Arisa
merasa menghabiskan waktu dengan Reno benar-benar menyenangkan. Reno seringkali
membuatnya tertawa ataupun tersenyum sendiri ketika cowok itu menceritakan
pengalamannya berkeliling ke berbagai negeri untuk konser atau sekedar menjadi
pengisi acara atau event yang
diadakan dalam skala nasional.
“Bulan
depan aku juga akan pergi lagi.” kata Reno, “Tur selama dua bulan.”
“Apa
Kakak tidak bosan?”
“Tidak.
Selama orang-orang masih ingin mendengarkan lagu buatanku, aku akan tetap
berkarya dan memenuhi keinginan mereka untuk bertemu denganku.” jawab Reno
sambil tersenyum, “Kamu ditunjuk sebagai Nishizu oleh Haruto, kan? Tidak lama
lagi kamu akan merasakan seperti yang kurasakan.”
Arisa
mengangguk-angguk dan meminum susu coklatnya pelan-pelan.
“Oh
ya, Kak, aku boleh bertanya?”
“Mau
bertanya apa?”
“Err…
mungkin ini terdengar aneh, tapi… apa Haruto yang menyuruh Kakak kemari?”
“Tidak,
kok. Aku datang karena memang ingin melihat keadaanmu. Haruto menceritakan
kejadian kemarin, dan aku cukup khawatir dengan keadaanmu.”
“Seperti
yang Kak Reno lihat, aku baik-baik saja.” Arisa tersenyum, “Pasti Haruto
menceritakannya secara berlebihan, iya kan?”
Reno
hanya tersenyum.
“Setelah
ini kamu ingin melakukan apa, Arisa?”
“Hmm…
mungkin aku akan di rumah saja. Aku berencana untuk membaca semua koleksi buku
yang belum sempat kubaca… memangnya kenapa, Kak?”
“Bagaimana
kalau kita berjalan-jalan di luar? Atau mungkin kamu ingin pergi ke suatu
tempat?”
“Kurasa
tidak, Kak. Aku… aku tidak mau keluar rumah dulu sekarang ini.”
“Begitu…”
“Mungkin
lain kali ya, Kak.” Kata Arisa melihat raut wajah Reno sedikit kecewa, “Aku
sedang tidak berselera pergi keluar, makanya—”
“Tidak
apa-apa, Arisa. Aku tahu kok.” Reno tersenyum, “Tidak perlu meminta maaf,
sebagai gantinya bagaimana kalau kita membuat sesuatu untuk makan siang?”
“Makan
siang?”
“Kira-kira
dua jam lagi sudah waktunya makan siang, kan?” kata Reno sambil melihat jam
tangannya.
Arisa
ikut melihat jam yang tergantung di dinding di ruang tamu dan mengakui Reno
benar.
“Kurasa
Mama belum akan pulang.” kata Arisa, “Mama pergi membeli bahan-bahan untuk
membuat tartlet, tapi sepertinya
beliau sedang bergosip dengan ibu-ibu tetangga.”
“Nah,
bagaimana kalau kita membuat sesuatu untuk makan siang kita?”
“Boleh
juga. Tapi, apa Kakak benar-benar mau membuat makan siang?”
“Tentu
saja. Biarpun aku laki-laki aku juga bisa memasak.” Kata Reno, “Bahkan Haruto
sering menjadi kelinci percobaanku.”
Arisa
tertawa membayangkan perkataan Reno barusan.
“Haruto
memang cocok dijadikan kelinci percobaan.” kata Reno lagi, ikut tertawa, “Dan
walaupun dia lelah karena baru pulang sekolah atau berkutat dengan hobinya, dia
tidak akan segan-segan membantuku juga orang lain.”
Reno
menatap Arisa lekat-lekat hingga gadis itu akhirnya tersadar dan terdiam.
“Kenapa,
Kak?”
“Tidak
apa-apa. Pasti menyenangkan kalau melihatmu selalu tertawa lepas seperti tadi.”
ujar Reno, “Haruto sudah menceritakan semuanya… juga soal kamu yang selalu
terkena serangan.”
Arisa
makin diam. Dia menundukkan kepalanya dan berusaha untuk tidak terlihat gemetar.
Matanya mengerjap ketika dirasakannya tangannya digenggam dan dia melihat
tangan Reno-lah yang menggenggam tangannya.
“Tidak
perlu menyembunyikan rasa takut. Hal itu wajar karena semua orang juga memiliki
rasa takut.”
“Tapi
soal serangan itu…” Arisa menelan ludah, “… aku selalu dihantui perasaan itu
dan berakhir dengan menyusahkan orang lain.”
“Semua
orang juga akan selalu bergantung pada orang lain, Arisa.” Reno tersenyum,
“Tidak peduli apakah mereka sudah dewasa atau tidak. Setiap manusia akan selalu
bergantung pada manusia yang lain terutama untuk mengatasi rasa takut mereka.”
“Tapi…”
“Kamu
benar-benar ketakutan, ya?” tanya Reno.
Arisa
mengangguk pelan.
Reno
beringsut mendekat dan meletakkan kepala Arisa di dadanya. Gadis itu mengerjap
beberapa kali sebelum mendongak menatap Reno.
“Kak—”
“Karena
sepertinya kamu memerlukan pelukan, kurasa aku bisa melakukannya. Setidaknya
itu yang bisa kulakukan untukmu, kan?” kata Reno. “Tidak apa-apa… aku tidak
akan melakukan apapun padamu dan kamu boleh bersandar di dadaku sepuasnya.”
Arisa
tertawa lemah mendengar ucapan Reno, tapi dia tidak menarik diri. Entah kenapa
dia merasakan ketenangan yang sangat diperlukannya dalam pelukan Reno.
“Terima
kasih, Kak.” Kata Arisa pelan.
“Sama-sama,
Arisa… sama-sama…”
***
Haruto
menghembuskan nafasnya dan tersenyum lebar ketika akhirnya berhasil mengerjakan
soal ujian hari ini. Yah… setidaknya dia masih bisa bernafas lega karena yakin
sebagian besar jawabannya benar.
Saat
jam istirahat berlangsung, dia mencoba menghubungi Reno, setidaknya untuk
mendapatkan kabar kalau Arisa baik-baik saja dan malah mendapatkan kiriman foto
yang menampilkan kakaknya itu dan Arisa sedang memasak bersama.
Harusnya aku
membolos saja hari ini. batin Haruto sambil terkekeh
pelan.
0 komentar:
Posting Komentar