Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

RE Part 2 - Chapter 10



Rei’s Side
Ketika aku datang ke markas dan menuju ruangan yang diberitahukan oleh Leia, aku tidak melihat ada orang lain selain dirinya di dalam ruangan itu. Leia tampak duduk termenung di kursi sambil menatap sebuah buku di tangannya.

Tapi aku tahu pikirannya tidak tertuju pada buku itu.
Aku berjalan menghampirinya dan dia tiba-tiba menoleh padaku. Senyum di wajahnya tidak seperti biasa. Senyumannya terlihat seperti senyum kelelahan.
“Hei,” katanya, “Akhirnya kau datang.”
“Di mana yang lain? Bukankah katamu kita akan mengadakan rapat?” tanyaku.
“Memang. Tapi mereka belum datang.” jawabnya, “Rei, duduklah dulu.”
Aku duduk di kursi di sampingnya dan dia meletakkan buku yang dibacanya di atas meja.
“Kau sudah mendatangi alamat yang kuberikan padamu?”
“Sudah. Dan di sana adalah panti asuhan tempatku dulu dibesarkan.” Kataku.
Dia mengangguk, “Dan… apa kau sudah mengerti kenapa aku merahasiakan Proyek RE darimu?”
“Ya.” aku menatapnya, “Juga fakta bahwa kamu adalah ibu kandungku.”
Reaksi Leia yang pertama kulihat adalah kedua matanya sedikit membelalak. Tapi kemudian dia tersenyum lemah dan menghembuskan nafas. Sempat kulihat kedua matanya agak berkaca-kaca, walau dia berusaha menutupinya.
“Kau akhirnya tahu.” katanya, “Lalu, apa kamu akan menyalahkanku karena tidak pernah merawatmu dengan baik?”
“Jujur saja, aku tidak tahu harus bersikap seperti apa padamu setelah mengetahui segalanya.” Kataku, “Semuanya… masih terasa aneh. Kenapa aku tidak pernah mengingatmu sebagai ibuku?”
“Pernah dengar ilmu hipnotis?”
“Ilmu hipnotis?”
“Itu adalah ilmu yang membuat seseorang bisa melupakan sesuatu, biasanya sering digunakan oleh para pesulap di zaman dulu.” Kata Leia, “Aku bisa menggunakan ilmu hipnotis, dan aku menggunakannya padamu untuk menghilangkan ingatanmu tentangku.”
“Kenapa?”
“Kenapa? Ya… kenapa?” dia tertawa hambar, “Karena aku tidak ingin… kau tahu aku—bukan, tapi aku dan ayahmu, mengorbankanmu sebagai percobaan Proyek RE. Aku membenci diriku sendiri karena sudah membuatmu… seperti sekarang.
“Aku berharap kau menjadi anak yang normal ketika kau lahir. Namun, keadaan memaksanya untuk mengambilmu sebagai percobaan pertama, dan aku sebagai istrinya harus mendukungnya, walau dengan berat hati.”
“Tapi kenapa ingatanku harus dihilangkan? Kenapa kau lari dan tidak pernah mengunjungiku sekalipun di panti asuhan?” tanyaku, “Kau tahu apa yang kupikirkan ketika wanita yang kusebut sebagai ibu terbunuh di hadapanku? Kau tahu bagaimana perasaanku ketika saat itu menyadari aku menjadi yatim-piatu?”
“Aku tahu, Rei… aku sangat mengetahuinya.” balasnya, “Tapi, bagaimana aku bisa mengunjungi atau bahkan memelukmu ketika aku diawasi ketat oleh Raven? Mereka membatasi ruang gerakku karena aku adalah istri Kujo Hitoshi. Mereka mencurigaiku karena anak yang dulu pernah kukandung hilang tanpa jejak dan berasumsi bahwa aku menyerahkanmu pada Hitoshi… yang memang kulakukan, walau dengan terpaksa.”
Aku menatap Leia yang kali ini meneteskan airmata tanpa suara. Matanya menatap lurus kepadaku dan aku bisa melihat tatapan mata yang sama sepertiku di matanya.
“Saat panti asuhan tempatmu dititipkan diserang, aku tidak memikirkan yang lain selain keselamatanmu. Aku kabur dari Raven dan pergi sendirian ke Distrik Enam dan melihat semua sudah terlambat. Aku melihat kota yang hancur, terbakar. Dan ketika aku menuju ke panti asuhan, aku nyaris kehilangan harapan melihat tempat itu juga luluh lantak, menyatu dengan tanah merah.
