Saat jam istirahat, Sakura memanfaatkan
kesempatan itu untuk sedikit menjauh dari teman-teman sekelasnya. Dia perlu
waktu untuk menyendiri, satu hal yang paling disukainya selain mengunjungi
rumah kaca atau sekedar pergi ke perpustakaan.
Saat berjalan di koridor, dia
disapa oleh semua orang, termasuk para penggemarnya. Sakura membalasnya dengan
senyum tipis dan berjalan menuju rumah kaca sekolah yang memuat berbagai macam
varietas tanaman hias dan obat-obatan. Dia suka pergi ke sana untuk sekedar
menyirami semua tanaman di sana atau hanya duduk dan menunggu sampai jam
istirahat habis.
Tapi, sepertinya Sakura tidak bisa
melakukan hal yang sudah menjadi hobinya itu kali ini.
Tepat ketika dia memasuki rumah
kaca, dia langsung dihadang oleh Manami yang muncul entah dari mana.
“Hai, Beauty. Kulihat kamu sehat-sehat saja.” kata laki-laki itu sambil
tersenyum.
“Sedang apa kamu di sini?” tanya
Sakura sambil mengerutkan kening.
“Tentu saja mengunjungimu, kan? Aku
tidak mungkin tidak peduli padamu, Beauty.”
Jawab Manami.
“Aku tidak suka dikunjungi orang
asing, terutama di lingkungan sekolah. Pergi dari sini sekarang juga!”
“Dingin sekali kamu padaku.” kata
Manami sambil tertawa, “Aku hanya kemari karena ingin melihatmu. Salah, ya?”
“Sangat salah. Pergilah, sebelum
aku memusnahkanmu.”
“Memangnya kamu bisa melakukannya.”
Sakura hanya diam. Dia lalu memilih
berjalan melewati Manami dan mengambil alat penyiram tanaman dan mengisinya
dengan air.
Manami mengikutinya sambil
tersenyum dan terus mengikuti gadis itu kemana pun dia pergi.
“Hei Sakura, kamu masih tidak
tertarik dengan ideku yang pernah kukatakan sebelumnya?” tanya Manami.
“Aku tidak tahu apa maksud
ucapanmu.” Kata Sakura, “Sudah kubilang untuk pergi dari sini, kan?”
“Aku tidak akan pergi sampai kamu
memberikan jawabanmu.”
Sakura tidak membalas dan lebih
memilih menyibukkan diri menyiram tanaman.
Manami menarik lengan Sakura hingga
gadis itu menghadap kearahnya.
“Apa-apaan kamu!?”
“Berikan jawabanmu sekarang, Beauty, dan setelahnya aku tidak akan
mengganggumu lagi… sampai saatnya tiba.” Kata Manami.
“Aku tidak mengerti apa yang kamu
maksudkan, Manami. Lepaskan tanganmu dari tanganku!” ujar Sakura.
“Aku tidak akan melepasnya.” Jawab
Manami enteng.
“Kamu—”
“Apa kamu takut aku akan melakukan
sesuatu padamu? Tenang saja, aku tidak akan melakukannya kecuali kamu
menginginkannya.”
“Sampai mati pun aku tidak akan
sudi.” Balas Sakura, “Lepaskan tanganku, Manami! Lepas—kyaa!!”
Manami menarik gadis itu hingga
tidak ada jarak di antara mereka, dan sebelum Sakura sempat protes, Manami
menutup bibir gadis itu dengan bibirnya hingga membuat kedua mata Sakura
terbelalak. Manami tidak membiarkan Sakura mendorongnya dan memegang leher
belakang gadis itu.
“!!”
Setelah cukup lama, Manami
melepaskan ciumannya dan menatap Sakura dengan senyum penuh kemenangan.
“Aku tahu apa rahasiamu sekarang.”
kata laki-laki itu.
“A-apa…?”
“Jiwamu,” kata Manami, “Tidak ada
di tubuhmu, kan?”
----------
Sakura yakin wajahnya berubah pucat ketika
Manami mengatakan kalau jiwanya tidak ada di tubuhnya, dan dia berusaha
melepaskan diri dari pelukan Manami namun tidak bisa karena laki-laki itu
memeluknya dengan sangat erat.
“Jawab aku, Beauty, apa jiwamu tidak ada di tubuhmu sekarang? Tidak perlu
berpura-pura…”
“Lepaskan aku, Manami!”
“Aku tidak akan melepasmu.”
“Tolong, lepas—”
“Sakura?”
Mereka berdua menoleh dan melihat
Minato berdiri di depan pintu rumah kaca dengan kening berkerut.
“Sakura, kamu sedang apa?” tanya
Minato lagi.
“Minato…”
“Hei, kamu tidak boleh meminta
tolong pada orang lain, kan?” kata Manami mencengkeram erat lengan Sakura dan
menoleh kearah Minato, “Kamu mengganggu kesenanganku. Berani sekali kamu.”
“Minato, tolong aku!” ujar Sakura,
“Tolong—uhh…”
Sakura meringis ketika dia
merasakan luka di dadanya terasa nyeri. Minato yang melihatnya langsung
mendekat dan bermaksud menarik Sakura dari Manami ketika dia merasakan sesuatu
menekan leher belakangnya.
Apa
ada seorang lagi di belakang?
“Jangan coba-coba untuk merusak
kesenanganku, anak muda. Urusanku hanya dengan Beauty-ku ini.”
“Kau membuatnya kesakitan.” Kata
Minato tenang, “Lepaskan dia.”
“Hmm… tipe laki-laki yang pemberani,
ya? Jadi dia mainan barumu sekarang, Beauty?”
Sakura tidak menjawab dan hanya
memalingkan wajahnya dari laki-laki itu.
“Setelah apa yang kulakukan padamu,
dan sekarang kamu memberontak dariku!?”
