Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Unmei Gokko - Chapter 6



Saat jam istirahat, Sakura memanfaatkan kesempatan itu untuk sedikit menjauh dari teman-teman sekelasnya. Dia perlu waktu untuk menyendiri, satu hal yang paling disukainya selain mengunjungi rumah kaca atau sekedar pergi ke perpustakaan.
Saat berjalan di koridor, dia disapa oleh semua orang, termasuk para penggemarnya. Sakura membalasnya dengan senyum tipis dan berjalan menuju rumah kaca sekolah yang memuat berbagai macam varietas tanaman hias dan obat-obatan. Dia suka pergi ke sana untuk sekedar menyirami semua tanaman di sana atau hanya duduk dan menunggu sampai jam istirahat habis.

Tapi, sepertinya Sakura tidak bisa melakukan hal yang sudah menjadi hobinya itu kali ini.
Tepat ketika dia memasuki rumah kaca, dia langsung dihadang oleh Manami yang muncul entah dari mana.
“Hai, Beauty. Kulihat kamu sehat-sehat saja.” kata laki-laki itu sambil tersenyum.
“Sedang apa kamu di sini?” tanya Sakura sambil mengerutkan kening.
“Tentu saja mengunjungimu, kan? Aku tidak mungkin tidak peduli padamu, Beauty.” Jawab Manami.
“Aku tidak suka dikunjungi orang asing, terutama di lingkungan sekolah. Pergi dari sini sekarang juga!”
“Dingin sekali kamu padaku.” kata Manami sambil tertawa, “Aku hanya kemari karena ingin melihatmu. Salah, ya?”
“Sangat salah. Pergilah, sebelum aku memusnahkanmu.”
“Memangnya kamu bisa melakukannya.”
Sakura hanya diam. Dia lalu memilih berjalan melewati Manami dan mengambil alat penyiram tanaman dan mengisinya dengan air.
Manami mengikutinya sambil tersenyum dan terus mengikuti gadis itu kemana pun dia pergi.
“Hei Sakura, kamu masih tidak tertarik dengan ideku yang pernah kukatakan sebelumnya?” tanya Manami.
“Aku tidak tahu apa maksud ucapanmu.” Kata Sakura, “Sudah kubilang untuk pergi dari sini, kan?”
“Aku tidak akan pergi sampai kamu memberikan jawabanmu.”
Sakura tidak membalas dan lebih memilih menyibukkan diri menyiram tanaman.
Manami menarik lengan Sakura hingga gadis itu menghadap kearahnya.
“Apa-apaan kamu!?”
“Berikan jawabanmu sekarang, Beauty, dan setelahnya aku tidak akan mengganggumu lagi… sampai saatnya tiba.” Kata Manami.
“Aku tidak mengerti apa yang kamu maksudkan, Manami. Lepaskan tanganmu dari tanganku!” ujar Sakura.
“Aku tidak akan melepasnya.” Jawab Manami enteng.
“Kamu—”
“Apa kamu takut aku akan melakukan sesuatu padamu? Tenang saja, aku tidak akan melakukannya kecuali kamu menginginkannya.”
“Sampai mati pun aku tidak akan sudi.” Balas Sakura, “Lepaskan tanganku, Manami! Lepas—kyaa!!”
Manami menarik gadis itu hingga tidak ada jarak di antara mereka, dan sebelum Sakura sempat protes, Manami menutup bibir gadis itu dengan bibirnya hingga membuat kedua mata Sakura terbelalak. Manami tidak membiarkan Sakura mendorongnya dan memegang leher belakang gadis itu.
“!!”
Setelah cukup lama, Manami melepaskan ciumannya dan menatap Sakura dengan senyum penuh kemenangan.
“Aku tahu apa rahasiamu sekarang.” kata laki-laki itu.
“A-apa…?”
“Jiwamu,” kata Manami, “Tidak ada di tubuhmu, kan?”

