya?” tanya Sakura, “Apa mereka yang menginginkanmu melakukannya?”
“Begitulah…”
“Apa… apa ini karena aku?”
“Kenapa kamu bilang begitu?” tanya Minato balik, “Ini bukan karena kesalahanmu. Tidak ada yang pernah menyalahkanmu.”
“Tapi… andai aku tidak mengingat semuanya… mungkin kamu masih bisa membunuhku, dan… dan… aku tidak mau menjadi penghalang.”
“Aku tidak mengerti apa maksudmu, Keiko, tapi…”
Minato menarik Sakura mendekat dan memeluk gadis itu. Dikecupnya kening Sakura dan membuat gadis itu mengerjap kaget.
“Kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan bisa dibunuh dengan mudah oleh siapapun, dan aku akan menjaga jiwamu yang ada dalam tubuhku.” Kata Minato. “Tidak perlu khawatir. Kamu mengerti, kan?”
“Mmm…” Sakura mengangguk, menggelung dalam pelukan Minato, “Jangan sampai kamu mati.”
“Tidak akan.” Kata Minato. “Aku tidak akan mati kecuali kamu menghembuskan nafas terakhir.”

****

Deuce berjalan cepat menembus hutan lebat di hadapannya. Dia tampak terburu-buru dan wajahnya sedikit pucat karena dinginnya udara di dalam hutan. Tapi, dia tidak berniat untuk berhenti, sekedar menghangatkan dirinya dengan kekuatannya. Dia tidak memilih opsi itu.
Setelah beberapa saat, Deuce akhirnya melihat sebuah rumah kayu yang persis sama seperti yang ditinggali Sakura. Hanya saja rumah kayu itu sedikit lebih kecil, dan dilapisi dengan Kekkaii yang tebal, cukup untuk membuat seorang Senshu kelas tiga terpental sejauh lima belas meter.
Dengan mudah Deuce menembus penghalang tak kasat mata yang menyelubungi rumah itu dan masuk ke dalam. Di sana sudah menunggu Ace dan Queen, tapi dia tidak melihat Jack, Master yang satu lagi.
“Maaf aku terlambat.” Kata Deuce sambil duduk di sebelah Queen.
“Tidak apa-apa. Kita belum memulai pembicaraan penting kita.” balas Ace, “Di mana Jack?”
“Aku tidak bisa menemukannya di mana pun. Bahkan di tempat biasa dia bersembunyi.” Kata Deuce.
“Begitu…” Ace mengangguk-angguk. “Tidak apa, yang penting sekarang adalah mencoba mencari tahu rencana apa yang sebenarnya ingin dilakukan Manami. Pria licik itu tidak akan membiarkan Minato dan Sakura lepas begitu saja sebelum tujuannya tercapai, sama seperti yang dilakukannya pada buyutku dulu.”
“Sebelumnya aku ingin bertanya, Ace,” kata Queen, “apa kamu yakin Manami akan melakukan seperti yang kamu katakan?”
“Kurasa begitu. Melihat dari gelagatnya, aku yakin dia akan melakukannya.”
“Memangnya dia akan melakukan apa?” tanya Deuce.
“Kamu ingat pembicaraan kita sebelum menemui Sakura?” tanya Ace balik, yang disambut anggukan oleh Deuce.
“Yang akan kita bicarakan kali ini adalah masalah perlindungan Minato dan Sakura. Jika Sakura sudah memiliki sebagian ingatannya, kita harus menjaganya dengan ketat. Jangan sampai apa yang terjadi pada Miko Shirayuri terjadi lagi pada Sakura.”
“Apa yang terjadi pada Miko pertama permainan Shigi itu?” tanya Queen. “Aku hanya pernah mendengar namanya, tapi tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Miko itu.”
“Semua Senshu juga begitu. Mereka hanya tahu nama Miko Shirayuri, tapi tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya sampai membentuk kelompok Blue Phoenix besama Kurogane Kouji.” Kata Ace, “Miko Shirayuri dibunuh oleh Manami karena dianggap membangkang dari peraturan permainan, istilahnya dia dieksekusi, tapi tidak dengan eksekusi biasa.”
“Bukan dengan eksekusi biasa? Lalu?”
“Miko Shirayuri… dia dibuat buta dan cacat oleh Manami sebelum akhirnya dibunuh bersama dengan Kurogane Kouji tepat ketika anak pertama mereka lahir 78 tahun yang lalu.” kata Ace, “Dan asal kamu tahu, ingatan kematian seorang Miko akan melekat pada generasi berikutnya. Dan karena Sakura merupakan reinkarnasi sempurna dari Miko Shirayuri…”
“… ada kemungkinan ingatan dan juga jiwa Miko Shirayuri berada di dalam tubuh Sakura, iya kan?” lanjut Deuce.
“Ya. Jika itu memang benar, keadaannya benar-benar gawat. Tidak hanya Sakura sebagai wadah yang tepat untuk membangkitkan jiwa Miko Shirayuri lagi, tapi juga karena di dalam tubuhnya, Sakura memiliki anugerah dari ke Empat Dewa permainan Shigi.”