Sakura menjerit ketika cengkeraman
tangan Manami semakin keras dan membuatnya kesakitan. Dia tidak mungkin bisa
melepaskan diri dari Manami. Tidak setelah laki-laki itu tahu rahasianya dan
memegangnya sebagai titik kelemahannya.
“Hei, hentikan!!”
Minato menyerang Manami, tidak
memerdulikan rasa dingin yang ada di leher belakanngya. Ia berhasil membuat
Manami mundur dan melepaskan Sakura.
“Sakura, kamu tidak apa-apa?”
Sakura menggeleng, tapi tubuh gadis
itu mulai gemetar, yang sekarang Minato tahu adalah tanda bahwa Sakura
ketakutan.
Manami mundur beberapa langkah dan
menatap marah pada Minato.
“Berani sekali kamu menggangguku.”
Kata Manami, “Apa kamu tidak tahu siapa aku?”
“Aku memang tidak tahu, dan tidak
ingin mengetahui siapa dirimu.” Balas Minato.
“Lucu. Harusnya kamu takut padaku.”
ujar Manami, “Aku adalah orang yang bisa membuatmu tewas seketika di tempatmu berdiri
sekarang.”
Minato mengerutkan kening mendengar
ucapan Manami, tapi Sakura yang gemetar di dekatnya membuatnya mengurungkan
niat untuk bertanya.
Manami melihat sekilas kearah
Sakura yang menunduk dengan wajah pucat, kemudian kearah Minato. Dia menatap
mereka berdua bolak-balik, kemudian menghela nafas.
“Aku akan mengalah hari ini, Beauty. Tapi ingat, aku tidak akan
main-main lagi kali ini setelah aku tahu apa rahasiamu.”
Tubuh Sakura menegang mendengar
ucapan Manami, namun dia tidak mengatakan apa-apa.
Manami berjalan melewati mereka
berdua dan sempat mengedipkan mata pada Sakura sekilas sebelum kemudian
menghilang seperti ditelan angin.
Minato menatap kepergian Manami
dengan pandangan bertanya-tanya. Apa hubungan Sakura dengan laki-laki itu?
Kenapa Sakura tampak ketakutan saat laki-laki itu bicara padanya?
“Sakura—”
“Terima kasih karena sudah
menolongku.” Kata Sakura cepat-cepat, “Maaf aku… aku harus pergi.”
“Tunggu!”
Minato menarik tangan Sakura dan
membuat langkah gadis itu berhenti. Sakura mendongak dan menatap wajah Minato
yang menyiratkan dengan jelas kalau pemuda itu meminta penjelasan darinya.
Tapi, yang keluar dari mulut Minato
justru sebaliknya.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya
Minato.
“Tentu. Aku baik-baik saja.” jawab
Sakura.
“Wajahmu tidak mengatakan begitu…”
kata Minato, “Tapi aku tidak akan bertanya. Aku tahu kamu tidak akan mau
menjawabnya saat ini.”
Sakura hanya mengedikkan bahu.
Sepertinya Minato sudah bisa mengerti sifat yang dimilikinya.
“Tapi…” Minato mengeratkan
pegangannya pada tangan Sakura.
“Minato, sakit…”
Minato mengerjapkan mata dan
mengendurkan pegangannya pada tangan gadis itu.
“Maaf, aku tidak sengaja.” Kata
Minato, “Sakura, kamu yakin kamu baik-baik saja?”
“Aku sudah bilang aku baik-baik
saja.” balas Sakura, “Kenapa kamu tampak khawatir sekali padaku?”
Karena
ada kemungkinan kamu adalah Keiko yang kucari selama ini. kata Minato dalam hati, tidak berani
mengucapkannya secara langsung pada Sakura.
“Karena kamu memiliki jiwaku di
dalam tubuhmu, sudah tentu aku khawatir.” Kata Minato.
Sakura kembali terdiam mendengar
ucapan Minato. Jiwa. Ya… jiwa di dalam tubuhnya bukanlah jiwa aslinya, tapi
jiwa Minato…
… dan Manami tahu jiwa di dalam
tubuhnya bukanlah miliknya.
Dan mengingat hal itu membuat
Sakura memejamkan matanya.
“Minato, kurasa… kurasa kamu harus
menjauh dariku.” kata Sakura. “Mulai saat ini, jangan pernah mendekatiku lagi.”
“Apa? Kenapa?”
“Aku tidak suka.” Ujar Sakura, “Aku
tidak mau mempunyai hutang budi padamu dan aku benci merasa berhutang budi.”
“Apa kamu lupa jiwa kita berdua
tertukar dan aku tidak mungkin menjauh darimu?” balas Minato.
“Aku… tahu itu. Tapi aku hanya… aku
tidak mau kamu ada di dekatku.”
Minato menyipitkan mata menatap
Sakura, dan melihat gadis itu tampak gelisah. Aneh. Ini tidak seperti Sakura
yang pernah dia lihat. Entah kenapa gadis itu sekarang tampak… rapuh.
Benar-benar rapuh.
“Apakah kamu ada masalah dengan
laki-laki tadi?” tanya Minato, “Siapa sebenarnya laki-laki itu? Apa kamu
mengenalnya?”
“Aku… memang mengenalnya.”
“Lalu, siapa dia?”
“Orang yang berkuasa atas permainan
kematian kalian.”
“Dia Master?”
Sakura mengangguk mengiyakan
pertanyaan Minato.
“Dan sekarang dia menemukanku dan
juga rahasiaku, aku tidak mungkin membiarkan orang yang punya jiwaku dalam
bahaya, kan?” kata Sakura, “Aku hanya ingin jiwaku yang ada di tubuhmu
baik-baik saja, dan karena itu aku minta padamu untuk menjauh dariku.”
“Permintaanmu tidak masuk akal.
Jiwaku yang ada di dalam tubuhmu bagaimana? Tidak mungkin aku meninggalkanmu
sendiri, kan? Kita bahkan tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan jiwa kita
ke tubuh masing-masing.”
