Rei’s
Side
Ketika aku datang ke markas dan
menuju ruangan yang diberitahukan oleh Leia, aku tidak melihat ada orang lain
selain dirinya di dalam ruangan itu. Leia tampak duduk termenung di kursi
sambil menatap sebuah buku di tangannya.
Tapi aku tahu pikirannya
tidak tertuju pada buku itu.
Aku berjalan
menghampirinya dan dia tiba-tiba menoleh padaku. Senyum di wajahnya tidak
seperti biasa. Senyumannya terlihat seperti senyum kelelahan.
“Hei,” katanya,
“Akhirnya kau datang.”
“Di mana yang
lain? Bukankah katamu kita akan mengadakan rapat?” tanyaku.
“Memang. Tapi
mereka belum datang.” jawabnya, “Rei, duduklah dulu.”
Aku duduk di kursi
di sampingnya dan dia meletakkan buku yang dibacanya di atas meja.
“Kau sudah
mendatangi alamat yang kuberikan padamu?”
“Sudah. Dan di
sana adalah panti asuhan tempatku dulu dibesarkan.” Kataku.
Dia mengangguk,
“Dan… apa kau sudah mengerti kenapa aku merahasiakan Proyek RE darimu?”
“Ya.” aku
menatapnya, “Juga fakta bahwa kamu adalah ibu kandungku.”
Reaksi Leia yang
pertama kulihat adalah kedua matanya sedikit membelalak. Tapi kemudian dia
tersenyum lemah dan menghembuskan nafas. Sempat kulihat kedua matanya agak
berkaca-kaca, walau dia berusaha menutupinya.
“Kau akhirnya
tahu.” katanya, “Lalu, apa kamu akan menyalahkanku karena tidak pernah
merawatmu dengan baik?”
“Jujur saja, aku
tidak tahu harus bersikap seperti apa padamu setelah mengetahui segalanya.”
Kataku, “Semuanya… masih terasa aneh. Kenapa aku tidak pernah mengingatmu
sebagai ibuku?”
“Pernah dengar
ilmu hipnotis?”
“Ilmu hipnotis?”
“Itu adalah ilmu
yang membuat seseorang bisa melupakan sesuatu, biasanya sering digunakan oleh
para pesulap di zaman dulu.” Kata Leia, “Aku bisa menggunakan ilmu hipnotis,
dan aku menggunakannya padamu untuk menghilangkan ingatanmu tentangku.”
“Kenapa?”
“Kenapa? Ya…
kenapa?” dia tertawa hambar, “Karena aku tidak ingin… kau tahu aku—bukan, tapi
aku dan ayahmu, mengorbankanmu sebagai percobaan Proyek RE. Aku membenci diriku sendiri karena sudah membuatmu… seperti
sekarang.
“Aku berharap kau
menjadi anak yang normal ketika kau lahir. Namun, keadaan memaksanya untuk
mengambilmu sebagai percobaan pertama, dan aku sebagai istrinya harus
mendukungnya, walau dengan berat hati.”
“Tapi kenapa
ingatanku harus dihilangkan? Kenapa kau lari dan tidak pernah mengunjungiku
sekalipun di panti asuhan?” tanyaku, “Kau tahu apa yang kupikirkan ketika
wanita yang kusebut sebagai ibu terbunuh di hadapanku? Kau tahu bagaimana
perasaanku ketika saat itu menyadari aku menjadi yatim-piatu?”
“Aku tahu, Rei…
aku sangat mengetahuinya.” balasnya, “Tapi, bagaimana aku bisa mengunjungi atau
bahkan memelukmu ketika aku diawasi ketat oleh Raven? Mereka membatasi ruang
gerakku karena aku adalah istri Kujo Hitoshi. Mereka mencurigaiku karena anak
yang dulu pernah kukandung hilang tanpa jejak dan berasumsi bahwa aku
menyerahkanmu pada Hitoshi… yang memang kulakukan, walau dengan terpaksa.”
Aku menatap Leia
yang kali ini meneteskan airmata tanpa suara. Matanya menatap lurus kepadaku
dan aku bisa melihat tatapan mata yang sama sepertiku di matanya.
“Saat panti asuhan
tempatmu dititipkan diserang, aku tidak memikirkan yang lain selain
keselamatanmu. Aku kabur dari Raven dan pergi sendirian ke Distrik Enam dan
melihat semua sudah terlambat. Aku melihat kota yang hancur, terbakar. Dan
ketika aku menuju ke panti asuhan, aku nyaris kehilangan harapan melihat tempat
itu juga luluh lantak, menyatu dengan tanah merah.