****

Sakura menatap Minato yang tertidur di sebelahnya. Tangannya memeluk Sakura erat-erat, seolah tidak mau melepaskannya. Hal yang wajar bagi Sakura ketika dia ingat Minato selalu memeluknya seperti ini ketika mereka akan tidur.
Tatakatta… kenapa aku merasakan perasaan tidak nyaman mengenai hal ini?
Sakura tidak tahu apa yang menyebabkannya tidak tenang seperti ini. Tatakatta memang sebuah peraturan mutlak bagi Senshu yang dituduh berkhianat untuk melawan yang terkuat di kelompoknya. Selain Miko yang bekerja menghapus perasaan dan ingatan yang tidak penting bagi Senshu, Tatakatta adalah bentuk lain dari ‘eksekusi’ yang biasa dilakukan baik oleh Miko atau sang Master sendiri. Eksekusi dalam Shigi sendiri ada beberapa tipe, dan Tatakatta termasuk yang paling ringan.
Sakura bangun dan berjalan pelan kearah pintu. Dia berjalan keluar dari kamar menuju balkon kamarnya. Sakura merapatkan pakaiannya yang cukup tebal dan menyentuh pagar pembatas balkon. Danau di hadapannya tampak tenang, tapi hati Sakura justru tidak tenang.
“Aku… takut…” katanya lirih, “Aku tidak mau kehilangan Minato lagi.”
Gadis itu menghela nafas dan menatap kedua tangannya yang berpegangan pada pagar balkon. Kedua tangan itu gemetar, tapi Sakura tidak merasakan kedinginan, dia juga tidak merasakan kegelisahan, tapi…
Cahaya-cahaya yang biasa mengelilinginya mendadak muncul di sekitarnya. Sakura mengerjap dan melihat cahaya-cahaya itu sambil mengerutkan kening. Aneh, kenapa cahaya-cahaya itu muncul di saat seperti ini? Dan… kenapa mereka bergerak dengan pola yang tidak biasa.
“Apa mau kalian?” tanya Sakura, “Aku tidak punya waktu untuk bermain-main dengan kalian semua.”
… sang Miko pertama memanggilmu…
… menunggumu di dekat danau…
… tempat segalanya bermula, semua yang terjadi pada Senshu pertama…”
Sakura mengerutkan kening makin dalam. Miko pertama? Apa maksud cahaya-cahaya itu sebenarnya?
“Aku tidak akan tertipu dengan ucapan kalian. Pergilah. Aku ingin sendirian saat ini.”
Namun, cahaya-cahaya itu tidak mendengarkan ucapan Sakura. Malahan mereka ‘menarik’ gadis itu mengikuti mereka kearah danau.
“A-apa yang kalian—hei!!”
Sakura terpaksa mengikuti cahaya-cahaya itu dengan sedikit kesal. Tapi dia cukup penasaran, kenapa mereka mengatakan Miko pertama ingin menemuinya? Bukankah tubuhnya adalah wadah bagi ingatan Miko-Miko sebelum dirinya termasuk Miko pertama, Shirayuri? Lalu…
Sakura tidak sempat memikirkan kemungkinan yang terpikirkan dalam kepalanya ketika dia akhirnya mencapai danau dan terkejut melihat seorang gadis berambut hitam panjang dan sedang duduk di atas batu besar di samping danau. Gaun yang dikenakan gadis itu berwarna putih, kontras dengan rambutnya yang sehitam malam. Ketika Sakura mendekat, gadis itu menoleh dan lagi-lagi Sakura dibuat tertegun ketika melihat wajah gadis itu persis seperti dirinya!
“Kamu…”
“Aku hanya bisa menemui dalam bentuk fisik seperti ini karena kamu mulai mengingat semuanya.” Kata gadis itu sambil tersenyum, “Ngomong-ngomong aku belum memperkenalkan diirku, ya? Aku Shirayuri, tapi nama asliku sebenarnya adalah Rin.”
“Rin[1]?”
“Ya. Itu satu-satunya nama yang lebih kusuka ketimbang Shirayuri.” Kata Shirayuri lagi, “Kouji yang memberiku nama Rin, dan aku menyukainya.”
Sakura melihat Shirayuri tampak merenung dan kembali memandang danau.
“Cahaya-cahaya itu bilang kamu ingin berbicara denganku,” kata Sakura, “Apa yang ingin kamu bicarakan?”
“Sebelumnya aku ingin meminta maaf kalau akulah penyebab kalian berdua menjadi seperti sekarang. Tapi semua ini ternyata sudah menjadi rencana Manami sejak lama.”
“Kalau hal itu aku sudah tahu.”
“Tapi, dia juga sudah memperkirakan Minato akan mengikuti kemauan temannya untuk melakukan Tatakatta.” Kata Shirayuri lagi, “Jangan sampai dia melakukan Tatakatta itu, apapun yang terjadi. Karena aku yakin Manami akan memanipulasi pertarungan itu.”
“Dari mana kamu tahu tentang itu?”
“Aku bisa merasakannya, lagipula kamu adalah wadah bagi ingatan semua Miko sebelum dirimu.” Shirayuri tersenyum, “Tapi kamu lebih dari itu, Sakura. Aku bisa melihatnya, kamu lebih daripada yang kamu pikirkan sekarang.”
“Begitukah? Lalu, jika Minato tidak boleh melakukan Tatakatta, lantas bagaimana aku bisa mencegahnya?” kata Sakura, “Minato tidak akan bisa diubah pendapatnya sekali dia menetapkan sesuatu.”
“Sifatnya memang sama seperti Kouji. Dan kurasa memang dia tidak bisa dihentikan.” Shirayuri mengangguk setuju, “Tapi setidaknya, kamu bisa mencegahnya terperangkap dalam jebakan Manami.”
“Bagaimana caranya?”
Shirayuri tersenyum tipis. Dia lalu berdiri dan mendekati Sakura. Disadarinya tinggi Shirayuri juga sama persis seperti dirinya.
“Aku akan mengatakannya, tapi sebagai gantinya kamu harus melakukan sesuatu untukku terlebih dulu.”