“Tapi, aku lalu melihatmu, terbaring pingsan di tanah. Saat itu, aku merasa Tuhan memberiku kesempatan kedua untuk merawatmu. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk merawatmu bahkan walau kau tidak ingat bahwa aku adalah ibumu. Aku mencoba menjadi ibu yang baik untukmu, namun setiap kali aku melihatmu, aku selalu teringat pada kesalahanku di masa lalu. Dan aku… aku tahu aku tidak pantas dimaafkan.”
“Sekarang terserah padamu. Kau ingin marah, mencaci-maki aku, atau tidak ingin bertemu denganku lagi, aku akan menerimanya.”
Aku hanya diam menatap Leia yang kali ini kuketahui sebagai ibu kandungku.
Apa yang harus kulakukan? Seperti katanya, aku berhak marah, mencaci-maki, atau menyumpahinya karena membuatku melupakan segala hal tentang ibu kandungku.
Tapi…
“Kenapa kau menghilangkan ingatanku? Apa hanya karena kau tidak ingin teringat dengan masa lalumu?”
“Memang awalnya aku tidak ingin teringat oleh masa laluku, tapi lalu aku menyesali hal itu.” katanya, “Mungkin alasan sebenarnya aku menghilangkan ingatanmu karena… aku takut dengan reaksimu ketika tahu kau tahu bahwa sejak kecil kau dijadikan percobaan dan kenyataan bahwa aku tidak merawatmu seperti yang harusnya dilakukan oleh seorang ibu.”
“Begitu…”
“Sekarang, apa yang akan kau lakukan, Rei? Pilihan ada padamu, kau bebas memperlakukanku sesuka hatimu.”
Aku menatap wajah Leia—bukan, wajah ibuku lekat-lekat, dan menghela nafas.
“Awalnya, aku sedikit syok karena mengetahui aku masih punya ibu,” kataku, “pada awalnya aku juga ingin sekali memakimu, aku ingin membencimu, tapi lalu aku teringat apa yang dikatakan Komandan padaku.”
“Komandan?”
“Dia bertamu ke apartemenku pagi ini dan menceritakan alasannya tidak bisa menemui Runa. Dan kurasa… alasanmu hampir sama dengannya.” Aku tersenyum kecil, “Kalian berdua sama-sama takut dengan reaksi kami. Kalian takut kami akan membenci kalian dan berharap tidak pernah dilahirkan kalau tahu kami tidak pernah diinginkan. Intinya, kalian merasa bersalah pada apa yang kalian lakukan pada kami di masa lalu.”
Leia hanya diam mendengarnya.
“Tapi,” aku menghela nafas, “setelah kupikir-pikir lagi, aku tidak punya kebencian apa pun terhadapmu. Kau memperlakukanku seperti yang seharusnya sejak aku datang ke Raven. Kau memperlakukanku layaknya seorang ibu pada anaknya. Dan…”
Aku mengambil sebelah tangannya dan menyentuhkannya di pipiku.
“Aku benar-benar sangat merindukanmu… Ibu.”
Aku lalu menariknya ke dalam pelukanku dan membiarkannya balas memelukku sambil menangis. Aku membiarkannya memelukku erat-erat, seperti yang sedang kulakukan padanya.
“Rei, oh Tuhan…” dia terisak, “Putraku… maafkan aku, Nak… maafkan aku…”
“Ya.” aku membiarkan airmata membasahi pipiku ketika ia menangis tersedu-sedu dan terus menyebut namaku.
“Aku memaafkanmu, Bu. Aku tidak pernah menyalahkanmu atas segala hal yang terjadi padaku.”
Kami berdua terus berpelukan, melepaskan kerinduan yang kami rasakan. Ketika akhirnya kami melepas pelukan masing-masing, aku menundukkan wajahku dan membiarkannya mencium keningku.
“Aku benar-benar minta maaf, Rei. Atas segala hal yang sudah kuperbuat padamu… dan menghilangkan ingatanmu.” Katanya.
“Aku baik-baik saja.” balasku, “Dan kau tidak melakukan kesalahan apa pun, jadi kau tidak perlu meminta maaf.”
Leia tersenyum dan menggenggam tanganku erat-erat.
