Leia’s Side
Setelah membawa Yuzuki ke markas, aku segera
menghubungi Mizuki, adik Yuzuki. Begitu dia sampai di markas, Mizuki tampak
memasang wajah datar di balik kacamata tipis yang dikenakannya. Dan… aku harus
mengatakan ini, tapi entah sejak kapan, auranya tampak menggelap ketika dia
berhadapan denganku.
“Di mana kakakku yang bodoh itu?”
tanyanya.
“Di ruang pemeriksaan.” Jawabku,
“Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu.”
“Biarkan aku bertemu dengannya
sebentar, setelah itu baru aku akan menjawab semua pertanyaanmu.” Kata Mizuki,
“Ada urusan yang harus kuselesaikan dengannya.”
Aku menatap Mizuki lekat-lekat, dan
baru menyadari aura gelap yang dibawanya bukan ditujukan padaku. Aura hitam
pekat di sekelilingnya itu tampak makin menggelap setiap detiknya.
“Baiklah. Tapi aku harus ikut
denganmu.”
“Tidak masalah.”
Aku menuntunnya ke sebuah pintu di
ujung koridor, di mana Yuzuki berada dan sedang diinterogasi oleh salah seorang
anak buahku. Ketika kami datang, mereka menoleh kearah kami dan yang
mengejutkan, Yuzuki tampak ketakutan melihat Mizuki berdiri di belakangku.
“Mizuki…”
Mizuki berjalan dan berdiri di
hadapan Yuzuki. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya karena dia berdiri
membelakangiku. Tapi, melihat ekspresi wajah anak buahku yang duduk di hadapan
Yuzuki sedikit ketakutan, aku rasa bakal terjadi sesuatu di sini.
“Bodoh.” Kata Mizuki, “Kau sadar
apa yang sudah kau lakukan ini?”
“Jangan mencoba-coba menceramahiku.
Aku tahu mana yang benar dan salah.” balas Yuzuki.
“Dengan mengikuti perintah si Putri
Iblis? Kau benar-benar tidak bisa ditinggal sendirian rupanya.”
“Apa salahnya aku mengikutinya?
Lagipula, dia duluan yang memulai!”
Yuzuki baru mengucapkan hal itu
sedetik yang lalu, dan tahu-tahu saja dia sudah terjatuh ke lantai dengan
Mizuki yang menekan kedua tangan pemuda itu di belakang punggungnya.
“Argh!!”
“Mizu—”
“Jangan ikut campur, Leia. Ini
urusanku dengan Yuzuki.” Kata Mizuki sambil melirik kearahku, “Jika kamu ikut
campur, aku tidak akan jamin aku akan berbelas kasihan mengeluarkan
kekuatanku.”
Aku terdiam di tempatku
mendengarnya. Aku pernah mendengar kekuatan Mizuki nyaris setara dengan Raven
yang DNA-nya sudah ditingkatkan berkali-kali. Dan aku tidak mau menjadi sasaran
empuk kekuatannya.
Tapi, Yuzuki… dia tampak kesakitan.
Setidaknya itulah yang kulihat.
Mizuki kembali menghadap Yuzuki dan
mengetatkan cengkeramannya pada tangan Yuzuki.
“Aku bodoh karena meninggalkanmu
sendirian, Kak.” Kata Mizuki, “Tapi ternyata kau benar-benar bodoh sampai
termakan bujukan si Putri Iblis. Kau benar-benar tidak sadar apa yang nyaris
kau lakukan pada tempat ini, satu-satunya tempat kita bisa hidup.”
“Aku melakukan yang benar, Mizuki!
Aku membalaskan dendam kedua orangtua kita!”
“Ayah dan Ibu pasti menangis
melihatmu seperti ini.” kata Mizuki lagi.
Yuzuki diam mendengar ucapan
Mizuki. Gadis itu mendekatkan wajahnya kearah Yuzuki dan mengucapkan sesuatu
yang tidak bisa kudengarkan. Tapi setelah itu dia melepaskan Yuzuki dan
berbalik.