----------

Minato terbangun dan menyadari Sakura tidak ada di dekatnya. Dia langsung terduduk tegak dan bangkit dari tempat tidur, mencari Sakura.
“Keiko?”
Minato membuka pintu kamar dan melihat Shirushi sedang berdiri di dekat tangga.
“Shirushi, di mana Keiko?” tanya Minato.
“Kulihat dia pergi ke danau. Cahaya-cahaya itu membawanya ke sana.” jawab Shirushi.
“Danau? Apa yang dilakukannya di danau?”
“Entahlah. Para cahaya itu yang membawanya ke sana.” ujar Shirushi, “Apa kamu ingin aku mencarinya?”
‘Tidak perlu.” Minato menggeleng, “Aku akan mencarinya sendiri.”
Minato berjalan menuruni tangga tepat ketika dia melihat seseorang masuk dari arah balkon di yang bersebelahan dengan dapur.
Sakura masuk ke dalam sambil menunduk. Cahaya-cahaya berkerumun di sekitarnya dan membuat Minato tidak bisa melihat dengan jelas wajah Sakura.
“Keiko?”
Sakura mendongak dan melihat Minato yang berdiri di anak tangga. Gadis itu memaksakan seulas senyuman walau saat itu tubuhnya agak gemetar.
“Kamu dari mana saja?” tanya Minato sambil mendekati Sakura, dan menyadari tubuh gadis itu gemetar, “Kamu gemetaran. Apa di luar sangat dingin?”
“Tidak… aku hanya… mungkin sedikit kelelahan karena berjalan-jalan di danau.” Kata Sakura.
“Begitu…”
Minato menarik Sakura dan memeluknya. Gadis itu sendiri langsung menyandarkan kepalanya di dada Minato. Memejamkan mata dan merasakan kehangatan dari tubuh Minato.
“Kamu mau pergi?” tanya Sakura.
“Ya. Aku harus melakukan Tatakatta dengan mereka malam ini.” kata Minato, “Aku akan segera kembali. Tidak akan lama kok.”
“Tapi—”
“Tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya.”
“Aku ingin ikut.”
“Apa?”
“Kalau itu pertarunganmu, itu artinya pertarunganku juga.” Kata Sakura, “Lagipula aku punya firasat Manami akan mengganggu Tatakatta-mu.”
“Pria itu?”
“Aku masih dendam padanya karena sudah menambah luka di tubuhku. Aku ingin menghabisinya jika dia benar-benar mengganggu pertarunganmu.”
Minato tertawa pelan mendengar ucapan Sakura.
“Apa kamu sudah bisa bergerak seperti biasa?” tanya pemuda itu.
“Aku bisa pergi ke danau itu artinya aku sudah sembuh sepenuhnya, kan?” balas Sakura, “Lagipula aku abadi. Aku tidak mungkin kalah hanya karena luka seperti ini.”
“Tapi kemarin kamu terlihat seperti orang yang benar-benar sekarat.”
“Minato…”
“Baiklah, baiklah… aku tidak akan menghalangimiu.” Kata Minato, “Bersiaplah sebentar lagi. Aku akan menunggumu di luar.”


[1]  Bentuk kanjinya adalah , yang berarti ‘dingin’ atau ‘bermartabat’.

0 komentar:

Posting Komentar