“Aku akan mencari caranya.” Kata
Sakura cepat, “Aku akan mencari tahu caranya, pasti.”
“Bagaimana caranya?”
“Aku akan memikirkannya.” kata
Sakura lagi, lalu dia cepat-cepat pergi dari sana sebelum Minato sempat
bertanya-tanya lagi.
“Sakura!!”
****
Manami menapakkan kakinya di salah satu atap
gedung yang letaknya cukup dekat dengan SMA Haruma dan mengawasi tempat itu
sambil tersenyum kecil.
“Baru kali ini aku bisa membuat Beauty tidak bisa membantah…” katanya
sambil melihat rumah kaca tempatnya tadi menemui Sakura, “Sepertinya gertakanku
berhasil, ya?”
“Apa yang kau lakukan?”
Manami menoleh dan melihat Ace
tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Mata Ace menatap tajam Manami dan di
tangannya tergenggam erat sebuah pistol berwarna perak.
“Oh, hai Ace,” sapa Manami, “Kamu
datang tepat pada waktunya. Dan ada apa dengan pistol di tanganmu itu?”
“Aku berusaha untuk bersikap baik:
tidak membunuhmu hari ini.” kata Ace. “Kau benar-benar membuatku muak. Apa yang
kau lakukan pada Miko itu!?”
“Tenang, Sweetheart. Apa kamu cemburu pada Sakura? Kamu manis sekali…”
Ace menggeram dan mengacungkan
pistolnya kearah Manami.
“Kalau aku melihatmu melakukan
sesuatu padanya… aku bersumpah, Manami, aku akan membunuhmu.” Kata Ace, “Walau
itu berarti aku harus menjadi pembelot dari permainan ini.”
“Kamu tidak akan bisa, Ace.” Kata
Manami sambil tertawa. “Apa kamu lupa siapa yang sedang berdiri di hadapanmu?
Sang Master utama! Kamu tidak akan bisa membunuhku walau kamu ingin, kan?”
“Aku bisa membunuhmu, akan
kupastikan itu.” kata Ace, “Apa aku perlu membuktikannya padamu?”
“Silakan saja.”
“Kalau itu maumu.”
Ace melepaskan beberapa tembakan
kearah Manami, tidak habis dengan itu, dia dengan cepat mengibaskan pistolnya
hingga muncul mata pisau tajam dari ujung moncong pistolnya. Ia tahu Manami
bisa dengan mudah menghindari peluru yang ditembakkan dari jarak jauh maupun
dekat, tapi dia yakin Manami tidak akan bisa menghindari serangannya
berikutnya.
Manami menghindari semua peluru
yang ditembakkan kearahnya dengan santai. Dia melihat Ace berlari kearahnya dan
dia tersenyum lebar.
“Bagus sekali. Hiburan yang sangat
menarik.” Kata Manami sambil mengangkat sebelah tangannya kearah Ace.
Ace mengangkat pistolnya tinggi-tinggi
dan bermaksud menyerang tangan Manami yang terarah kearahnya. Namun sepertinya
dia keliru memperhitungkan segalanya.
Benturan dari mata pisau di
pistolnya dan juga tangan Manami tidak seperti suara benturan atau semacamnya.
Benturan yang terjadi antara senjatanya dan juga tangan Manami lebih mirip
seperti mengenai sebuah pelindung tidak terlihat.
“Kekkaii[1].”
Geram Ace, “Kau memakai cara licik rupanya.”
“Aku selalu melakukannya setiap
saat untuk wanita secantik dirimu, Ace.” Kata Manami sambil tersenyum, “Tapi
sayangnya kamu tidak akan bisa melukaiku!”
Manami melayangkan sebuah tendangan
kearah perut Ace, dan tepat sasaran. Ace mundur beberapa langkah sambil menahan
rasa sakit yang dirasakannya di perutnya. Tendangan Manami terasa seperti
tendangan bertenaga ribuan kuda di tubuhnya. Dia harus bersyukur tidak mati
konyol atau setidaknya jatuh pingsan hanya karena tendangan laki-laki itu.
“Kuakui kamu sudah berkembang lebih
baik dari yang dulu, Ace. Tapi seharusnya kamu tahu, kamu tidak akan bisa mengalahkanku
sebagai Master pertama.”
“Aku akan berusaha untuk
mengalahkanmu, walau aku harus mati berkali-kali.” Balas Ace, “Aku akan
memastikannya.”
“Apa kamu bisa melakukannya? Aku
meragukannya, Ace.” Balas Manami, “Dan juga… sepertinya aku sedang dalam
kondisi yang cukup bagus untuk membuatmu terluka sedikit.”
“Aku tidak akan membiarkannya.”
Ujar Ace, “Akulah yang akan melukaimu, Manami.”
“Coba saja kalau kamu bisa, dan aku
akan memberitahu kalau aku mendapatkan sesuatu yang menarik hari ini.”
“Sesuatu yang menarik?” Ace
mengerutkan kening.
“Miko yang selalu kamu lindungi
itu,” kata Manami, “Tidak memiliki jiwanya sendiri.”
“A-apa?!”
Mata Ace terbelalak mendengar
informasi itu. Rasa sakit yang tadinya masih dirasakannya tidak lagi terasa dan
dia mencoba mencerna ucapan Manami barusan.
“Kamu pasti kaget, ya? Miko kali
ini tidak memiliki jiwanya sendiri, benar-benar ironis.” Kata Manami. “Aku
sangat menyayangkan jiwanya tidak ada pada dirinya, dan ini menambah daftar
pekerjaanku untuk menemukan jiwanya itu.”
“Apa yang akan kau lakukan jika
menemukan jiwa asli Miko itu?” tanya Ace, “Membunuhnya? Menjadikannya bonekamu
selamanya?”
“Hmm… ide menjadikannya bonekaku
selamanya patut dipertimbangkan, tapi aku tidak hanya mengincar itu saja.” kata
Manami, “Aku mengincar sesuatu yang lain, yang hanya bisa dilakukan oleh Miko
itu.”