“Aku tidak akan menganggapmu
sebagai saudaraku lagi, meski kita mempunyai darah dan wajah yang sama.” Kata
Mizuki, “Jika aku melihat wajahmu di Edenia, akan kupastikan kamu tidak akan
bisa melihat hari esok.”
Ancaman itu diucapkan dengan begitu
dingin hingga bukan hanya Yuzuki saja yang tampak ketakutan mendengarnya, tapi
aku juga merasa ketakutan.
Mizuki berjalan kearahku dan
menghembuskan nafas.
“Apa yang ingin kau tanyakan, Leia?
Aku siap menjawab pertanyaanmu.” Kata gadis itu pelan.
--
Aku membawa Mizuki ke ruangan di
mana Alice menunggu. Ketika kami datang, Alice sedang membaca berkas di tangannya.
“Aku datang bersama Mizuki.” Kataku
sambil membiarkan Mizuki berdiri di sampingku.
“Bagus. Kita bisa mulai pembicaraan
kita.” kata Alice, “Silakan duduk.”
Aku dan Mizuki duduk di sofa di
samping pintu, dan Alice duduk di hadapan kami.
“Sebelumnya aku minta maaf atas apa
yang terjadi pada kakakmu, Mizuki.” Kata Alice.
“Anda tidak perlu meminta maaf. Itu
memang kesalahan terbesarnya.” Kata Mizuki, “Lagipula, aku sudah menduga hal
seperti ini akan terjadi, dan aku tidak menganggap itu sebagai kesalahan
siapapun.”
“Begitu…” Alice mengangguk
mengerti, “Jadi, kau tahu apa yang dilakukan oleh Yuzuki?”
“Aku hanya tahu dia sedang
mengerjakan proyek penting, tapi aku tidak mengira dia ingin menghancurkan
Edenia hanya karena para petinggi tempat ini salah tuduh pada orangtua kami.”
Ujar Mizuki, “Mengenai dia yang bekerja sama dengan Diva, si Putri Iblis, aku
baru tahu setelah Leia meneleponku tadi.”
“Jadi kau hanya tahu dia sedang
mengerjakan proyek penting?”
“Hanya itu yang kutahu atas apa
yang dikerjakannya.” Mizuki mengangguk, “Jadi, jika kalian ingin menghukumnya
dan memasukkannya ke penjara, pastikan saja dia tidak akan muncul di hadapanku
lagi, atau aku yang akan mengakhiri hidupnya.”
“Apa?”
“Itu perjanjian yang kubuat dengan
Yuzuki. Jika dia berani memperlihatkan wajahnya di hadapanku, aku akan
membunuhnya.”
Alice tampak kehilangan kata-kata
mendengar ucapan Mizuki, tapi tidak mengucapkan apapun.
“Err… baiklah. Dengan kata lain kamu
tidak tahu dan tidak berhubungan dengan apa yang dikerjakan oleh Yuzuki.”
“Ya.”
Alice mengangguk dan menyerahkan
map di tangannya pada Mizuki.
“Kalau begitu isi berkas-berkas
ini. Ini adalah berkas mengenai penahanan kakakmu, dan juga pengadilan yang
akan menunggunya nanti.”
“Oke.”
Mizuki mengambil map itu dan
membaca berkas-berkas di dalamnya sebentar sebelum mengambil pulpen dan
mengisinya.
“Oh ya, di mana Rei?” tanya Mizuki
sambil tetap menulis.
“Dia di apartemennya,
beristirahat.” kataku.
“Hmm…” dia meletakkan pulpen dan
map itu kembali ke atas meja, “Aku boleh meminta sesuatu?”
“Apa permintaanmu?”