----------

Sakura yakin wajahnya berubah pucat ketika Manami mengatakan kalau jiwanya tidak ada di tubuhnya, dan dia berusaha melepaskan diri dari pelukan Manami namun tidak bisa karena laki-laki itu memeluknya dengan sangat erat.
“Jawab aku, Beauty, apa jiwamu tidak ada di tubuhmu sekarang? Tidak perlu berpura-pura…”
“Lepaskan aku, Manami!”
“Aku tidak akan melepasmu.”
“Tolong, lepas—”
“Sakura?”
Mereka berdua menoleh dan melihat Minato berdiri di depan pintu rumah kaca dengan kening berkerut.
“Sakura, kamu sedang apa?” tanya Minato lagi.
“Minato…”
“Hei, kamu tidak boleh meminta tolong pada orang lain, kan?” kata Manami mencengkeram erat lengan Sakura dan menoleh kearah Minato, “Kamu mengganggu kesenanganku. Berani sekali kamu.”
“Minato, tolong aku!” ujar Sakura, “Tolong—uhh…”
Sakura meringis ketika dia merasakan luka di dadanya terasa nyeri. Minato yang melihatnya langsung mendekat dan bermaksud menarik Sakura dari Manami ketika dia merasakan sesuatu menekan leher belakangnya.
Apa ada seorang lagi di belakang?
“Jangan coba-coba untuk merusak kesenanganku, anak muda. Urusanku hanya dengan Beauty-ku ini.”
“Kau membuatnya kesakitan.” Kata Minato tenang, “Lepaskan dia.”
“Hmm… tipe laki-laki yang pemberani, ya? Jadi dia mainan barumu sekarang, Beauty?”
Sakura tidak menjawab dan hanya memalingkan wajahnya dari laki-laki itu.
“Setelah apa yang kulakukan padamu, dan sekarang kamu memberontak dariku!?”
Sakura menjerit ketika cengkeraman tangan Manami semakin keras dan membuatnya kesakitan. Dia tidak mungkin bisa melepaskan diri dari Manami. Tidak setelah laki-laki itu tahu rahasianya dan memegangnya sebagai titik kelemahannya.
“Hei, hentikan!!”
Minato menyerang Manami, tidak memerdulikan rasa dingin yang ada di leher belakanngya. Ia berhasil membuat Manami mundur dan melepaskan Sakura.
“Sakura, kamu tidak apa-apa?”
Sakura menggeleng, tapi tubuh gadis itu mulai gemetar, yang sekarang Minato tahu adalah tanda bahwa Sakura ketakutan.
Manami mundur beberapa langkah dan menatap marah pada Minato.
“Berani sekali kamu menggangguku.” Kata Manami, “Apa kamu tidak tahu siapa aku?”
“Aku memang tidak tahu, dan tidak ingin mengetahui siapa dirimu.” Balas Minato.
“Lucu. Harusnya kamu takut padaku.” ujar Manami, “Aku adalah orang yang bisa membuatmu tewas seketika di tempatmu berdiri sekarang.”
Minato mengerutkan kening mendengar ucapan Manami, tapi Sakura yang gemetar di dekatnya membuatnya mengurungkan niat untuk bertanya.
Manami melihat sekilas kearah Sakura yang menunduk dengan wajah pucat, kemudian kearah Minato. Dia menatap mereka berdua bolak-balik, kemudian menghela nafas.
“Aku akan mengalah hari ini, Beauty. Tapi ingat, aku tidak akan main-main lagi kali ini setelah aku tahu apa rahasiamu.”
Tubuh Sakura menegang mendengar ucapan Manami, namun dia tidak mengatakan apa-apa.
Manami berjalan melewati mereka berdua dan sempat mengedipkan mata pada Sakura sekilas sebelum kemudian menghilang seperti ditelan angin.
Minato menatap kepergian Manami dengan pandangan bertanya-tanya. Apa hubungan Sakura dengan laki-laki itu? Kenapa Sakura tampak ketakutan saat laki-laki itu bicara padanya?
“Sakura—”
“Terima kasih karena sudah menolongku.” Kata Sakura cepat-cepat, “Maaf aku… aku harus pergi.”
“Tunggu!”
Minato menarik tangan Sakura dan membuat langkah gadis itu berhenti. Sakura mendongak dan menatap wajah Minato yang menyiratkan dengan jelas kalau pemuda itu meminta penjelasan darinya.
Tapi, yang keluar dari mulut Minato justru sebaliknya.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Minato.
“Tentu. Aku baik-baik saja.” jawab Sakura.
“Wajahmu tidak mengatakan begitu…” kata Minato, “Tapi aku tidak akan bertanya. Aku tahu kamu tidak akan mau menjawabnya saat ini.”
Sakura hanya mengedikkan bahu. Sepertinya Minato sudah bisa mengerti sifat yang dimilikinya.
“Tapi…” Minato mengeratkan pegangannya pada tangan Sakura.
“Minato, sakit…”
Minato mengerjapkan mata dan mengendurkan pegangannya pada tangan gadis itu.
“Maaf, aku tidak sengaja.” Kata Minato, “Sakura, kamu yakin kamu baik-baik saja?”
“Aku sudah bilang aku baik-baik saja.” balas Sakura, “Kenapa kamu tampak khawatir sekali padaku?”
Karena ada kemungkinan kamu adalah Keiko yang kucari selama ini. kata Minato dalam hati, tidak berani mengucapkannya secara langsung pada Sakura.
“Karena kamu memiliki jiwaku di dalam tubuhmu, sudah tentu aku khawatir.” Kata Minato.
Sakura kembali terdiam mendengar ucapan Minato. Jiwa. Ya… jiwa di dalam tubuhnya bukanlah jiwa aslinya, tapi jiwa Minato…
… dan Manami tahu jiwa di dalam tubuhnya bukanlah miliknya.
Dan mengingat hal itu membuat Sakura memejamkan matanya.
“Minato, kurasa… kurasa kamu harus menjauh dariku.” kata Sakura. “Mulai saat ini, jangan pernah mendekatiku lagi.”
“Apa? Kenapa?”
“Aku tidak suka.” Ujar Sakura, “Aku tidak mau mempunyai hutang budi padamu dan aku benci merasa berhutang budi.”
“Apa kamu lupa jiwa kita berdua tertukar dan aku tidak mungkin menjauh darimu?” balas Minato.
“Aku… tahu itu. Tapi aku hanya… aku tidak mau kamu ada di dekatku.”
Minato menyipitkan mata menatap Sakura, dan melihat gadis itu tampak gelisah. Aneh. Ini tidak seperti Sakura yang pernah dia lihat. Entah kenapa gadis itu sekarang tampak… rapuh.
Benar-benar rapuh.
“Apakah kamu ada masalah dengan laki-laki tadi?” tanya Minato, “Siapa sebenarnya laki-laki itu? Apa kamu mengenalnya?”
“Aku… memang mengenalnya.”
“Lalu, siapa dia?”
“Orang yang berkuasa atas permainan kematian kalian.”
“Dia Master?”
Sakura mengangguk mengiyakan pertanyaan Minato.
“Dan sekarang dia menemukanku dan juga rahasiaku, aku tidak mungkin membiarkan orang yang punya jiwaku dalam bahaya, kan?” kata Sakura, “Aku hanya ingin jiwaku yang ada di tubuhmu baik-baik saja, dan karena itu aku minta padamu untuk menjauh dariku.”
“Permintaanmu tidak masuk akal. Jiwaku yang ada di dalam tubuhmu bagaimana? Tidak mungkin aku meninggalkanmu sendiri, kan? Kita bahkan tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan jiwa kita ke tubuh masing-masing.”
“Aku akan mencari caranya.” Kata Sakura cepat, “Aku akan mencari tahu caranya, pasti.”
“Bagaimana caranya?”
“Aku akan memikirkannya.” kata Sakura lagi, lalu dia cepat-cepat pergi dari sana sebelum Minato sempat bertanya-tanya lagi.
“Sakura!!”