“Jadi… aku harus memanggilmu apa sekarang? Ibu, atau Leia saja?” kataku sambil tertawa kecil.
“Hmm… mungkin sebaiknya kau memanggilku Leia saja ketika kita sedang di markas atau di tempat di mana orang-orang mengenal kita sebagai rekan kerja.” Katanya, “Selain itu, kalau orang-orang tahu aku memiliki anak, para pria tidak akan mendekatiku lagi, dong!”
“Ap—dasar…”
“Tapi, kau boleh memanggilku ibu ketika aku berada di apartemenmu atau aku yang menyuruhmu demikian.” Dia tersenyum tipis, “Dan ketika aku siap, aku akan mengumumkan pada semua orang bahwa kau adalah putraku yang paling hebat dan tampan.”
“Baiklah, akan kutunggu sampai saat itu tiba.” Aku tersenyum, “Tapi… aku boleh memanggilmu ‘ibu’ ketika tidak ada orang seperti sekarang, kan?”
“Tentu. Aku sangat ingin mendengarmu memanggilku demikian.” Balasnya.
Aku tersenyum dan kemudian memanggilnya dengan sebutan yang sedari dulu ingin kukatakan pada wanita yang melahirkanku ini.
Ibu.

***
Leia’s Side
Orang-orang mulai berdatangan dan aku segera menempati posisi di mana aku bisa melihat semua anggota yang hadir dalam rapat ini. Sesekali aku melirik kearah Rei yang tersenyum padaku.
Harus kuakui, aku lega Rei sudah mengetahui bahwa aku adalah ibu kandungnya. Aku mengira dia akan marah dan mencaci-makiku karena menyembunyikan fakta ini bersamaan dengan identitasnya yang sebenarnya…
… tapi ternyata dia bisa menerimanya dengan baik, dan aku tidak menyangsikan hal itu karena ayahnya, Kujo Hitoshi, juga demikian. Sifat mereka berdua benar-benar mirip.
“Semua sudah menempati kursi masing-masing? Bagus. Ah… tolong biarkan dua kursi itu. Masih ada dua orang yang belum datang.”
Aku melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kiriku dengan tidak sabar.
Di mana mereka?
“Leia, memangnya kita harus menunggu siapa lagi? Bukankah anggota tim kita sudah berkumpul semuanya?” tanya Leon yang duduk di sebelahku.
“Belum… ada dua orang lagi yang akan mengikuti rapat kita.” jawabku, “Dan jangan bertanya lagi, tolong.”
Leon mengedikkan bahu dan kemudian mengajak Rei mengobrol.
Ketika aku bertanya-tanya di mana dua orang yang sedang kutunggu, pintu terbuka dan aku segera menenangkan anggota timku ketika melihat siapa yang datang.
“Tahan!! Dia tidak berbahaya!!” seruku. “Letakkan semua senjata kalian, ini perintah!!”
Ayano masih tetap menggunakan kimono hitam dan juga geta-nya. Dia menatap kami satu-persatu dan berjalan kearahku. Dia lalu duduk di salah satu kursi yang masih kosong dan menatap ke depan.
“Hirano-san, apa Anda gila membiarkan Claydoll itu mengikuti rapat ini?” tanya salah seorang anggotaku.
“Ya. Bukankah dia membunuhi hampir seluruh anggota tim yang dulu ditugaskan untuk menangkapnya?”
“Dia memang melakukannya,” kataku mengangguk, “Tapi saat ini, dia ada di pihak kita.”
“Di pihak kita? Jangan-jangan dia hanya ingin memanfaatkan kita.”
“Ya. Itu benar!”
“Kenapa dia tidak langsung dibunuh saja saat ditangkap?”
“Tenang, semuanya!!”
Aku memukul meja di hadapanku beberapa kali agar mereka tenang. Setelah mereka cukup tenang, aku mulai menjawab pertanyaan mereka.
“Memang benar dia adalah Claydoll, dan membunuhi hampir semua anggota kita. Tapi dia memiliki alasan,” kataku, “Ingat gadis yang pernah dibawa Rei kemari beberapa bulan lalu? Beberapa dari kalian tentu pernah melihatnya.”
Aku menatap reaksi mereka satu-persatu, lalu melanjutkan.
“Gadis yang dibawa Rei waktu itu diculik oleh Clematis karena… katakanlah, dia memiliki sesuatu yang diinginkan oleh mereka. Dan gadis ini adalah cloning dari gadis itu.”