“Izinkan aku tetap menjadi dokter
pribadi Rei.” kata Mizuki, “Selama ini hanya aku saja yang tahu susunan DNA-nya
secara tepat, dan aku tidak mau ada orang lain yang menggantikanku menjadi
dokter pribadinya.”
“Itu perjanjian lama, dan masih
berlaku sampai sekarang.” ujar Alice.
“Memang, tapi aku tidak ingin hanya
menjadi dokter pribadinya saja.” balas Mizuki, “Kudengar kekasihnya sudah
kembali, kan?”
“Apa maksudmu?”
“Sebelum aku menerima telepon dari
Leia, aku mendapat sampel berharga.” Kata Mizuki sambil tersenyum, “Seseorang
yang baik hati mengirimkan sampel itu padaku dan menyuruhku untuk menjaganya.
Dan aku ingin berterima kasih pada orang itu.”
Aku dan Alice saling pandang dan
mengerutkan kening tanda tidak mengerti.
Mizuki tiba-tiba berdiri dan
menundukkan kepalanya.
“Selama aku menjadi dokter pribadi
Rei, artinya aku juga akan mengurusi segala hal yang berhubungan dengannya,
termasuk kekasihnya.” Kata Mizuki, “Aku permisi dulu.”
Kami berdua memandangi kepergian
Mizuki. Dan ketika pintu tertutup di belakang punggung gadis itu, aku langsung
sadar apa yang barusan dibicarakannya.
“Apa yang dimaksud ‘sampel
berharga’ itu… dia?”
***
Rei’s Side
Aku mengetuk pintu kamar Runa dan mendengar
suara dari dalam. Kubuka pintu perlahan dan melihat Runa sedang duduk di sisi
tempat tidur sambil menatap sebuah buku di pangkuannya.
“Hei,”
Aku duduk di sampingnya dan melihat
buku yang ada di pangkuannya adalah buku hariannya yang dulu kubaca.
“Kamu membaca ini?” tanyanya sambil
menunjukkan buku itu.
“Ya. Tidak boleh, ya?”
“Kamu tahu ini adalah rahasia
pribadi.” Ujarnya, “Aku tahu kamu membacanya. Ada bekas airmata di satu
halaman.”
Aku hanya tersenyum dan menariknya
ke dalam pelukanku. Runa menyandarkan kepalanya di dadaku dan menghembuskan
nafas.
“Benar-benar… berakhir, kan?
Semuanya?” katanya.
“Ya. Kuharap begitu.” kataku, “Dan
awal yang baru akan dimulai.”
“Rei,”
“Ya?”
“Apa… kamu tidak akan
meninggalkanku lagi? Tidak akan membiarkanku sendirian lagi?”
“Tentu saja. Lagipula aku tidak
sanggup berpisah darimu lagi.”
“Benarkah?”
“Apa aku perlu membuktikannya.”
“Mm… tidak perlu.” Dia tertawa
kecil, “Tapi cukup temani aku tidur setiap malam, itu sudah cukup.”
“Kamu tahu aku tidak akan hanya
menemanimu tidur, kan?”
Dia memukul pelan dadaku dan aku
tertawa.
“Oh ya, apa kamu sudah melakukan
permintaanku tadi?” tanyanya sambil menatapku.
“Sudah. Dan kurasa dia akan
menjaganya dengan baik.” kataku.
“Aku harap begitu…” katanya, “… aku
berharap dia akan menjaganya sebaik mungkin.”
Kami lalu diam dan sama-sama
melihat pemandangan matahari yang mulai naik ke langit. Rasanya aneh, tapi juga
menenangkan, terutama ketika Runa ada di sampingku.
“Kamu harus tidur.” kataku,
teringat kalau dia harus beristirahat. “Nanti siang kita ke markas dan
memberikan keterangan untuk pengadilan Yuzuki.”
“Apa dia harus diadili?”
“Dia bersalah dan bekerja sama
dengan Profesor Diva. Secara tidak langsung, Komandan menetapkannya sebagai
otak dari semua yang terjadi kemarin.”