****

Manami menapakkan kakinya di salah satu atap gedung yang letaknya cukup dekat dengan SMA Haruma dan mengawasi tempat itu sambil tersenyum kecil.
“Baru kali ini aku bisa membuat Beauty tidak bisa membantah…” katanya sambil melihat rumah kaca tempatnya tadi menemui Sakura, “Sepertinya gertakanku berhasil, ya?”
“Apa yang kau lakukan?”
Manami menoleh dan melihat Ace tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Mata Ace menatap tajam Manami dan di tangannya tergenggam erat sebuah pistol berwarna perak.
“Oh, hai Ace,” sapa Manami, “Kamu datang tepat pada waktunya. Dan ada apa dengan pistol di tanganmu itu?”
“Aku berusaha untuk bersikap baik: tidak membunuhmu hari ini.” kata Ace. “Kau benar-benar membuatku muak. Apa yang kau lakukan pada Miko itu!?”
“Tenang, Sweetheart. Apa kamu cemburu pada Sakura? Kamu manis sekali…”
Ace menggeram dan mengacungkan pistolnya kearah Manami.
“Kalau aku melihatmu melakukan sesuatu padanya… aku bersumpah, Manami, aku akan membunuhmu.” Kata Ace, “Walau itu berarti aku harus menjadi pembelot dari permainan ini.”
“Kamu tidak akan bisa, Ace.” Kata Manami sambil tertawa. “Apa kamu lupa siapa yang sedang berdiri di hadapanmu? Sang Master utama! Kamu tidak akan bisa membunuhku walau kamu ingin, kan?”
“Aku bisa membunuhmu, akan kupastikan itu.” kata Ace, “Apa aku perlu membuktikannya padamu?”
“Silakan saja.”
“Kalau itu maumu.”
Ace melepaskan beberapa tembakan kearah Manami, tidak habis dengan itu, dia dengan cepat mengibaskan pistolnya hingga muncul mata pisau tajam dari ujung moncong pistolnya. Ia tahu Manami bisa dengan mudah menghindari peluru yang ditembakkan dari jarak jauh maupun dekat, tapi dia yakin Manami tidak akan bisa menghindari serangannya berikutnya.
Manami menghindari semua peluru yang ditembakkan kearahnya dengan santai. Dia melihat Ace berlari kearahnya dan dia tersenyum lebar.
“Bagus sekali. Hiburan yang sangat menarik.” Kata Manami sambil mengangkat sebelah tangannya kearah Ace.
Ace mengangkat pistolnya tinggi-tinggi dan bermaksud menyerang tangan Manami yang terarah kearahnya. Namun sepertinya dia keliru memperhitungkan segalanya.
Benturan dari mata pisau di pistolnya dan juga tangan Manami tidak seperti suara benturan atau semacamnya. Benturan yang terjadi antara senjatanya dan juga tangan Manami lebih mirip seperti mengenai sebuah pelindung tidak terlihat.
Kekkaii[1].” Geram Ace, “Kau memakai cara licik rupanya.”
“Aku selalu melakukannya setiap saat untuk wanita secantik dirimu, Ace.” Kata Manami sambil tersenyum, “Tapi sayangnya kamu tidak akan bisa melukaiku!”
Manami melayangkan sebuah tendangan kearah perut Ace, dan tepat sasaran. Ace mundur beberapa langkah sambil menahan rasa sakit yang dirasakannya di perutnya. Tendangan Manami terasa seperti tendangan bertenaga ribuan kuda di tubuhnya. Dia harus bersyukur tidak mati konyol atau setidaknya jatuh pingsan hanya karena tendangan laki-laki itu.
“Kuakui kamu sudah berkembang lebih baik dari yang dulu, Ace. Tapi seharusnya kamu tahu, kamu tidak akan bisa mengalahkanku sebagai Master pertama.”
“Aku akan berusaha untuk mengalahkanmu, walau aku harus mati berkali-kali.” Balas Ace, “Aku akan memastikannya.”
“Apa kamu bisa melakukannya? Aku meragukannya, Ace.” Balas Manami, “Dan juga… sepertinya aku sedang dalam kondisi yang cukup bagus untuk membuatmu terluka sedikit.”
“Aku tidak akan membiarkannya.” Ujar Ace, “Akulah yang akan melukaimu, Manami.”
“Coba saja kalau kamu bisa, dan aku akan memberitahu kalau aku mendapatkan sesuatu yang menarik hari ini.”
“Sesuatu yang menarik?” Ace mengerutkan kening.
“Miko yang selalu kamu lindungi itu,” kata Manami, “Tidak memiliki jiwanya sendiri.”
“A-apa?!”
Mata Ace terbelalak mendengar informasi itu. Rasa sakit yang tadinya masih dirasakannya tidak lagi terasa dan dia mencoba mencerna ucapan Manami barusan.
“Kamu pasti kaget, ya? Miko kali ini tidak memiliki jiwanya sendiri, benar-benar ironis.” Kata Manami. “Aku sangat menyayangkan jiwanya tidak ada pada dirinya, dan ini menambah daftar pekerjaanku untuk menemukan jiwanya itu.”
“Apa yang akan kau lakukan jika menemukan jiwa asli Miko itu?” tanya Ace, “Membunuhnya? Menjadikannya bonekamu selamanya?”
“Hmm… ide menjadikannya bonekaku selamanya patut dipertimbangkan, tapi aku tidak hanya mengincar itu saja.” kata Manami, “Aku mengincar sesuatu yang lain, yang hanya bisa dilakukan oleh Miko itu.”
“Sesuatu yang lain?”
“Kamu akan tahu nanti, Ace.” Kata Manami, “Untuk saat ini, silakan tenggelamkan dirimu dalam kemarahan dan dendammu, sementara aku bersenang-senang menantikan hari di mana aku mendapatkan apa yang kumau tiba.”
Ace tidak sempat membalas ucapan Manami karena laki-laki itu sudah lebih dulu pergi, layaknya angin, jejaknya tidak bisa diikuti.
Ace menatap gedung SMA Haruma di hadapannya dan berusaha untuk berpikir positif.
Manami tidak mungkin tahu… katanya dalam hati, Dia tidak mungkin tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini…