“Tapi, aku lalu
melihatmu, terbaring pingsan di tanah. Saat itu, aku merasa Tuhan memberiku
kesempatan kedua untuk merawatmu. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk
merawatmu bahkan walau kau tidak ingat bahwa aku adalah ibumu. Aku mencoba
menjadi ibu yang baik untukmu, namun setiap kali aku melihatmu, aku selalu
teringat pada kesalahanku di masa lalu. Dan aku… aku tahu aku tidak pantas
dimaafkan.”
“Sekarang terserah
padamu. Kau ingin marah, mencaci-maki aku, atau tidak ingin bertemu denganku
lagi, aku akan menerimanya.”
Aku hanya diam
menatap Leia yang kali ini kuketahui sebagai ibu kandungku.
Apa yang harus
kulakukan? Seperti katanya, aku berhak marah, mencaci-maki, atau menyumpahinya
karena membuatku melupakan segala hal tentang ibu kandungku.
Tapi…
“Kenapa kau
menghilangkan ingatanku? Apa hanya karena kau tidak ingin teringat dengan masa
lalumu?”
“Memang awalnya
aku tidak ingin teringat oleh masa laluku, tapi lalu aku menyesali hal itu.”
katanya, “Mungkin alasan sebenarnya aku menghilangkan ingatanmu karena… aku
takut dengan reaksimu ketika tahu kau tahu bahwa sejak kecil kau dijadikan
percobaan dan kenyataan bahwa aku tidak merawatmu seperti yang harusnya
dilakukan oleh seorang ibu.”
“Begitu…”
“Sekarang, apa
yang akan kau lakukan, Rei? Pilihan ada padamu, kau bebas memperlakukanku
sesuka hatimu.”
Aku menatap wajah
Leia—bukan, wajah ibuku lekat-lekat, dan menghela nafas.
“Awalnya, aku
sedikit syok karena mengetahui aku masih punya ibu,” kataku, “pada awalnya aku
juga ingin sekali memakimu, aku ingin membencimu, tapi lalu aku teringat apa
yang dikatakan Komandan padaku.”
“Komandan?”
“Dia bertamu ke
apartemenku pagi ini dan menceritakan alasannya tidak bisa menemui Runa. Dan
kurasa… alasanmu hampir sama dengannya.” Aku tersenyum kecil, “Kalian berdua
sama-sama takut dengan reaksi kami. Kalian takut kami akan membenci kalian dan
berharap tidak pernah dilahirkan kalau tahu kami tidak pernah diinginkan.
Intinya, kalian merasa bersalah pada apa yang kalian lakukan pada kami di masa
lalu.”
Leia hanya diam
mendengarnya.
“Tapi,” aku
menghela nafas, “setelah kupikir-pikir lagi, aku tidak punya kebencian apa pun
terhadapmu. Kau memperlakukanku seperti yang seharusnya sejak aku datang ke
Raven. Kau memperlakukanku layaknya seorang ibu pada anaknya. Dan…”
Aku mengambil
sebelah tangannya dan menyentuhkannya di pipiku.
“Aku benar-benar
sangat merindukanmu… Ibu.”
Aku lalu
menariknya ke dalam pelukanku dan membiarkannya balas memelukku sambil
menangis. Aku membiarkannya memelukku erat-erat, seperti yang sedang kulakukan
padanya.
“Rei, oh Tuhan…”
dia terisak, “Putraku… maafkan aku, Nak… maafkan aku…”
“Ya.” aku
membiarkan airmata membasahi pipiku ketika ia menangis tersedu-sedu dan terus
menyebut namaku.
“Aku memaafkanmu,
Bu. Aku tidak pernah menyalahkanmu atas segala hal yang terjadi padaku.”
Kami berdua terus
berpelukan, melepaskan kerinduan yang kami rasakan. Ketika akhirnya kami
melepas pelukan masing-masing, aku menundukkan wajahku dan membiarkannya
mencium keningku.
“Aku benar-benar
minta maaf, Rei. Atas segala hal yang sudah kuperbuat padamu… dan menghilangkan
ingatanmu.” Katanya.
“Aku baik-baik
saja.” balasku, “Dan kau tidak melakukan kesalahan apa pun, jadi kau tidak
perlu meminta maaf.”
Leia tersenyum dan
menggenggam tanganku erat-erat.
“Jadi… aku harus
memanggilmu apa sekarang? Ibu, atau Leia saja?” kataku sambil tertawa kecil.