“Begitu…”
“Kenapa? Kamu khawatir padanya?”
“Tidak. Tapi aku khawatir pada
keluarganya.” Kata Runa, “Kamu bilang dia punya adik, kan? Apa adiknya tidak
akan kenapa-kenapa begitu tahu apa yang terjadi pada kakaknya.”
“Kurasa dia tidak akan keberatan.”
Kataku, “Lagipula Mizuki itu wanita yang kuat, dan dia tidak akan mudah sedih
seperti wanita kebanyakan.”
“Hmm…”
“Nah, sekarang tidurlah.” Aku
menghelanya ke atas kasur, “Nanti aku akan membangunkanmu ketika kita akan
pergi ke markas.”
“Baiklah,” dia tersenyum, “Rei…”
“Ya?”
“Temani aku tidur, ya?”
“Tentu, Ohime-sama. Apa pun permintaanmu.” Kataku sambil mencium keningnya.
“Tidurlah,”
Dia tersenyum lagi dan memejamkan
matanya.
Aku duduk di kursi di samping
tempat tidur dan menggenggam tangannya sampai dia benar-benar tertidur. Setelah
yakin dia benar-benar tertidur, aku melepaskan genggaman tanganku dan berjalan
keluar dari kamarnya, tepat ketika bel pintu apartemenku berbunyi.
Aku menghampiri pintu depan dan
membukanya, dan cukup terkejut ketika melihat Mizuki berdiri di depan pintu apartemenku
dengan kantong kertas di tangannya.
“Hai, Rei,” dia tersenyum, “Boleh
aku masuk?”
“Tentu. Tumben sekali kamu kemari?”
kataku sambil sedikit menepi dan mempersilakannya masuk.
“Aku hanya ingin bertemu denganmu
dan Runa.” katanya, “Aku membawakan kalian makanan. Kamu tidak sempat membuat
sarapan atau makan siang nanti karena akan pergi ke markas, kan?”
“Kau tahu saja…” aku tertawa kecil
dan mengikutinya ke dapur.
Mizuki meletakkan kantong kertas di
tangannya ke atas meja dan mengeluarkan dua buah mangkuk yang diberi plastic
dan berisi sup hangat, dua kantong kentang goreng, dua botol jus apel, dan juga
satu kotak kue berwarna putih.
“Kamu memborong semuanya, ya?”
kataku melihatnya mengeluarkan dua buah burger lagi dari dalam kantong kertas
itu. Disusul dengan tiga kaleng softdrink
dingin.
“Asal kamu tahu, aku juga
kelaparan.” Katanya sambil membuka kertas pembungkus burger di tangannya dan
menyerahkan satu padaku. “Aku tadi pergi ke markas atas permintaan Leia.”
“Benar juga…” aku mengangguk,
“Jadi, bagaimana?”
“Biasa saja.” dia mengedikkan bahu.
“Aku sudah tahu dengan apa yang dikerjakan Yuzuki, dan aku memang sempat marah,
tapi… itu sudah tidak ada gunanya lagi. Kakakku itu benar-benar tidak bisa
tertolong lagi.”
Wajah Mizuki tampak meredup ketika
mengucapkan nama Yuzuki. Aku tahu ekspresi wajahnya itu menunjukkan kalau dia
sedih, sekaligus marah atas apa yang coba dilakukan Yuzuki.
“Daripada itu,” dia mendongak
menatapku, “Aku sudah menetapkan diri menjadi dokter pribadimu selama kamu
masih hidup, begitu juga dengan Runa.”
“Hah?”
“Komandan menyetujui permintaanku
untuk menetapkanku sebagai dokter pribadi kalian berdua.” katanya lagi, “Aku
tahu Runa terkena sindrom yang mengakibatkan tubuhnya melemah secara
berangsur-angsur, dan sebenarnya, aku memiliki obat yang setidaknya bisa
menghambat sindrom itu agar tidak berkembang lebih buruk.”