“Sesuatu yang lain?”
“Kamu akan tahu nanti, Ace.” Kata
Manami, “Untuk saat ini, silakan tenggelamkan dirimu dalam kemarahan dan
dendammu, sementara aku bersenang-senang menantikan hari di mana aku
mendapatkan apa yang kumau tiba.”
Ace tidak sempat membalas ucapan
Manami karena laki-laki itu sudah lebih dulu pergi, layaknya angin, jejaknya
tidak bisa diikuti.
Ace menatap gedung SMA Haruma di
hadapannya dan berusaha untuk berpikir positif.
Manami
tidak mungkin tahu… katanya
dalam hati, Dia tidak mungkin tahu apa
yang sebenarnya terjadi di sini…
****
Sakura bersandar pada dinding di dekatnya dan
menghembuskan nafasnya yang terengah-engah karena berlari tadi. Sakit di
dadanya kembali terasa dan dia harus menahan diri agar tidak meringis kesakitan
untuk ke sekian kalinya.
“Dia tahu…” gumam Sakura, “… dia
tahu aku tidak memiliki jiwaku sendiri.”
Sakura lalu duduk dan membenamkan
wajahnya ke kedua tangannya. Rasanya dia ingin berteriak, tapi tahu itu hanya
akan menarik perhatian orang-orang.
Dari
sekian kesialan yang kualami… ini yang terparah. Katanya dalam hati. Tidak hanya kesialan yang paling parah, tapi juga yang terburuk.
Sakura tidak pernah memikirkan
Manami akan tahu apa rahasianya dari menciumnya…
… mencium?
Tiba-tiba benak Sakura diliputi
kemarahan. Berani sekali laki-laki itu menciumnya, bahkan mencuri ciuman
pertamanya!
Sakura bukan gadis yang terlalu
mengerti mode atau tren terkini yang dibicarakan teman-temannya, tapi dia tidak
bisa memikirkan orang lain yang mencuri ciuman pertamanya. Seseorang yang tidak
pernah dia sukai bahkan mungkin sampai dia mati nanti!
“Aku benar-benar akan membunuh
laki-laki itu kalau bertemu dengannya.” Geram Sakura, “Aku tidak peduli kalau
aku akan mati sekalipun.
“Kamu gadis yang pemberani rupanya…”
“Eh?”
Sakura mengerutkan kening mendengar
suara yang terdengar halus dan lembut itu. Dia menoleh-noleh ke sekelilingnya
tapi tidak menemukan siapa-siapa. Dia juga tidak melihat cahaya-cahaya yang
biasa mengelilinginya tanpa peduli waktu. Bahkan Minato yang dia takutkan
mengikutinya juga tidak kelihatan.
“Suara tadi…”
“Kamu bisa mendengar suaraku?” suara itu lagi-lagi berbicara,
terdengar terkejut.
“T-tentu saja…” kata Sakura, “Siapa
kamu? Tunjukkan dirimu.”
“Andai aku bisa berdiri di depanmu.” Kata suara itu lagi, “Aku tidak punya tubuh. Tubuhku sudah hancur
dulu sekali.”
“Kamu salah satu cahaya itu?” tanya
Sakura.
“Bukan. Aku ada di dalam dirimu.” Kata suara itu, membuat Sakura
kaget, “Sulit menjelaskannya, tapi aku
memang ada di dalam dirimu, di dasar hatimu.”
Sakura mengerjap bingung, tapi
tidak mengatakan apa-apa.
“Siapa kamu?” tanya gadis itu lagi.
“Shirayuri.” Jawab suara itu, “Namaku
Shirayuri, dan aku adalah Miko pertama permainan Shigi.”
“M-Miko pertama!?”
Sakura membelalak kaget
mendengarnya.
“A-apa kamu… bagaimana bisa Miko
pertama bicara denganku?”
“Katakanlah… kamu adalah keturunanku? Di dalam tubuhmu mengalir darahku,
dan aku rasa hal itu sedikti banyak menjelaskan segalanya.”
Sakura diam. Dia menatap rumput di
bawah kakinya.
“Lalu… kenapa kamu berbicara
padaku? Bukankah seharusnya kamu tidak…”
“Aku tidak bisa membiarkan Manami melakukan hal yang sama lagi pada
keturunanku, karena itulah aku muncul.” Kata Shirayuri, “Mungkin terdengar aneh, tapi keputusanmu
untuk tidak mempercayai laki-laki itu sudah benar. Dan mulai sekarang kamu
harus berhati-hati karena dia tahu kamu tidak memiliki jiwamu sendiri.”
“K-kamu tahu itu?”
“Aku ada di dalam dirimu, tentu saja aku tahu. Yang jelas, mulai
sekarang kamu harus berhati-hati, dan jangan percayai siapapun sampai kamu
menemukan Soultherm-mu.”
“Soultherm?”
“Itu adalah sebutan untuk pasangan yang bertukar jiwa denganmu. Lebih
tepatnya, Pelindung-mu. Pasangan hidup-matimu.”
“Pelindung?” Sakura mengerjap,
“Soultherm… Miko memiliki pelindung?”
“Ya. Seorang Miko memiliki pelindung, dan Soultherm adalah sebutannya.
Seorang pelindung dipilih untuk menjaga Miko permainan Shigi. Hal itu
diharuskan sejak pertama kali permainan Shigi diciptakan.”
“Kalau begitu… dia adalah Soultherm-ku?”
Sakura tiba-tiba teringat Minato.
Bukankah pemuda itu memiliki jiwanya.
Apa itu artinya Minato adalah
Soultherm-nya?
****
Sampai jam pulang sekolah, Minato tidak bisa
menemukan Sakura. Dia sudah mencari ke ruang kelas gadis itu, bahkan ke tempat-tempat
yang dikatakan para fans-nya sering dikunjungi oleh gadis itu. Tapi tetap saja
dia tidak bisa menemukan Sakura.