“Hmm… mungkin
sebaiknya kau memanggilku Leia saja ketika kita sedang di markas atau di tempat
di mana orang-orang mengenal kita sebagai rekan kerja.” Katanya, “Selain itu,
kalau orang-orang tahu aku memiliki anak, para pria tidak akan mendekatiku
lagi, dong!”
“Ap—dasar…”
“Tapi, kau boleh
memanggilku ibu ketika aku berada di apartemenmu atau aku yang menyuruhmu
demikian.” Dia tersenyum tipis, “Dan ketika aku siap, aku akan mengumumkan pada
semua orang bahwa kau adalah putraku yang paling hebat dan tampan.”
“Baiklah, akan
kutunggu sampai saat itu tiba.” Aku tersenyum, “Tapi… aku boleh memanggilmu
‘ibu’ ketika tidak ada orang seperti sekarang, kan?”
“Tentu. Aku sangat
ingin mendengarmu memanggilku demikian.” Balasnya.
Aku tersenyum dan
kemudian memanggilnya dengan sebutan yang sedari dulu ingin kukatakan pada
wanita yang melahirkanku ini.
“Ibu.”
***
Leia’s
Side
Orang-orang mulai berdatangan dan
aku segera menempati posisi di mana aku bisa melihat semua anggota yang hadir
dalam rapat ini. Sesekali aku melirik kearah Rei yang tersenyum padaku.
Harus kuakui, aku
lega Rei sudah mengetahui bahwa aku adalah ibu kandungnya. Aku mengira dia akan
marah dan mencaci-makiku karena menyembunyikan fakta ini bersamaan dengan
identitasnya yang sebenarnya…
… tapi ternyata
dia bisa menerimanya dengan baik, dan aku tidak menyangsikan hal itu karena ayahnya,
Kujo Hitoshi, juga demikian. Sifat mereka berdua benar-benar mirip.
“Semua sudah
menempati kursi masing-masing? Bagus. Ah… tolong biarkan dua kursi itu. Masih
ada dua orang yang belum datang.”
Aku melirik jam
tangan yang melingkari pergelangan tangan kiriku dengan tidak sabar.
Di
mana mereka?
“Leia, memangnya
kita harus menunggu siapa lagi? Bukankah anggota tim kita sudah berkumpul
semuanya?” tanya Leon yang duduk di sebelahku.
“Belum… ada dua
orang lagi yang akan mengikuti rapat kita.” jawabku, “Dan jangan bertanya lagi,
tolong.”
Leon mengedikkan
bahu dan kemudian mengajak Rei mengobrol.
Ketika aku
bertanya-tanya di mana dua orang yang sedang kutunggu, pintu terbuka dan aku
segera menenangkan anggota timku ketika melihat siapa yang datang.
“Tahan!! Dia tidak
berbahaya!!” seruku. “Letakkan semua senjata kalian, ini perintah!!”
Ayano masih tetap
menggunakan kimono hitam dan juga geta-nya.
Dia menatap kami satu-persatu dan berjalan kearahku. Dia lalu duduk di salah
satu kursi yang masih kosong dan menatap ke depan.
“Hirano-san, apa Anda gila membiarkan Claydoll itu mengikuti rapat ini?” tanya
salah seorang anggotaku.
“Ya. Bukankah dia
membunuhi hampir seluruh anggota tim yang dulu ditugaskan untuk menangkapnya?”
“Dia memang
melakukannya,” kataku mengangguk, “Tapi saat ini, dia ada di pihak kita.”
“Di pihak kita?
Jangan-jangan dia hanya ingin memanfaatkan kita.”
“Ya. Itu benar!”
“Kenapa dia tidak
langsung dibunuh saja saat ditangkap?”
“Tenang,
semuanya!!”
Aku memukul meja
di hadapanku beberapa kali agar mereka tenang. Setelah mereka cukup tenang, aku
mulai menjawab pertanyaan mereka.
“Memang benar dia
adalah Claydoll, dan membunuhi hampir
semua anggota kita. Tapi dia memiliki alasan,” kataku, “Ingat gadis yang pernah
dibawa Rei kemari beberapa bulan lalu? Beberapa dari kalian tentu pernah
melihatnya.”
Aku menatap reaksi
mereka satu-persatu, lalu melanjutkan.
“Gadis yang dibawa
Rei waktu itu diculik oleh Clematis karena… katakanlah, dia memiliki sesuatu
yang diinginkan oleh mereka. Dan gadis ini adalah cloning dari gadis itu.”