“Kau punya obatnya?” tanyaku tidak
percaya, “Tapi—bagaimana bisa?”
“Kau lupa aku mempelajari DNA
manusia selama bertahun-tahun, kan? Aku tahu sindrom apa yang diderita Runa,
dan aku berniat menjadikannya sebagai orang pertama yang menguji obat
buatanku.”
“Kau berniat menjadikannya
percobaan?”
“Percobaan adalah kata-kata yang
kasar. Aku tidak seperti orang-orang
Clematis dan juga Yuzuki.” Kata Mizuki, “Dan ngomong-ngomong soal
Clematis, bagaimana nasib organisasi itu sekarang?”
“Sejak awal organisasi itu tidak
memiliki pemimpin setelah kematian pemimpin mereka sebelumnya.” kataku, “Diva
mengambil alih dan menjalankan semuanya dari balik bayang, dan sekarang…
Komandan mengajukan permohonan agar Clematis menjadi bagian dari Raven.”
“Hee… pikiran yang cukup bijaksana.
Mengingat banyak ilmuwan Clematis yang bisa berguna untuk memajukan kota ini.”
“Aku juga berpikir begitu. Tapi
pasti akan ada yang tidak menyetujui hal itu, termasuk para petinggi Edenia.”
“Komandan pasti bisa melakukan
tujuannya.” Mizuki tersenyum, “Dia wanita yang tidak mudah menyerah. Aku yakin dia
bisa menyakinkan orang-orang sombong itu.”
“Kurasa begitu.” aku tersenyum,
“Lalu, apa kamu ke sini hanya untuk membicarakan hal itu?”
“Aku hanya ingin memeriksa keadaan
Runa, sebagai pertemuan pertamaku dengannya.” Katanya sambil melahap habis
burger di tangannya. “Apa dia sedang beristirahat?”
“Ya.”
“Kalau begitu aku akan menemuinya
nanti.” Kata Mizuki, “Aku akan pergi sekarang. Kau juga harus istirahat, kan?”
Dia berdiri dan membuang kertas
pembungkus burger dan juga kaleng softdrink
kosong ke tempat sampah.
“Sampaikan salamku pada Runa. Nanti
malam atau besok pagi aku akan menemuinya untuk melakukan pemeriksaan.”
“Tentu.”
Aku mengantarnya sampai ke depan
pintu. Kulihat matahari sudah mulai meninggi dan itu artinya sudah waktunya
untukku beristirahat. Aku benar-benar lelah, dan aku perlu tidur di samping
Runa.
Aku berbalik dan menuju kamar Runa
lagi. Kulihat dia masih tertidur pulas. Aku mendekati tempat tidurnya dan masuk
ke dalam selimutnya. Kutarik Runa mendekat kearahku dan memeluknya dari
belakang, aroma bunga mawar menghiasi penciumanku dan membuatku tersenyum
kecil.
***
Rei’s Side
Aku terbangun tepat di siang hari, sekitar
pukul 12. Satu jam sebelum aku harus pergi ke markas. Ketika aku berbalik dan
meregangkan tubuhku, Runa tidak ada di sampingku, yang menandakan dia sudah
bangun, dan mungkin sedang berada di dapur.
Aku bangkit dari kasur dan membuka
pintu, langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Ketika aku keluar dari kamar mandi,
kulihat Runa sedang menata meja makan dengan makanan yang tadi dibelikan
Mizuki. Dia mendongak dan melihatku sambil tersenyum.
“Sepertinya kamu sudah lebih baik.”
kataku sambil duduk di kursi makan dan menguap, “Tidurmu nyenyak?”
“Ya. Terutama karena ada pangeran
yang memelukku selama aku tidur.” katanya, duduk di hadapanku. “Apa tadi ada
yang datang saat aku tidur? Leia-san?”