“Ke mana sebenarnya gadis itu?”
Minato melangkah kearah lokernya
dan mengeluarkan sepatunya. Diletakkannya sepatu dalam ruangan yang dipakainya
selama jam pelajaran ke dalam loker dan berjalan keluar ruang loker. Ketika di
luar, dia melihat seseorang sedang berdiri di depan gerbang sekolahnya.
Neo. Salah seorang temannya dari
kelompok Phoenix.
Gadis itu memakai celana jins dan
t-shirt berwarna abu-abu yang agak kebesaran. Pakaiannya tergolong cukup
berani, apalagi sekarang sudah mendekati musim semi. Ia hanya mengenakan sebuah
jaket jins yang kelihatan tipis dan sudah dicuci berkali-kali sebagai pelapis
t-shirtnya. Rambut Neo dipotong pendek seperti laki-laki, dan dengan segala
aksesoris rantai dan cincin di tubuhnya, Neo tampak seperti laki-laki cantik
atau bishounen berpakaian ala rock n’ roll ketimbang seorang gadis.
“Yo, Minato.” Sapa Neo, “Baru
pulang sekolah, kan?”
“Kamu bisa lihat sendiri, kan?”
balas Minato.
Neo hanya tertawa.
“Ada apa kamu kemari? Bukankah
universitasmu berbeda arah dari sini?” tanya Minato sambil berjalan, teringat
universitas tempat Neo kuliah letaknya cukup jauh dari sekolahnya.
“Hmm… aku sedang tidak ada kerjaan
di kampus, jadi aku memutuskan menemuimu.” Jawab Neo, “Dan juga ada yang ingin
kubicarakan. Ini mengenai Miko yang kita temui malam itu?”
“Maksudmu Sakura?”
“Kamu mengenalnya?” tanya Neo
menaikkan sebelah alisnya.
“Hanya kebetulan tahu namanya.”
Kata Minato cepat, “Apa yang ingin kamu bicarakan mengenai Miko itu?”
Neo mengeluarkan ponselnya dan
mengutak-atiknya sebentar sebelum menyerahkannya pada Minato. Dia lalu
menunjukkan layar ponselnya yang memuat halaman sebuah situs berwarna hitam dan
bertuliskan sebuah nama yang tidak asing bagi Minato.
“Situs Shigi?” kata Minato, “Sejak kapan permainan itu memiliki situs
sendiri?”
“Aku juga kaget pada awalnya, tapi
situs ini benar-benar nyata, aku baru diberitahu Mayumi pagi tadi. Hanya yang
berhubungan dengan Shigi saja yang
mengetahui tentang situs ini dan semua Senshu
juga sudah tahu tentang ini. Mayumi berpikir kamu pasti adalah orang terakhir
yang mengetahui ini.” kata Neo.
“Sepertinya begitu, mengingat aku
jarang memegang ponsel kecuali untuk keperluan tertentu.” jawab Minato.
“Browsing internet, maksudmu? Atau sekedar bermain online game?”
Minato hanya mengedikkan bahu
sebagai jawabannya.
“Jadi, apa hubungannya situs itu
dengan Miko yang kita temui itu?”
“Ah ya…” Neo mengutak-atik
ponselnya lagi, “Nah, ini dia. Coba lihat ini.”
Minato kembali melihat layar ponsel
Neo. Kali ini pada halaman situs yang diperlihatkan Neo terdapat sebuah tulisan
berjudul ‘Pemberitahuan Penting’. Minato membaca apa yang tertulis di bawah
tulisan tersebut, dan beberapa saat setelah membacanya, dia melihat kearah Neo
dengan pandangan terkejut.
“Ini… benar?”
“Seperti yang kamu lihat,” kata
Neo, “isi pesan pada situs itu adalah memburu Miko itu. Mulai malam ini tujuan
para Senshu tidak hanya membunuh
kelompok satu atau yang lain, tapi memburu Miko pembelot itu, Miko Sakura.”
“T-tapi itu… dari mana perintah itu
berasal?”
“Sudah jelas, kan?” Neo menunjuk
ponselnya, “Pesan ini berasal dari Master permainan Shigi. Mengenai alasan, Mayumi yang bertindak sebagai operator kita saja tidak mengetahuinya.”
Minato tidak mengatakan apa-apa.
Mendadak saja dia merasakan keringat dingin mengaliri tengkuknya.
Sakura… Sakura akan diburu?
“Kalau dilihat dari pesannya,
sepertinya kita harus menangkapnya hidup-hidup terlebih dahulu, baru diadili di
hadapan semua Senshu dari keempat
kelompok. Di sini juga dikatakan, seorang Miko baru akan ditunjuk tepat setelah
Miko Sakura selesai diadili.”
“Diadili… bagaimana dia akan
diadili? Apa kekuatannya akan diambil? Atau dibunuh?”
“Aku tidak tahu, Minato. Tapi
mengingat dia membunuh Senshu, kurasa
dia akan dibunuh juga. Nyawa dibalas nyawa, kan?”
Minato tidak membalas lagi. Tanpa
disadari oleh dirinya sendiri, ia berlari dan mencoba menemukan Sakura. Dia
bahkan tidak memerdulikan teriakan Neo yang kaget karena dia berlari tiba-tiba
di belakangnya.
----------
Minato melompati setiap dahan pohon di hutan
dan menuju rumah Sakura. Dia yakin gadis itu sudah berada di rumah, dan tempat
yang dia tahu akan didatangi gadis itu tentu saja adalah rumahnya di tengah
hutan, kan? Kadang-kadang dia bersyukur punya sebuah kemampuan unik (kalau
tidak mau dibilang aneh) yang memungkinkannya untuk mengetahui aroma orang
lain, karena layaknya ingatan fotografis, aroma yang pernah dia hirup tidak
akan dia lupakan walau hanya sekali menghirupnya.