“Kloning?”
“Ya. Ilmuwan yang kita kenal dengan sebutan Putri Iblis, Diva, mengubah gadis yang dibawa Rei waktu itu menjadi Claydoll namun ia memiliki kelemahan, hingga akhirnya ia mengambil kembali gadis itu dan menciptakan Claydoll yang sekarang ada di hadapan kalian.” kataku, “Tapi, dia sekarang berada di pihak kita. Alasan dia membunuhi teman-teman kita karena ia diperintahkan demikian, untuk membalaskan dendam kosong yang diberitahukan oleh si Putri Iblis. Dan setelah kujelaskan, dia akhirnya mau bekerja sama dengan kita untuk menyerang markas Clematis.
“Kita akan memberantas habis mereka dan menghentikan keresahan di Edenia. Untuk itulah aku mengajaknya mengikuti rapat ini, agar dia bisa memberitahukan apa-apa saja letak kelemahan Clematis dan bagaimana kita menyerang mereka. Kita akan menyerang markas mereka setelah kita mendapatkan izin dari Komandan Hanae Alice,”
Pintu sekali lagi terbuka, dan aku tersenyum melihat orang yang sedang kubicarakan masuk ke dalam ruangan.
Komandan lalu duduk di sebelah Ayano, setelah sebelumnya mengerjap dan menoleh kearahku meminta penjelasan.
“Dia bukan Runa. Ayano adalah cloning dari Runa.” kataku, “Saat ini hanya dia satu-satunya orang yang tahu di mana Runa berada.”
“Aku mengerti.”
“Dan sekarang, kita bisa secara resmi memulai rapat kita!”

***
Rei’s Side
Aku menatap Ayano yang duduk tenang di kursinya. Sekarang kami sedang berada di ruangan yang sama dang sedang menunggu Leia selesai berbicara dengan Komandan. Aku disuruh oleh Leia untuk menjaga Ayano karena gadis itu baru selesai dioperasi. Dan aku tidak tahu operasi apa yang tadi dijalaninya walau aku melihat jelas perban di kepalanya.
“Sudah puas menatapku?”
Aku terkejut dan melihatnya menatapku.
“Siapa bilang aku sedang menatapmu?” balasku sambil melihat kearah lain.
“Kau mudah ditebak, persis seperti yang dikatakan Hirano Leia padaku.” katanya. “Dan aku baru tahu kamu punya anting yang sama seperti yang dikenakan Oneesan.”
Aku secara refleks menyentuh anting di telinga kiriku.
“Anting itu… aku tahu itu benda penting bagimu dan Runa Oneesan.” Kata Ayano lagi, “Aku… aku sudah melihatnya beberapa kali, aku juga melihatnya dari dalam kesadaran Oneesan yang diperlihatkan Hirano Leia padaku.”
“Apa?”
“Oh, kau tidak tahu kalau Hirano Leia punya…” dia menutup mulutnya, “Maaf, aku tidak bisa menceritakannya. Wanita itu menyuruhku merahasiakannya dari semua orang.”
Aku sendiri juga tidak tertarik karena itu berarti melanggar privasi ibuku.
Kami berdua lalu kembali diam. Sepertinya Leia masih lama berbicara dengan Komandan, dan aku tidak tahu pembicaraan apa yang sedang mereka bicarakan.
“… Rei,”
Aku menoleh kearah Ayano dan melihatnya masih menatapku.
“Ada apa?”
“Bukan aku yang berbicara.” Katanya sambil mengerutkan kening, “Tapi, Runa Oneesan.”
“Hah?”
“Bukan apa-apa.”
Aku menatapnya lekat-lekat, tapi kemudian menyerah untuk mencari tahu. Lagipula dia tidak akan mau memberitahuku apa maksud ucapannya.
Leia akhirnya kembali, Komandan berjalan di belakangnya.
“Jadi?” tanyaku sambil menatapnya.
“Delapan jam dari sekarang kita akan mempersiapkan segala hal yang kita perlukan untuk menyerang Clematis.” Kata Leia, “Komandan sudah memberi izin, dan kali ini, ktia akan menumpas habis organisasi itu selamanya. Kita akan menyerang laboratorium mereka, yang menjadi pusat kerja mereka.