“Bukan, tapi Mizuki. Dia yang
membawakan kita makanan ini.” kataku.
“Oh…” dia mengangguk-angguk, “Dia
yang katamu adik Hanazaki Yuzuki, kan?”
“Yup.” aku mengangguk, “Kapan kamu
bangun?”
“Sekitar satu jam sebelum kamu
terbangun.” Jawabnya, “Kenapa?”
“Tidak apa-apa.” aku tersenyum,
“Ayo kita makan, setelah itu kita pergi ke markas.”
“Err… Rei,”
“Apa?”
“Setelah dari markas… bisa kita
pergi ke suatu tempat?” katanya sambil menunduk, “Aku… aku ingin pergi ke suatu
tempat sebentar.”
“Memangnya kamu mau ke mana?”
“Err…” dia menundukkan kepalanya
semakin dalam, dan karena rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya jadi sedikit
tertutupi.
“Aku mau… pergi ke taman yang waktu
itu.” katanya, “Taman favoritmu.”
“Kamu mau memetik bunga di sana?”
tanyaku sambil tersenyum lebar, “Seperti yang pernah kamu lakukan saat masih
kecil?”
“A, aku pernah melakukannya?”
“Yah… hanya sekali, ketika kamu
menyelamatkanku dan memberikan tujuan
hidup yang baru.” Kataku.
“Menyelamatkanmu?” dia mengerutkan
kening.
“Akan kuceritakan nanti. Dan kita
akan pergi ke taman itu setelah kita kembali dari markas.” Ujarku. “Sekarang,
ayo makan, dan jangan bicara lagi, oke.”
“Kadang-kadang kamu bisa menjadi
pemaksa, ya?” kata Runa sambil tertawa, “Oh ya, Rei,”
“Apa?”
“Aku mencintaimu.”
Aku mendongak dan menatap matanya
yang menatapku balik. Mata ungunya bersinar dan menampakkan sinar paling cantik
yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
“Aku juga mencintaimu.” Kataku.
Aku meraih sebelah tangannya yang
ada diatas meja dan menciumnya.
Runa berdiri dan memelukku dari
belakang. Dagunya bersandar di puncak kepalaku.
“Janji yang dulu pernah kamu
ucapkan… menjaga dan melindungiku, kamu akan menepatinya?” tanyanya.
“Aku sudah bilang berkali-kali kalau
aku akan melakukan apa pun agar kamu bahagia.” Jawabku sambil tersenyum kecil,
“Apa pun untuk Tuan Putri yang cantik ini.”
“Dasar penggoda.” Katanya sambil
tersenyum.
“Aku hanya menggodamu, tidak
menggoda gadis lain.” balasku.
Matanya mengerjap dan dia menatapku
lekat-lekat.
“Terima kasih, Rei…” katanya lirih,
“Karena mau berlari dan mencariku tanpa kenal lelah. Terima kasih…”
“Hei, jangan menangis…”
Aku menghadapnya dan mengusap
setitik airmata yang mengalir dari sudut matanya.
“Kalaupun kamu menghilang lagi, aku
akan mencarimu lagi. Aku akan melakukannya berkali-kali, bahkan jika itu
mempertaruhkan nyawaku.” Kataku, “Lagipula, aku sepenuhnya milikmu. Jiwa dan
ragaku, semuanya.”
“Aku juga milikmu sepenuhnya.” Dia
tersenyum, “Janji jari kelingking?”
Aku tersenyum dan mengangguk.
“Tapi kurasa kita tidak memerlukan
janji kelingking lagi sekarang.”
Aku mendekatkan wajah Runa padaku
dan menutup bibirnya dengan bibirku. Kedua tangannya memeluk leherku dan aku
menariknya lebih dekat ke dalam pelukanku.
Ya…
Aku tidak akan melepaskannya lagi,
untuk kedua kalinya.
Tuan Putri yang terus mengisi
hatiku dengan namanya.
0 komentar:
Posting Komentar