Minato sampai di depan rumah
Sakura, dan melihat pintu rumahnya sedikit terbuka. Tanpa basa-basi, Minato
membuka pintu itu lebar-lebar dan melihat Sakura sedang berbaring di sofanya.
Gadis itu melompat kaget ketika pintu rumahnya menjeblak terbuka secara
tiba-tiba dan Minato berdiri di depan pintu dengan nafas terengah-engah.
“Apa-apaan kamu membuka pintu rumah
orang tanpa permisi!?” kata gadis itu marah, “Kamu gila ya!!?”
Minato tidak mengindahkan teriakan
marah gadis itu dan menghampiri Sakura. Ditatapnya Sakura lekat-lekat, kemudian
menghela nafas.
“Syukurlah kamu tidak apa-apa.”
kata pemuda itu.
“Kamu aneh. Apa maksudmu membuka
pintu rumah orang sembarangan dan menyelonong masuk lalu mengatakan sesuatu
yang aneh?” kata Sakura tajam, “Bukankah sudah kubilang untuk tidak mendekatiku
lagi?”
“Aku…” Minato menarik nafas dan
menghembuskannya perlahan, “… hanya bersyukur kamu tidak terluka.”
Sakura menatap Minato dengan kening
berkerut. Pemuda itu aneh sekali. Kenapa dia tampak kelelahan dan… cemas? Atau
lega, entahlah. Sulit menebaknya karena pemuda itu tidak terlihat cemas, tapi
lebih terlihat gembira.
“Aku tidak mengerti apa maksudmu.”
Kata Sakura, “Pergi. Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak mendekatiku, dan
kamu melanggarnya.”
“Aku tidak bisa meninggalkanmu.”
Balas Minato, “Aku tidak bisa, tidak akan pernah bisa.”
“Aku bisa melakukannya.” Sakura
membalas, “Pergilah sebelum aku mengusirmu dengan cara tidak terhormat yang
bisa kamu tanggung.”
Minato menatap Sakura, kemudian
menggeleng.
“Tidak.” kata pemuda itu
bersikeras, “Ngomong-ngomong, apa kamu sudah tahu kalau permainan di mana kamu
dan aku terlibat di dalamnya, memiliki situs?”
“Hah?”
“Kamu punya ponsel? Biar
kutunjukkan padamu.”
Walau tidak mengerti, Sakura
mengambil ponselnya yang dia letakkan di atas meja dan memberikannya pada
Minato. Pemuda itu dengan cepat mengetikkan sesuatu di ponselnya. Setelah
beberapa saat, Minato mengembalikan ponselnya. Di layarnya kini terpampang
sebuah halaman situs berwarna hitam dan ada tulisan berwarna putih mengilat
yang bertuliskan ‘Shigi’, diikuti
sesuatu semacam pengumuman di bawahnya.
Sakura membaca apa yang tertulis di
sana dengan wajah datar, lalu mendongak menatap Minato.
“Memangnya kenapa dengan tulisan
ini?” tanya Sakura.
“Sudah jelas kan? Nyawamu bakal
terancam. Jika kamu mati, itu artinya aku juga mati, kan?” kata Minato.
“Aku tidak akan mati semudah itu.”
jawab Sakura, “Aku kuat, dan dengan adanya perintah ini, kegiatanku akan lebih
menyenangkan.”
“Kegiatan—”
“Membunuh Senshu sudah kutetapkan sejak Kak Setsuna meninggal. Agar tidak ada
yang tahu apa yang akan terjadi jika kalian tetap hidup dan mendapatkan posisi
utama dalam permainan ini.” kata Sakura, “Khususu untukmu, aku akan berusaha
agar tidak membunuhmu sebelum aku mendapatkan jiwaku sendiri.”
“Tapi, Sakura,” Minato mencengkeram
kedua bahu Sakura, “apa kamu sadar bahaya apa yang akan mengincarmu—juga jiwaku
di dalam tubuhmu?”
Sakura meringis pelan karena
cengkeraman Minato, tapi dia tetap menatap pemuda itu dengan tatapan datar.
“Lalu? Bukankah aku sudah bilang
kalau aku tidak akan mati semudah yang kamu pikirkan? Kenapa kamu bersikeras
untuk tidak meninggalkanku?”
“Itu karena… karena…”
Sakura memiringkan kepalanya
menunggu jawaban Minato. Tapi pemuda itu tidak kunjung menjawab hingga akhirnya
Sakura menghela nafas.
“Kalau tidak ada yang ingin kamu
katakan lagi, pergi—”
“… kapan Kak Setsuna meninggal?”
“Eh?”
Minato menatap Sakura lekat-lekat,
“Kapan Kak Setsuna meninggal?” tanyanya lagi.
“Kenapa kamu ingin tahu?”
“Karena… pasti ada hubungannya
dengan ini semua, kan?” kata Minato.
“Hubungan dengan apa?” tanya Sakura
lagi, “Aku tidak mengerti apa maksudmu.”
“Tidak, itu… kalau aku bilang… kamu
adalah Keiko bagaimana?”
“Sudah kubilang aku bukan Keiko.
Aku sudah pernah mengatakannya saat kita pertama kali bertemu, kan?”
“Tapi Kak Setsuna-mu dan juga Kak
Setsuna-ku adalah orang yang sama.” Kata Minato, “Foto yang pernah
kuperlihatkan padamu waktu itu sudah menjadi bukti yang jelas, kan?”
“Aku memang tidak menyangkal mereka
orang yang sama.” Ujar Sakura.
“Benar, kan? Lalu kalau kamu adalah
Keiko—”
“Tapi aku tidak pernah ingat aku
adalah Keiko.” Sela Sakura, “Aku tidak tahu apakah aku memang Keiko yang kamu
maksud atau bukan.”
“Hah?”
“Ingatanku hilang saat aku berusia
delapan tahun.” Kata Sakura, “Yang kuingat namaku adalah Sakura dan aku adalah
Miko selanjutnya. Kak Setsuna merawat dan melatihku agar bisa menjadi Miko
berikutnya menggantikan dirinya.”