****

Sakura bersandar pada dinding di dekatnya dan menghembuskan nafasnya yang terengah-engah karena berlari tadi. Sakit di dadanya kembali terasa dan dia harus menahan diri agar tidak meringis kesakitan untuk ke sekian kalinya.
“Dia tahu…” gumam Sakura, “… dia tahu aku tidak memiliki jiwaku sendiri.”
Sakura lalu duduk dan membenamkan wajahnya ke kedua tangannya. Rasanya dia ingin berteriak, tapi tahu itu hanya akan menarik perhatian orang-orang.
Dari sekian kesialan yang kualami… ini yang terparah. Katanya dalam hati. Tidak hanya kesialan yang paling parah, tapi juga yang terburuk.
Sakura tidak pernah memikirkan Manami akan tahu apa rahasianya dari menciumnya…
… mencium?
Tiba-tiba benak Sakura diliputi kemarahan. Berani sekali laki-laki itu menciumnya, bahkan mencuri ciuman pertamanya!
Sakura bukan gadis yang terlalu mengerti mode atau tren terkini yang dibicarakan teman-temannya, tapi dia tidak bisa memikirkan orang lain yang mencuri ciuman pertamanya. Seseorang yang tidak pernah dia sukai bahkan mungkin sampai dia mati nanti!
“Aku benar-benar akan membunuh laki-laki itu kalau bertemu dengannya.” Geram Sakura, “Aku tidak peduli kalau aku akan mati sekalipun.
Kamu gadis yang pemberani rupanya…
“Eh?”
Sakura mengerutkan kening mendengar suara yang terdengar halus dan lembut itu. Dia menoleh-noleh ke sekelilingnya tapi tidak menemukan siapa-siapa. Dia juga tidak melihat cahaya-cahaya yang biasa mengelilinginya tanpa peduli waktu. Bahkan Minato yang dia takutkan mengikutinya juga tidak kelihatan.
“Suara tadi…”
Kamu bisa mendengar suaraku?” suara itu lagi-lagi berbicara, terdengar terkejut.
“T-tentu saja…” kata Sakura, “Siapa kamu? Tunjukkan dirimu.”
Andai aku bisa berdiri di depanmu.” Kata suara itu lagi, “Aku tidak punya tubuh. Tubuhku sudah hancur dulu sekali.
“Kamu salah satu cahaya itu?” tanya Sakura.
Bukan. Aku ada di dalam dirimu.” Kata suara itu, membuat Sakura kaget, “Sulit menjelaskannya, tapi aku memang ada di dalam dirimu, di dasar hatimu.
Sakura mengerjap bingung, tapi tidak mengatakan apa-apa.
“Siapa kamu?” tanya gadis itu lagi.
Shirayuri.” Jawab suara itu, “Namaku Shirayuri, dan aku adalah Miko pertama permainan Shigi.”
“M-Miko pertama!?”
Sakura membelalak kaget mendengarnya.
“A-apa kamu… bagaimana bisa Miko pertama bicara denganku?”
Katakanlah… kamu adalah keturunanku? Di dalam tubuhmu mengalir darahku, dan aku rasa hal itu sedikti banyak menjelaskan segalanya.
Sakura diam. Dia menatap rumput di bawah kakinya.
“Lalu… kenapa kamu berbicara padaku? Bukankah seharusnya kamu tidak…”
Aku tidak bisa membiarkan Manami melakukan hal yang sama lagi pada keturunanku, karena itulah aku muncul.” Kata Shirayuri, “Mungkin terdengar aneh, tapi keputusanmu untuk tidak mempercayai laki-laki itu sudah benar. Dan mulai sekarang kamu harus berhati-hati karena dia tahu kamu tidak memiliki jiwamu sendiri.
“K-kamu tahu itu?”
Aku ada di dalam dirimu, tentu saja aku tahu. Yang jelas, mulai sekarang kamu harus berhati-hati, dan jangan percayai siapapun sampai kamu menemukan Soultherm-mu.”
“Soultherm?”
Itu adalah sebutan untuk pasangan yang bertukar jiwa denganmu. Lebih tepatnya, Pelindung-mu. Pasangan hidup-matimu.
“Pelindung?” Sakura mengerjap, “Soultherm… Miko memiliki pelindung?”
Ya. Seorang Miko memiliki pelindung, dan Soultherm adalah sebutannya. Seorang pelindung dipilih untuk menjaga Miko permainan Shigi. Hal itu diharuskan sejak pertama kali permainan Shigi diciptakan.
“Kalau begitu… dia adalah Soultherm-ku?”
Sakura tiba-tiba teringat Minato. Bukankah pemuda itu memiliki jiwanya.
Apa itu artinya Minato adalah Soultherm-nya?

