Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

RE Part 2 - Chapter 17



Leia’s Side
Setelah membawa Yuzuki ke markas, aku segera menghubungi Mizuki, adik Yuzuki. Begitu dia sampai di markas, Mizuki tampak memasang wajah datar di balik kacamata tipis yang dikenakannya. Dan… aku harus mengatakan ini, tapi entah sejak kapan, auranya tampak menggelap ketika dia berhadapan denganku.

“Di mana kakakku yang bodoh itu?” tanyanya.
“Di ruang pemeriksaan.” Jawabku, “Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu.”
“Biarkan aku bertemu dengannya sebentar, setelah itu baru aku akan menjawab semua pertanyaanmu.” Kata Mizuki, “Ada urusan yang harus kuselesaikan dengannya.”
Aku menatap Mizuki lekat-lekat, dan baru menyadari aura gelap yang dibawanya bukan ditujukan padaku. Aura hitam pekat di sekelilingnya itu tampak makin menggelap setiap detiknya.
“Baiklah. Tapi aku harus ikut denganmu.”
“Tidak masalah.”
Aku menuntunnya ke sebuah pintu di ujung koridor, di mana Yuzuki berada dan sedang diinterogasi oleh salah seorang anak buahku. Ketika kami datang, mereka menoleh kearah kami dan yang mengejutkan, Yuzuki tampak ketakutan melihat Mizuki berdiri di belakangku.
“Mizuki…”
Mizuki berjalan dan berdiri di hadapan Yuzuki. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya karena dia berdiri membelakangiku. Tapi, melihat ekspresi wajah anak buahku yang duduk di hadapan Yuzuki sedikit ketakutan, aku rasa bakal terjadi sesuatu di sini.
“Bodoh.” Kata Mizuki, “Kau sadar apa yang sudah kau lakukan ini?”
“Jangan mencoba-coba menceramahiku. Aku tahu mana yang benar dan salah.” balas Yuzuki.
“Dengan mengikuti perintah si Putri Iblis? Kau benar-benar tidak bisa ditinggal sendirian rupanya.”
“Apa salahnya aku mengikutinya? Lagipula, dia duluan yang memulai!”
Yuzuki baru mengucapkan hal itu sedetik yang lalu, dan tahu-tahu saja dia sudah terjatuh ke lantai dengan Mizuki yang menekan kedua tangan pemuda itu di belakang punggungnya.
“Argh!!”
“Mizu—”
“Jangan ikut campur, Leia. Ini urusanku dengan Yuzuki.” Kata Mizuki sambil melirik kearahku, “Jika kamu ikut campur, aku tidak akan jamin aku akan berbelas kasihan mengeluarkan kekuatanku.”
Aku terdiam di tempatku mendengarnya. Aku pernah mendengar kekuatan Mizuki nyaris setara dengan Raven yang DNA-nya sudah ditingkatkan berkali-kali. Dan aku tidak mau menjadi sasaran empuk kekuatannya.
Tapi, Yuzuki… dia tampak kesakitan. Setidaknya itulah yang kulihat.
Mizuki kembali menghadap Yuzuki dan mengetatkan cengkeramannya pada tangan Yuzuki.
“Aku bodoh karena meninggalkanmu sendirian, Kak.” Kata Mizuki, “Tapi ternyata kau benar-benar bodoh sampai termakan bujukan si Putri Iblis. Kau benar-benar tidak sadar apa yang nyaris kau lakukan pada tempat ini, satu-satunya tempat kita bisa hidup.”
“Aku melakukan yang benar, Mizuki! Aku membalaskan dendam kedua orangtua kita!”
“Ayah dan Ibu pasti menangis melihatmu seperti ini.” kata Mizuki lagi.
Yuzuki diam mendengar ucapan Mizuki. Gadis itu mendekatkan wajahnya kearah Yuzuki dan mengucapkan sesuatu yang tidak bisa kudengarkan. Tapi setelah itu dia melepaskan Yuzuki dan berbalik.
“Aku tidak akan menganggapmu sebagai saudaraku lagi, meski kita mempunyai darah dan wajah yang sama.” Kata Mizuki, “Jika aku melihat wajahmu di Edenia, akan kupastikan kamu tidak akan bisa melihat hari esok.”
Ancaman itu diucapkan dengan begitu dingin hingga bukan hanya Yuzuki saja yang tampak ketakutan mendengarnya, tapi aku juga merasa ketakutan.
Mizuki berjalan kearahku dan menghembuskan nafas.
“Apa yang ingin kau tanyakan, Leia? Aku siap menjawab pertanyaanmu.” Kata gadis itu pelan.
--
Aku membawa Mizuki ke ruangan di mana Alice menunggu. Ketika kami datang, Alice sedang membaca berkas di tangannya.
“Aku datang bersama Mizuki.” Kataku sambil membiarkan Mizuki berdiri di sampingku.
“Bagus. Kita bisa mulai pembicaraan kita.” kata Alice, “Silakan duduk.”
Aku dan Mizuki duduk di sofa di samping pintu, dan Alice duduk di hadapan kami.
“Sebelumnya aku minta maaf atas apa yang terjadi pada kakakmu, Mizuki.” Kata Alice.
“Anda tidak perlu meminta maaf. Itu memang kesalahan terbesarnya.” Kata Mizuki, “Lagipula, aku sudah menduga hal seperti ini akan terjadi, dan aku tidak menganggap itu sebagai kesalahan siapapun.”
“Begitu…” Alice mengangguk mengerti, “Jadi, kau tahu apa yang dilakukan oleh Yuzuki?”
“Aku hanya tahu dia sedang mengerjakan proyek penting, tapi aku tidak mengira dia ingin menghancurkan Edenia hanya karena para petinggi tempat ini salah tuduh pada orangtua kami.” Ujar Mizuki, “Mengenai dia yang bekerja sama dengan Diva, si Putri Iblis, aku baru tahu setelah Leia meneleponku tadi.”
“Jadi kau hanya tahu dia sedang mengerjakan proyek penting?”
“Hanya itu yang kutahu atas apa yang dikerjakannya.” Mizuki mengangguk, “Jadi, jika kalian ingin menghukumnya dan memasukkannya ke penjara, pastikan saja dia tidak akan muncul di hadapanku lagi, atau aku yang akan mengakhiri hidupnya.”
“Apa?”
“Itu perjanjian yang kubuat dengan Yuzuki. Jika dia berani memperlihatkan wajahnya di hadapanku, aku akan membunuhnya.”
Alice tampak kehilangan kata-kata mendengar ucapan Mizuki, tapi tidak mengucapkan apapun.
“Err… baiklah. Dengan kata lain kamu tidak tahu dan tidak berhubungan dengan apa yang dikerjakan oleh Yuzuki.”
“Ya.”
Alice mengangguk dan menyerahkan map di tangannya pada Mizuki.
“Kalau begitu isi berkas-berkas ini. Ini adalah berkas mengenai penahanan kakakmu, dan juga pengadilan yang akan menunggunya nanti.”
“Oke.”
Mizuki mengambil map itu dan membaca berkas-berkas di dalamnya sebentar sebelum mengambil pulpen dan mengisinya.
“Oh ya, di mana Rei?” tanya Mizuki sambil tetap menulis.
“Dia di apartemennya, beristirahat.” kataku.
“Hmm…” dia meletakkan pulpen dan map itu kembali ke atas meja, “Aku boleh meminta sesuatu?”
“Apa permintaanmu?”
“Izinkan aku tetap menjadi dokter pribadi Rei.” kata Mizuki, “Selama ini hanya aku saja yang tahu susunan DNA-nya secara tepat, dan aku tidak mau ada orang lain yang menggantikanku menjadi dokter pribadinya.”
“Itu perjanjian lama, dan masih berlaku sampai sekarang.” ujar Alice.
“Memang, tapi aku tidak ingin hanya menjadi dokter pribadinya saja.” balas Mizuki, “Kudengar kekasihnya sudah kembali, kan?”
“Apa maksudmu?”
“Sebelum aku menerima telepon dari Leia, aku mendapat sampel berharga.” Kata Mizuki sambil tersenyum, “Seseorang yang baik hati mengirimkan sampel itu padaku dan menyuruhku untuk menjaganya. Dan aku ingin berterima kasih pada orang itu.”
Aku dan Alice saling pandang dan mengerutkan kening tanda tidak mengerti.
Mizuki tiba-tiba berdiri dan menundukkan kepalanya.
“Selama aku menjadi dokter pribadi Rei, artinya aku juga akan mengurusi segala hal yang berhubungan dengannya, termasuk kekasihnya.” Kata Mizuki, “Aku permisi dulu.”
Kami berdua memandangi kepergian Mizuki. Dan ketika pintu tertutup di belakang punggung gadis itu, aku langsung sadar apa yang barusan dibicarakannya.
“Apa yang dimaksud ‘sampel berharga’ itu… dia?”