“I-ingatanmu… hilang?” tanya Minato
kaget, “Benarkah?”
“Memangnya itu menjadi urusanmu?
Aku tidak tahu seperti apa masa kecilku dan aku tidak berniat untuk
mengingatnya lagi.”
“Apa?”
“Karena kalau aku mengingatnya aku
akan menderita lagi.” ujar Sakura, “Apa kamu pernah merasakan melihat kematian
seseorang di depan matamu dan kamu masih tetap hidup dan harus menjadi
pengingat kematian mereka? Apa kamu pernah merasakan bagaimana saat sesuatu
yang tidak pernah kamu inginkan terjadi padamu malah terjadi begitu saja dan
merenggut sesuatu yang penting bagimu?”
Sakura menepis kedua lengan Minato
yang masih mencengkeram bahunya dan memalingkan wajahnya.
“Aku tidak pernah ingat apakah aku
pernah menjadi ‘nisan’ kematian seseorang, tapi hatiku tahu aku sudah melihat
banyak kematian jauh sebelum aku kehilangan ingatanku. Dan aku tidak berniat
untuk mengingatnya lagi.” Kata Sakura lagi.
Minato yakin dia menatap Sakura
dengan mata sedikit terbelalak. Bukan karena ucapan Sakura yang mengatakan
pernah menjadi ‘nisan’ seseorang, tapi mengenai hilangnya ingatan gadis itu…
“Sakura,”
“Pergilah dari sini.”
“Aku tidak akan pergi.”
“Apa kamu selalu keras kepala
seperti ini?” tanya Sakura, “Aku hanya tidak ingin—”
Sakura terdiam ketika Minato
menyentuh bibirnya dengan jari telunjuknya. Ia mengerjapkan mata dan menatap
Minato dengan pandangan bingung.
“Apa…”
“Aku tidak akan meninggalkanmu.
Kamu boleh marah atau tidak menganggapku ada sama sekali. Aku hanya mau tahu
kalau kamu baik-baik saja.”
“Apa?”
“Kalau kamu kehilangan ingatanmu
dan tidak ingin mengingatnya itu terserah dirimu. Tapi… sikap dan wajahmu
sangat mirip Keiko, jadi… aku tidak mungkin membiarkanmu sendirian, kan?”
“Apa hubungannya gadis itu dengan
aku?”
“Karena kalian berdua sama-sama
mirip dari segi wajah dan sikap, tentu saja kamu mengingatkanku padanya. Dan
juga… jiwaku ada di dalam tubuhmu, tidak mungkin aku meninggalkanmu, kan?”
“Aku sudah bilang kalau aku bisa
menja—”
“Maaf mengganggu kalian berdua,”
Minato dan Sakura sama-sama menoleh
kearah pintu depan dan melihat seorang wanita berambut merah pendek berdiri di
sana.
“Kamu…”
“… Deuce?”
“Kamu mengenal Deuce?” tanya
Minato.
“Dia salah satu Master Shigi.” Jawab Sakura.
“Salah satu Master!!?”
“Ya, ya… bisa hilangkan embel-embel
itu? Aku tidak terlalu suka dengan hal itu.” kata Deuce. “Maaf kalau aku
mengganggu kalian, tapi aku ada urusan dengan Sakura.”
“Denganku?” Sakura mengerutkan
kening.
“Sudah dengar soal perintah untuk
membunuhmu?”
“Kalau iya memangnya kenapa?” tanya
Sakura balik.
“Ini,”
Deuce melemparkan sesuatu kearah
Sakura dan gadis itu menangkapnya. Di tangannya kini terdapat sebuah kalung
dengan bandul bunga lili yang mirip dengan kalung yang dipakainya sekarang.
“Kalung ini…”
“Seseorang menyuruhku untuk
memberikannya padamu, dan orang itu juga bilang untuk menyuruhmu memberikan
benda itu pada cowok yang ada di sebelahmu itu.”
“Apa?!”
“Dan juga ada pesan dari orang yang
memberikan kalung itu padamu,” kata Deuce, “Pesannya, ‘Kalian berdua tidak
boleh terpisah lagi dan harus memercayai satu sama lain. Sakura, Kurogane
Minato adalah kunci agar kamu bisa bebas dari permainan ini.’.”
“Kunci agar aku bisa bebas? Siapa
yang mengirim pesan itu?” tanya Sakura.
“Sayang sekali dia tidak mau
memberitahu siapa dirinya.” kata Deuce, “Aku kemari hanya untuk menyampaikan
pesan itu. Dan aku berharap kalian berdua bisa melewati semua ini dengan baik.”
“Apa maksudmu, Deuce? Aku
benar-benar tidak mengerti.” kata Sakura, “Apa yang memberikan pesan itu…
Manami?”
“Laki-laki yang gila kekuatan itu
tidak akan pernah mau membantumu kecuali untuk mendapatkan kekuatan Empat Dewa,
kan?”
Sakura terdiam. Dia tahu apa yang
dikatakan Deuce benar.
“Kalau begitu urusanku sudah
selesai di sini. Sampai jumpa lagi, kalian berdua.”
Deuce berbalik dan dia menghilang
bersamaan dengan angin yang berhembus kencang memasuki ruang tamu rumah Sakura.
“Deuce itu… salah satu Master?
Memangnya ada berapa Master dalam permainan Shigi?”
tanya Minato.
“Master yang sesungguhnya
sebenarnya adalah Manami, yang mendapat julukan King. Tapi kemudian terpilih
empat Senshu yang mendapatkan
kekuatan mutlak dari Empat Dewa. Mereka adalah Queen, Jack, Ace, dan Deuce.
Deuce dulunya adalah Senshu dari
kelompok Shirushi, namun tidak ada yang ingat siapa Deuce karena teman-temannya
menganggapnya tidak pernah ada.”
“Tidak pernah… ada?”