****

Sampai jam pulang sekolah, Minato tidak bisa menemukan Sakura. Dia sudah mencari ke ruang kelas gadis itu, bahkan ke tempat-tempat yang dikatakan para fans-nya sering dikunjungi oleh gadis itu. Tapi tetap saja dia tidak bisa menemukan Sakura.
“Ke mana sebenarnya gadis itu?”
Minato melangkah kearah lokernya dan mengeluarkan sepatunya. Diletakkannya sepatu dalam ruangan yang dipakainya selama jam pelajaran ke dalam loker dan berjalan keluar ruang loker. Ketika di luar, dia melihat seseorang sedang berdiri di depan gerbang sekolahnya.
Neo. Salah seorang temannya dari kelompok Phoenix.
Gadis itu memakai celana jins dan t-shirt berwarna abu-abu yang agak kebesaran. Pakaiannya tergolong cukup berani, apalagi sekarang sudah mendekati musim semi. Ia hanya mengenakan sebuah jaket jins yang kelihatan tipis dan sudah dicuci berkali-kali sebagai pelapis t-shirtnya. Rambut Neo dipotong pendek seperti laki-laki, dan dengan segala aksesoris rantai dan cincin di tubuhnya, Neo tampak seperti laki-laki cantik atau bishounen berpakaian ala rock n’ roll ketimbang seorang gadis.
“Yo, Minato.” Sapa Neo, “Baru pulang sekolah, kan?”
“Kamu bisa lihat sendiri, kan?” balas Minato.
Neo hanya tertawa.
“Ada apa kamu kemari? Bukankah universitasmu berbeda arah dari sini?” tanya Minato sambil berjalan, teringat universitas tempat Neo kuliah letaknya cukup jauh dari sekolahnya.
“Hmm… aku sedang tidak ada kerjaan di kampus, jadi aku memutuskan menemuimu.” Jawab Neo, “Dan juga ada yang ingin kubicarakan. Ini mengenai Miko yang kita temui malam itu?”
“Maksudmu Sakura?”
“Kamu mengenalnya?” tanya Neo menaikkan sebelah alisnya.
“Hanya kebetulan tahu namanya.” Kata Minato cepat, “Apa yang ingin kamu bicarakan mengenai Miko itu?”
Neo mengeluarkan ponselnya dan mengutak-atiknya sebentar sebelum menyerahkannya pada Minato. Dia lalu menunjukkan layar ponselnya yang memuat halaman sebuah situs berwarna hitam dan bertuliskan sebuah nama yang tidak asing bagi Minato.
“Situs Shigi?” kata Minato, “Sejak kapan permainan itu memiliki situs sendiri?”
“Aku juga kaget pada awalnya, tapi situs ini benar-benar nyata, aku baru diberitahu Mayumi pagi tadi. Hanya yang berhubungan dengan Shigi saja yang mengetahui tentang situs ini dan semua Senshu juga sudah tahu tentang ini. Mayumi berpikir kamu pasti adalah orang terakhir yang mengetahui ini.” kata Neo.
“Sepertinya begitu, mengingat aku jarang memegang ponsel kecuali untuk keperluan tertentu.” jawab Minato.
Browsing internet, maksudmu? Atau sekedar bermain online game?”
Minato hanya mengedikkan bahu sebagai jawabannya.
“Jadi, apa hubungannya situs itu dengan Miko yang kita temui itu?”
“Ah ya…” Neo mengutak-atik ponselnya lagi, “Nah, ini dia. Coba lihat ini.”
Minato kembali melihat layar ponsel Neo. Kali ini pada halaman situs yang diperlihatkan Neo terdapat sebuah tulisan berjudul ‘Pemberitahuan Penting’. Minato membaca apa yang tertulis di bawah tulisan tersebut, dan beberapa saat setelah membacanya, dia melihat kearah Neo dengan pandangan terkejut.
“Ini… benar?”
“Seperti yang kamu lihat,” kata Neo, “isi pesan pada situs itu adalah memburu Miko itu. Mulai malam ini tujuan para Senshu tidak hanya membunuh kelompok satu atau yang lain, tapi memburu Miko pembelot itu, Miko Sakura.”
“T-tapi itu… dari mana perintah itu berasal?”
“Sudah jelas, kan?” Neo menunjuk ponselnya, “Pesan ini berasal dari Master permainan Shigi. Mengenai alasan, Mayumi yang bertindak sebagai operator kita saja tidak mengetahuinya.”
Minato tidak mengatakan apa-apa. Mendadak saja dia merasakan keringat dingin mengaliri tengkuknya.
Sakura… Sakura akan diburu?
“Kalau dilihat dari pesannya, sepertinya kita harus menangkapnya hidup-hidup terlebih dahulu, baru diadili di hadapan semua Senshu dari keempat kelompok. Di sini juga dikatakan, seorang Miko baru akan ditunjuk tepat setelah Miko Sakura selesai diadili.”
“Diadili… bagaimana dia akan diadili? Apa kekuatannya akan diambil? Atau dibunuh?”
“Aku tidak tahu, Minato. Tapi mengingat dia membunuh Senshu, kurasa dia akan dibunuh juga. Nyawa dibalas nyawa, kan?”
Minato tidak membalas lagi. Tanpa disadari oleh dirinya sendiri, ia berlari dan mencoba menemukan Sakura. Dia bahkan tidak memerdulikan teriakan Neo yang kaget karena dia berlari tiba-tiba di belakangnya.