“Kloning?”
“Ya. Ilmuwan yang
kita kenal dengan sebutan Putri Iblis, Diva, mengubah gadis yang dibawa Rei
waktu itu menjadi Claydoll namun ia
memiliki kelemahan, hingga akhirnya ia mengambil kembali gadis itu dan
menciptakan Claydoll yang sekarang
ada di hadapan kalian.” kataku, “Tapi, dia sekarang berada di pihak kita.
Alasan dia membunuhi teman-teman kita karena ia diperintahkan demikian, untuk
membalaskan dendam kosong yang diberitahukan oleh si Putri Iblis. Dan setelah
kujelaskan, dia akhirnya mau bekerja sama dengan kita untuk menyerang markas
Clematis.
“Kita akan
memberantas habis mereka dan menghentikan keresahan di Edenia. Untuk itulah aku
mengajaknya mengikuti rapat ini, agar dia bisa memberitahukan apa-apa saja
letak kelemahan Clematis dan bagaimana kita menyerang mereka. Kita akan
menyerang markas mereka setelah kita mendapatkan izin dari Komandan Hanae
Alice,”
Pintu sekali lagi
terbuka, dan aku tersenyum melihat orang yang sedang kubicarakan masuk ke dalam
ruangan.
Komandan lalu
duduk di sebelah Ayano, setelah sebelumnya mengerjap dan menoleh kearahku
meminta penjelasan.
“Dia bukan Runa.
Ayano adalah cloning dari Runa.” kataku, “Saat ini hanya dia satu-satunya orang
yang tahu di mana Runa berada.”
“Aku mengerti.”
“Dan sekarang, kita
bisa secara resmi memulai rapat kita!”
***
Rei’s
Side
Aku menatap Ayano yang duduk tenang
di kursinya. Sekarang kami sedang berada di ruangan yang sama dang sedang
menunggu Leia selesai berbicara dengan Komandan. Aku disuruh oleh Leia untuk
menjaga Ayano karena gadis itu baru selesai dioperasi. Dan aku tidak tahu
operasi apa yang tadi dijalaninya walau aku melihat jelas perban di kepalanya.
“Sudah puas
menatapku?”
Aku terkejut dan
melihatnya menatapku.
“Siapa bilang aku
sedang menatapmu?” balasku sambil melihat kearah lain.
“Kau mudah
ditebak, persis seperti yang dikatakan Hirano Leia padaku.” katanya. “Dan aku
baru tahu kamu punya anting yang sama seperti yang dikenakan Oneesan.”
Aku secara refleks
menyentuh anting di telinga kiriku.
“Anting itu… aku
tahu itu benda penting bagimu dan Runa Oneesan.”
Kata Ayano lagi, “Aku… aku sudah melihatnya beberapa kali, aku juga melihatnya
dari dalam kesadaran Oneesan yang
diperlihatkan Hirano Leia padaku.”
“Apa?”
“Oh, kau tidak
tahu kalau Hirano Leia punya…” dia menutup mulutnya, “Maaf, aku tidak bisa
menceritakannya. Wanita itu menyuruhku merahasiakannya dari semua orang.”
Aku sendiri juga
tidak tertarik karena itu berarti melanggar privasi ibuku.
Kami berdua lalu
kembali diam. Sepertinya Leia masih lama berbicara dengan Komandan, dan aku
tidak tahu pembicaraan apa yang sedang mereka bicarakan.
“… Rei,”
Aku menoleh kearah
Ayano dan melihatnya masih menatapku.
“Ada apa?”
“Bukan aku yang
berbicara.” Katanya sambil mengerutkan kening, “Tapi, Runa Oneesan.”
“Hah?”
“Bukan apa-apa.”
Aku menatapnya
lekat-lekat, tapi kemudian menyerah untuk mencari tahu. Lagipula dia tidak akan
mau memberitahuku apa maksud ucapannya.
Leia akhirnya
kembali, Komandan berjalan di belakangnya.
“Jadi?” tanyaku
sambil menatapnya.
“Delapan jam dari
sekarang kita akan mempersiapkan segala hal yang kita perlukan untuk menyerang
Clematis.” Kata Leia, “Komandan sudah memberi izin, dan kali ini, ktia akan
menumpas habis organisasi itu selamanya. Kita akan menyerang laboratorium
mereka, yang menjadi pusat kerja mereka.