Sakura memandang kalung berbandul
bunga lili di tangannya.
“Kenapa dia menyuruhku memberikan
ini padamu, dan lagi kenapa aku harus memercayaimu?” kata Sakura.
“Aku tidak tahu kalau urusan itu.”
balas Minato. “Tapi tidak ada salahnya dicoba, kan?”
“Aku benci hal-hal yang masih belum
pasti.”
“Tapi kalau kita tidak mencobanya
kita tidak akan tahu seperti apa hasilnya.” Kata Minato lagi, “Dan juga… kurasa
aku mengenal kalung ini.”
“Benarkah?”
“Kalung itu adalah kalung yang
pernah kubelikan untuk Keiko ketika ulang tahunnya yang ke-delapan,” kata
Minato, “Dan kalung itu ada dua, yang artinya kalung itu memiliki pasangannya…
yang sekarang kamu kenakan.”
Sakura menatap kalung yang
melingkari lehernya.
“Apa… ini kebetulan?” tanyanya,
“Kalung ini sudah kupakai sejak lama dan aku tidak pernah tahu kalung ini ada
pasangannya.”
“Kalung pasangannya memang sengaja
kusimpan waktu itu, dan… kalung ini dan juga kalung yang kamu kenakan memang
kalung yang dulu pernah kubeli waktu itu.” kata Minato.
“Jadi… jadi aku benar-benar…
Keiko?”
“Sepertinya tidak diragukan lagi.”
Sakura termenung dan dia tidak tahu
harus mengatakan apa. Namun kepalanya terasa sakit dan sesuatu seperti hendak
meledak keluar dari kepalanya.
“Sakura, apa kamu… mau percaya
dengan ucapan Deuce?”
“Deuce adalah satu-satunya Master
yang baik padaku.” kata Sakura, “Aku tidak akan pernah meragukan ucapannya.
Tapi… tapi kenapa semuanya jadi begini?”
“Mungkin karena takdir?”
“Aku tidak pernah percaya takdir.”
Balas Sakura, “Tapi… tapi… aku tidak tahu harus percaya atau tidak…”
“Kalau begitu cobalah percaya mulai
saat ini.” kata Minato, “Aku percaya dengan kata-kata Deuce tadi. Dan aku
yakin, orang yang memberikan kalung ini pasti tahu tentang masa lalumu… dan
juga masa laluku.”
“Menurutmu begitu?”
“Aku selalu mempercayai orang lain
tidak peduli orang itu dulunya orang jahat atau bukan.” Kata Minato.
“Walau kalian berperan sebagai Senshu sekalipun?”
“Tidak diragukan lagi.”
“Kamu benar-benar orang yang aneh,
ya?”
Minato hanya mengedikkan bahu,
“Jadi, bagaimana? Apa kamu…”
Sakura menatap lagi kalung di
tangannya dan kemudian menghembuskan nafas.
“Setiap perkataan memiliki makna
yang banyak, dan aku yakin ucapan Deuce tadi bukan hanya bermakna seperti yang
diucapkannya.” Kata Sakura, “Aku akan… mencoba percaya padanya.”
Sakura menghadap Minato dan
melingkarkan kalung itu di leher pemuda itu. Ketika dia baru saja mengaitkan
kedua ujung kalung itu, tiba-tiba saja sekelebat ingatan menghantam kepala
Sakura. Gadis itu meringis dan nyaris kehilangan keseimbangan kalau saja Minato
tidak menyangga tubuhnya.
“Sakura, kamu kenapa?”
“Kepalaku… sakit…” kata Sakura,
“Aku… uhh…”
Ingatan-ingatan itu begitu cepat
menghantam otaknya. Rasa sakit yang menyerang kepalanya tidak bisa dia tahan
lagi dan akhirnya gadis itu pingsan di pelukan Minato.
“Sakura!”
Wajah Sakura tampak pucat dan ada
keringat dingin yang mengalir di kening gadis itu.
“Sakura? Sakura?”
Minato mengangkat tubuh gadis itu
dan merebahkannya di sofa panjang. Keringat dingin masih mengalir di dahi gadis
itu dan Minato merasa cemas karena Sakura meringis kesakitan. Dia ingat luka di
dada Sakura masih belum sepenuhnya sembuh. Apa luka itu yang membuat gadis itu
kesakitan?
Aku
harus mencari sesuatu untuk meredakan rasa sakitnya. Kata Minato dalam hati.
Dia baru akan berdiri ketika kedua
mata Sakura tiba-tiba terbuka. Gadis itu menatap lekat-lekat sekitarnya,
kemudian pandangannya tertuju pada Minato yang balas menatapnya.
“Sakura, kamu tidak apa-apa?” tanya
Minato, “Apa lukamu terbuka lagi? Aku akan mencari sesuatu untuk meredakan rasa
sakitnya—”
“Minato…”
“Ya?”
Sakura terus menatapnya
lekat-lekat. Sebelah tangan gadis itu terangkat dan mengelus wajahnya. Minato
melihat bola mata gadis itu tampak berkilau daripada biasanya.
“Sakura?”
Sakura hanya diam, tapi beberapa
saat kemudian dia duduk dan menarik tangan pemuda itu.
“S-Sakura? Ada ap—”
“Pergi.” Kata gadis itu, “Tempatmu
bukan di sini.”
“Hah?”
Sakura menggiring Minato sampai ke
depan pintu rumahnya dan dia mendorong pemuda itu keluar.
“Sakura? Ada apa?”
“Jangan mendekatiku lagi.” kata
Sakura, “Pergi sejauh mungkin dariku dan jangan pernah coba-coba untuk
mendekatiku lagi.”
“Aku tidak mengerti apa maksudmu?
Bukankah kata Deuce kita tidak boleh berjauhan?”
Sakura terdiam. Dia lagi-lagi
menatap Minato lekat-lekat, dan tanpa diduga gadis itu berjinjit dan mencium
bibir Minato.
0 komentar:
Posting Komentar