----------

Minato melompati setiap dahan pohon di hutan dan menuju rumah Sakura. Dia yakin gadis itu sudah berada di rumah, dan tempat yang dia tahu akan didatangi gadis itu tentu saja adalah rumahnya di tengah hutan, kan? Kadang-kadang dia bersyukur punya sebuah kemampuan unik (kalau tidak mau dibilang aneh) yang memungkinkannya untuk mengetahui aroma orang lain, karena layaknya ingatan fotografis, aroma yang pernah dia hirup tidak akan dia lupakan walau hanya sekali menghirupnya.
Minato sampai di depan rumah Sakura, dan melihat pintu rumahnya sedikit terbuka. Tanpa basa-basi, Minato membuka pintu itu lebar-lebar dan melihat Sakura sedang berbaring di sofanya. Gadis itu melompat kaget ketika pintu rumahnya menjeblak terbuka secara tiba-tiba dan Minato berdiri di depan pintu dengan nafas terengah-engah.
“Apa-apaan kamu membuka pintu rumah orang tanpa permisi!?” kata gadis itu marah, “Kamu gila ya!!?”
Minato tidak mengindahkan teriakan marah gadis itu dan menghampiri Sakura. Ditatapnya Sakura lekat-lekat, kemudian menghela nafas.
“Syukurlah kamu tidak apa-apa.” kata pemuda itu.
“Kamu aneh. Apa maksudmu membuka pintu rumah orang sembarangan dan menyelonong masuk lalu mengatakan sesuatu yang aneh?” kata Sakura tajam, “Bukankah sudah kubilang untuk tidak mendekatiku lagi?”
“Aku…” Minato menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, “… hanya bersyukur kamu tidak terluka.”
Sakura menatap Minato dengan kening berkerut. Pemuda itu aneh sekali. Kenapa dia tampak kelelahan dan… cemas? Atau lega, entahlah. Sulit menebaknya karena pemuda itu tidak terlihat cemas, tapi lebih terlihat gembira.
“Aku tidak mengerti apa maksudmu.” Kata Sakura, “Pergi. Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak mendekatiku, dan kamu melanggarnya.”
“Aku tidak bisa meninggalkanmu.” Balas Minato, “Aku tidak bisa, tidak akan pernah bisa.”
“Aku bisa melakukannya.” Sakura membalas, “Pergilah sebelum aku mengusirmu dengan cara tidak terhormat yang bisa kamu tanggung.”
Minato menatap Sakura, kemudian menggeleng.
“Tidak.” kata pemuda itu bersikeras, “Ngomong-ngomong, apa kamu sudah tahu kalau permainan di mana kamu dan aku terlibat di dalamnya, memiliki situs?”
“Hah?”
“Kamu punya ponsel? Biar kutunjukkan padamu.”
Walau tidak mengerti, Sakura mengambil ponselnya yang dia letakkan di atas meja dan memberikannya pada Minato. Pemuda itu dengan cepat mengetikkan sesuatu di ponselnya. Setelah beberapa saat, Minato mengembalikan ponselnya. Di layarnya kini terpampang sebuah halaman situs berwarna hitam dan ada tulisan berwarna putih mengilat yang bertuliskan ‘Shigi’, diikuti sesuatu semacam pengumuman di bawahnya.
Sakura membaca apa yang tertulis di sana dengan wajah datar, lalu mendongak menatap Minato.
“Memangnya kenapa dengan tulisan ini?” tanya Sakura.
“Sudah jelas kan? Nyawamu bakal terancam. Jika kamu mati, itu artinya aku juga mati, kan?” kata Minato.
“Aku tidak akan mati semudah itu.” jawab Sakura, “Aku kuat, dan dengan adanya perintah ini, kegiatanku akan lebih menyenangkan.”
“Kegiatan—”
“Membunuh Senshu sudah kutetapkan sejak Kak Setsuna meninggal. Agar tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi jika kalian tetap hidup dan mendapatkan posisi utama dalam permainan ini.” kata Sakura, “Khususu untukmu, aku akan berusaha agar tidak membunuhmu sebelum aku mendapatkan jiwaku sendiri.”
“Tapi, Sakura,” Minato mencengkeram kedua bahu Sakura, “apa kamu sadar bahaya apa yang akan mengincarmu—juga jiwaku di dalam tubuhmu?”
Sakura meringis pelan karena cengkeraman Minato, tapi dia tetap menatap pemuda itu dengan tatapan datar.
“Lalu? Bukankah aku sudah bilang kalau aku tidak akan mati semudah yang kamu pikirkan? Kenapa kamu bersikeras untuk tidak meninggalkanku?”
“Itu karena… karena…”
Sakura memiringkan kepalanya menunggu jawaban Minato. Tapi pemuda itu tidak kunjung menjawab hingga akhirnya Sakura menghela nafas.
“Kalau tidak ada yang ingin kamu katakan lagi, pergi—”
“… kapan Kak Setsuna meninggal?”
“Eh?”
Minato menatap Sakura lekat-lekat, “Kapan Kak Setsuna meninggal?” tanyanya lagi.
“Kenapa kamu ingin tahu?”
“Karena… pasti ada hubungannya dengan ini semua, kan?” kata Minato.
“Hubungan dengan apa?” tanya Sakura lagi, “Aku tidak mengerti apa maksudmu.”
“Tidak, itu… kalau aku bilang… kamu adalah Keiko bagaimana?”
“Sudah kubilang aku bukan Keiko. Aku sudah pernah mengatakannya saat kita pertama kali bertemu, kan?”
“Tapi Kak Setsuna-mu dan juga Kak Setsuna-ku adalah orang yang sama.” Kata Minato, “Foto yang pernah kuperlihatkan padamu waktu itu sudah menjadi bukti yang jelas, kan?”
“Aku memang tidak menyangkal mereka orang yang sama.” Ujar Sakura.