“Rei, tugasmu adalah mendampingi Ayano menyelamatkan Runa. Prioritas utama kita adalah menyelamatkannys dan menghancurkan organisasi tersebut. Kekuatan kalian berdua sangat diperlukan dalam misi ini. Kau mengerti?”
“Aku mengerti.” kataku, “Lalu, sekarang apa yang harus kulakukan?”
“Pergilah ke tempat Leon untuk mempersiapkan senjata kalian. Aku ingin berbicara dengan Ayano sebentar, setelahnya kalian berdua bergerak lebih dulu menuju pintu masuk markas Clematis. Ayano akan menunjukkan jalannya.”
Aku mengangguk mengerti dan berjalan keluar ruangan.
Aku menuju ruangan tempat di mana Leon biasa mempertajam senjatanya, dan melihat pria itu sedang berbicara dengan Alex.
“Hei, Rei, bagaimana hasil rapat tadi?” tanya Alex.
“Bukankah Leon sudah menceritakannya padamu?” tanyaku balik.
“Leon memang menceritakannya, terutama tentang gadis Claydoll itu. Dia benar-benar mirip Runa, ya?”
“Bukan hanya mirip, tapi dia memang cloning Runa.” kataku sambil duduk di sebelah Leon dan menyerahkan katana-ku pada Alex., “Lex, tolong asah katana-ku.”
Alex mengambil katana-ku dan kemudian menuju mesin pengasah besi di dekatnya.
“Jadi… apa yang sebenarnya dibicarakan Leia dengan Komandan?” tanya Leon.
“Hanya beberapa hal seperti persiapan untuk menyerang markas Clematis, kurasa.” Aku mengedikkan bahu, “Ah… Alex, jangan sampai katana-ku rusak karena kamu sedang mendengarkan cerita kami dan bukannya konsentrasi pada pekerjaanmu.”
Alex hanya tertawa mendengar gurauanku dan melemparkan sebuah baut kearahku, yang berhasil kuhindari dengan mudah.
“Jadi, kita akan menyerang Clematis, pada akhirnya?” kata Alex.
“Kurasa begitu.” aku mengangguk, “Dan kami juga sudah membagi tugas untuk menyusup dan menghancurkan laboratorium Clematis, karena kata Leia pusat kegiatan mereka berada pada laboratorium mereka.”
“Aku sependapat.” Sahut Leon. “Kita harus menumpas habis Clematis sampai ke akarnya. Dan setelah itu, kedamaian akan terjadi di Edenia.”
Aku mengangguk setuju. Tapi, kemudian aku merenungi sesuatu. Mengenai Proyek RE.
Aku masih tidak mengerti kenapa Clematis dan Raven terbentuk setelah proyek itu dibatalkan. Apa ada sesuatu yang mengakibatkan proyek itu dibatalkan dan akhirnya semua orang yang berhubungan dengan proyek itu dibunuh? Dan juga… siapa seseorang yang selamat dari pembunuhan itu, yang sempat disinggung oleh Mizuki?
“—ei! Oi, Rei!!”
“Hah? Apa?”
Aku mendongak dan melihat Alex menyodorkan katana-ku.
“Katana-mu sudah kupertajam, dan kujamin hasilnya tidak akan mengecewakan.” Katanya, “Apa pistolmu juga memerlukan amunisi baru?”
“Aku masih punya banyak persedian amunisi.” Kataku sambil mengambil katana itu. “Kau memang hebat dalam mengasah senjata, Lex, di samping sebagai ahli obat-obatan dan dokter terhebat di Raven. Tapi kenapa ketika aku terluka parah tiga bulan lalu bukan kau yang merawatku?”
“Aku punya banyak tugas, ingat? Aku tidak hanya mengurusi Raven kecil ini saja.” katanya sambil tertawa terbahak-bahak.
“Hei, aku sudah besar, dan bisa tidak berhenti memanggilku Raven kecil? Aku terdengar seperti burung mungil kalau seperti itu.”
“Baiklah… ngomong-ngomong, kenapa tadi kamu melamun?”
“Tidak ada apa-apa.” aku menggeleng, “Terima kasih sudah mempertajam senjataku, Lex. Ayo, Leon, kita masih harus mempersiapkan hal lain sebelum berangkat.”
“Eh, tunggu dulu!!”
Aku menarik lengan Leon yang sedang asyik memperhatikan pedang katana-nya dan pergi dari sana sebelum Alex bertanya lebih lanjut.

0 komentar:

Posting Komentar