“Rei, tugasmu
adalah mendampingi Ayano menyelamatkan Runa. Prioritas utama kita adalah
menyelamatkannys dan menghancurkan organisasi tersebut. Kekuatan kalian berdua
sangat diperlukan dalam misi ini. Kau mengerti?”
“Aku mengerti.”
kataku, “Lalu, sekarang apa yang harus kulakukan?”
“Pergilah ke
tempat Leon untuk mempersiapkan senjata kalian. Aku ingin berbicara dengan
Ayano sebentar, setelahnya kalian berdua bergerak lebih dulu menuju pintu masuk
markas Clematis. Ayano akan menunjukkan jalannya.”
Aku mengangguk
mengerti dan berjalan keluar ruangan.
Aku menuju ruangan
tempat di mana Leon biasa mempertajam senjatanya, dan melihat pria itu sedang
berbicara dengan Alex.
“Hei, Rei,
bagaimana hasil rapat tadi?” tanya Alex.
“Bukankah Leon
sudah menceritakannya padamu?” tanyaku balik.
“Leon memang
menceritakannya, terutama tentang gadis Claydoll
itu. Dia benar-benar mirip Runa, ya?”
“Bukan hanya
mirip, tapi dia memang cloning Runa.” kataku sambil duduk di sebelah Leon dan
menyerahkan katana-ku pada Alex., “Lex, tolong asah katana-ku.”
Alex mengambil
katana-ku dan kemudian menuju mesin pengasah besi di dekatnya.
“Jadi… apa yang
sebenarnya dibicarakan Leia dengan Komandan?” tanya Leon.
“Hanya beberapa
hal seperti persiapan untuk menyerang markas Clematis, kurasa.” Aku mengedikkan
bahu, “Ah… Alex, jangan sampai katana-ku rusak karena kamu sedang mendengarkan
cerita kami dan bukannya konsentrasi pada pekerjaanmu.”
Alex hanya tertawa
mendengar gurauanku dan melemparkan sebuah baut kearahku, yang berhasil
kuhindari dengan mudah.
“Jadi, kita akan
menyerang Clematis, pada akhirnya?” kata Alex.
“Kurasa begitu.”
aku mengangguk, “Dan kami juga sudah membagi tugas untuk menyusup dan
menghancurkan laboratorium Clematis, karena kata Leia pusat kegiatan mereka
berada pada laboratorium mereka.”
“Aku sependapat.”
Sahut Leon. “Kita harus menumpas habis Clematis sampai ke akarnya. Dan setelah
itu, kedamaian akan terjadi di Edenia.”
Aku mengangguk
setuju. Tapi, kemudian aku merenungi sesuatu. Mengenai Proyek RE.
Aku masih tidak
mengerti kenapa Clematis dan Raven terbentuk setelah proyek itu dibatalkan. Apa
ada sesuatu yang mengakibatkan proyek itu dibatalkan dan akhirnya semua orang
yang berhubungan dengan proyek itu dibunuh? Dan juga… siapa seseorang yang
selamat dari pembunuhan itu, yang sempat disinggung oleh Mizuki?
“—ei! Oi, Rei!!”
“Hah? Apa?”
Aku mendongak dan
melihat Alex menyodorkan katana-ku.
“Katana-mu sudah
kupertajam, dan kujamin hasilnya tidak akan mengecewakan.” Katanya, “Apa
pistolmu juga memerlukan amunisi baru?”
“Aku masih punya
banyak persedian amunisi.” Kataku sambil mengambil katana itu. “Kau memang
hebat dalam mengasah senjata, Lex, di samping sebagai ahli obat-obatan dan
dokter terhebat di Raven. Tapi kenapa ketika aku terluka parah tiga bulan lalu
bukan kau yang merawatku?”
“Aku punya banyak
tugas, ingat? Aku tidak hanya mengurusi Raven kecil ini saja.” katanya sambil
tertawa terbahak-bahak.
“Hei, aku sudah
besar, dan bisa tidak berhenti memanggilku Raven kecil? Aku terdengar seperti
burung mungil kalau seperti itu.”
“Baiklah…
ngomong-ngomong, kenapa tadi kamu melamun?”
“Tidak ada
apa-apa.” aku menggeleng, “Terima kasih sudah mempertajam senjataku, Lex. Ayo,
Leon, kita masih harus mempersiapkan hal lain sebelum berangkat.”
“Eh, tunggu
dulu!!”
Aku menarik lengan
Leon yang sedang asyik memperhatikan pedang katana-nya dan pergi dari sana
sebelum Alex bertanya lebih lanjut.
0 komentar:
Posting Komentar