“Benar, kan? Lalu kalau kamu adalah Keiko—”
“Tapi aku tidak pernah ingat aku adalah Keiko.” Sela Sakura, “Aku tidak tahu apakah aku memang Keiko yang kamu maksud atau bukan.”
“Hah?”
“Ingatanku hilang saat aku berusia delapan tahun.” Kata Sakura, “Yang kuingat namaku adalah Sakura dan aku adalah Miko selanjutnya. Kak Setsuna merawat dan melatihku agar bisa menjadi Miko berikutnya menggantikan dirinya.”
“I-ingatanmu… hilang?” tanya Minato kaget, “Benarkah?”
“Memangnya itu menjadi urusanmu? Aku tidak tahu seperti apa masa kecilku dan aku tidak berniat untuk mengingatnya lagi.”
“Apa?”
“Karena kalau aku mengingatnya aku akan menderita lagi.” ujar Sakura, “Apa kamu pernah merasakan melihat kematian seseorang di depan matamu dan kamu masih tetap hidup dan harus menjadi pengingat kematian mereka? Apa kamu pernah merasakan bagaimana saat sesuatu yang tidak pernah kamu inginkan terjadi padamu malah terjadi begitu saja dan merenggut sesuatu yang penting bagimu?”
Sakura menepis kedua lengan Minato yang masih mencengkeram bahunya dan memalingkan wajahnya.
“Aku tidak pernah ingat apakah aku pernah menjadi ‘nisan’ kematian seseorang, tapi hatiku tahu aku sudah melihat banyak kematian jauh sebelum aku kehilangan ingatanku. Dan aku tidak berniat untuk mengingatnya lagi.” Kata Sakura lagi.
Minato yakin dia menatap Sakura dengan mata sedikit terbelalak. Bukan karena ucapan Sakura yang mengatakan pernah menjadi ‘nisan’ seseorang, tapi mengenai hilangnya ingatan gadis itu…
“Sakura,”
“Pergilah dari sini.”
“Aku tidak akan pergi.”
“Apa kamu selalu keras kepala seperti ini?” tanya Sakura, “Aku hanya tidak ingin—”
Sakura terdiam ketika Minato menyentuh bibirnya dengan jari telunjuknya. Ia mengerjapkan mata dan menatap Minato dengan pandangan bingung.
“Apa…”
“Aku tidak akan meninggalkanmu. Kamu boleh marah atau tidak menganggapku ada sama sekali. Aku hanya mau tahu kalau kamu baik-baik saja.”
“Apa?”
“Kalau kamu kehilangan ingatanmu dan tidak ingin mengingatnya itu terserah dirimu. Tapi… sikap dan wajahmu sangat mirip Keiko, jadi… aku tidak mungkin membiarkanmu sendirian, kan?”
“Apa hubungannya gadis itu dengan aku?”
“Karena kalian berdua sama-sama mirip dari segi wajah dan sikap, tentu saja kamu mengingatkanku padanya. Dan juga… jiwaku ada di dalam tubuhmu, tidak mungkin aku meninggalkanmu, kan?”
“Aku sudah bilang kalau aku bisa menja—”
“Maaf mengganggu kalian berdua,”
Minato dan Sakura sama-sama menoleh kearah pintu depan dan melihat seorang wanita berambut merah pendek berdiri di sana.
“Kamu…”
“… Deuce?”
“Kamu mengenal Deuce?” tanya Minato.
“Dia salah satu Master Shigi.” Jawab Sakura.
“Salah satu Master!!?”
“Ya, ya… bisa hilangkan embel-embel itu? Aku tidak terlalu suka dengan hal itu.” kata Deuce. “Maaf kalau aku mengganggu kalian, tapi aku ada urusan dengan Sakura.”
“Denganku?” Sakura mengerutkan kening.
“Sudah dengar soal perintah untuk membunuhmu?”
“Kalau iya memangnya kenapa?” tanya Sakura balik.
“Ini,”
Deuce melemparkan sesuatu kearah Sakura dan gadis itu menangkapnya. Di tangannya kini terdapat sebuah kalung dengan bandul bunga lili yang mirip dengan kalung yang dipakainya sekarang.
“Kalung ini…”
“Seseorang menyuruhku untuk memberikannya padamu, dan orang itu juga bilang untuk menyuruhmu memberikan benda itu pada cowok yang ada di sebelahmu itu.”
“Apa?!”
“Dan juga ada pesan dari orang yang memberikan kalung itu padamu,” kata Deuce, “Pesannya, ‘Kalian berdua tidak boleh terpisah lagi dan harus memercayai satu sama lain. Sakura, Kurogane Minato adalah kunci agar kamu bisa bebas dari permainan ini.’.”
“Kunci agar aku bisa bebas? Siapa yang mengirim pesan itu?” tanya Sakura.
“Sayang sekali dia tidak mau memberitahu siapa dirinya.” kata Deuce, “Aku kemari hanya untuk menyampaikan pesan itu. Dan aku berharap kalian berdua bisa melewati semua ini dengan baik.”
“Apa maksudmu, Deuce? Aku benar-benar tidak mengerti.” kata Sakura, “Apa yang memberikan pesan itu… Manami?”
“Laki-laki yang gila kekuatan itu tidak akan pernah mau membantumu kecuali untuk mendapatkan kekuatan Empat Dewa, kan?”
Sakura terdiam. Dia tahu apa yang dikatakan Deuce benar.
“Kalau begitu urusanku sudah selesai di sini. Sampai jumpa lagi, kalian berdua.”
Deuce berbalik dan dia menghilang bersamaan dengan angin yang berhembus kencang memasuki ruang tamu rumah Sakura.
“Deuce itu… salah satu Master? Memangnya ada berapa Master dalam permainan Shigi?” tanya Minato.
“Master yang sesungguhnya sebenarnya adalah Manami, yang mendapat julukan King. Tapi kemudian terpilih empat Senshu yang mendapatkan kekuatan mutlak dari Empat Dewa. Mereka adalah Queen, Jack, Ace, dan Deuce. Deuce dulunya adalah Senshu dari kelompok Shirushi, namun tidak ada yang ingat siapa Deuce karena teman-temannya menganggapnya tidak pernah ada.”
“Tidak pernah… ada?”
Sakura memandang kalung berbandul bunga lili di tangannya.
“Kenapa dia menyuruhku memberikan ini padamu, dan lagi kenapa aku harus memercayaimu?” kata Sakura.
“Aku tidak tahu kalau urusan itu.” balas Minato. “Tapi tidak ada salahnya dicoba, kan?”
“Aku benci hal-hal yang masih belum pasti.”
“Tapi kalau kita tidak mencobanya kita tidak akan tahu seperti apa hasilnya.” Kata Minato lagi, “Dan juga… kurasa aku mengenal kalung ini.”
“Benarkah?”
“Kalung itu adalah kalung yang pernah kubelikan untuk Keiko ketika ulang tahunnya yang ke-delapan,” kata Minato, “Dan kalung itu ada dua, yang artinya kalung itu memiliki pasangannya… yang sekarang kamu kenakan.”
Sakura menatap kalung yang melingkari lehernya.
“Apa… ini kebetulan?” tanyanya, “Kalung ini sudah kupakai sejak lama dan aku tidak pernah tahu kalung ini ada pasangannya.”
“Kalung pasangannya memang sengaja kusimpan waktu itu, dan… kalung ini dan juga kalung yang kamu kenakan memang kalung yang dulu pernah kubeli waktu itu.” kata Minato.
“Jadi… jadi aku benar-benar… Keiko?”
“Sepertinya tidak diragukan lagi.”
Sakura termenung dan dia tidak tahu harus mengatakan apa. Namun kepalanya terasa sakit dan sesuatu seperti hendak meledak keluar dari kepalanya.
“Sakura, apa kamu… mau percaya dengan ucapan Deuce?”
“Deuce adalah satu-satunya Master yang baik padaku.” kata Sakura, “Aku tidak akan pernah meragukan ucapannya. Tapi… tapi kenapa semuanya jadi begini?”
“Mungkin karena takdir?”
“Aku tidak pernah percaya takdir.” Balas Sakura, “Tapi… tapi… aku tidak tahu harus percaya atau tidak…”
“Kalau begitu cobalah percaya mulai saat ini.” kata Minato, “Aku percaya dengan kata-kata Deuce tadi. Dan aku yakin, orang yang memberikan kalung ini pasti tahu tentang masa lalumu… dan juga masa laluku.”
“Menurutmu begitu?”
“Aku selalu mempercayai orang lain tidak peduli orang itu dulunya orang jahat atau bukan.” Kata Minato.
“Walau kalian berperan sebagai Senshu sekalipun?”
“Tidak diragukan lagi.”
“Kamu benar-benar orang yang aneh, ya?”
Minato hanya mengedikkan bahu, “Jadi, bagaimana? Apa kamu…”
Sakura menatap lagi kalung di tangannya dan kemudian menghembuskan nafas.
“Setiap perkataan memiliki makna yang banyak, dan aku yakin ucapan Deuce tadi bukan hanya bermakna seperti yang diucapkannya.” Kata Sakura, “Aku akan… mencoba percaya padanya.”
Sakura menghadap Minato dan melingkarkan kalung itu di leher pemuda itu. Ketika dia baru saja mengaitkan kedua ujung kalung itu, tiba-tiba saja sekelebat ingatan menghantam kepala Sakura. Gadis itu meringis dan nyaris kehilangan keseimbangan kalau saja Minato tidak menyangga tubuhnya.
“Sakura, kamu kenapa?”
“Kepalaku… sakit…” kata Sakura, “Aku… uhh…”
Ingatan-ingatan itu begitu cepat menghantam otaknya. Rasa sakit yang menyerang kepalanya tidak bisa dia tahan lagi dan akhirnya gadis itu pingsan di pelukan Minato.
“Sakura!”
Wajah Sakura tampak pucat dan ada keringat dingin yang mengalir di kening gadis itu.
“Sakura? Sakura?”
Minato mengangkat tubuh gadis itu dan merebahkannya di sofa panjang. Keringat dingin masih mengalir di dahi gadis itu dan Minato merasa cemas karena Sakura meringis kesakitan. Dia ingat luka di dada Sakura masih belum sepenuhnya sembuh. Apa luka itu yang membuat gadis itu kesakitan?
Aku harus mencari sesuatu untuk meredakan rasa sakitnya. Kata Minato dalam hati.
Dia baru akan berdiri ketika kedua mata Sakura tiba-tiba terbuka. Gadis itu menatap lekat-lekat sekitarnya, kemudian pandangannya tertuju pada Minato yang balas menatapnya.
“Sakura, kamu tidak apa-apa?” tanya Minato, “Apa lukamu terbuka lagi? Aku akan mencari sesuatu untuk meredakan rasa sakitnya—”
“Minato…”
“Ya?”
Sakura terus menatapnya lekat-lekat. Sebelah tangan gadis itu terangkat dan mengelus wajahnya. Minato melihat bola mata gadis itu tampak berkilau daripada biasanya.
“Sakura?”
Sakura hanya diam, tapi beberapa saat kemudian dia duduk dan menarik tangan pemuda itu.
“S-Sakura? Ada ap—”
“Pergi.” Kata gadis itu, “Tempatmu bukan di sini.”
“Hah?”
Sakura menggiring Minato sampai ke depan pintu rumahnya dan dia mendorong pemuda itu keluar.
“Sakura? Ada apa?”
“Jangan mendekatiku lagi.” kata Sakura, “Pergi sejauh mungkin dariku dan jangan pernah coba-coba untuk mendekatiku lagi.”
“Aku tidak mengerti apa maksudmu? Bukankah kata Deuce kita tidak boleh berjauhan?”
Sakura terdiam. Dia lagi-lagi menatap Minato lekat-lekat, dan tanpa diduga gadis itu berjinjit dan mencium bibir Minato.


[1]  Pelindung

0 komentar:

Posting Komentar