***
Rei’s Side
Aku mengetuk pintu kamar Runa dan mendengar suara dari dalam. Kubuka pintu perlahan dan melihat Runa sedang duduk di sisi tempat tidur sambil menatap sebuah buku di pangkuannya.
“Hei,”
Aku duduk di sampingnya dan melihat buku yang ada di pangkuannya adalah buku hariannya yang dulu kubaca.
“Kamu membaca ini?” tanyanya sambil menunjukkan buku itu.
“Ya. Tidak boleh, ya?”
“Kamu tahu ini adalah rahasia pribadi.” Ujarnya, “Aku tahu kamu membacanya. Ada bekas airmata di satu halaman.”
Aku hanya tersenyum dan menariknya ke dalam pelukanku. Runa menyandarkan kepalanya di dadaku dan menghembuskan nafas.
“Benar-benar… berakhir, kan? Semuanya?” katanya.
“Ya. Kuharap begitu.” kataku, “Dan awal yang baru akan dimulai.”
“Rei,”
“Ya?”
“Apa… kamu tidak akan meninggalkanku lagi? Tidak akan membiarkanku sendirian lagi?”
“Tentu saja. Lagipula aku tidak sanggup berpisah darimu lagi.”
“Benarkah?”
“Apa aku perlu membuktikannya.”
“Mm… tidak perlu.” Dia tertawa kecil, “Tapi cukup temani aku tidur setiap malam, itu sudah cukup.”
“Kamu tahu aku tidak akan hanya menemanimu tidur, kan?”
Dia memukul pelan dadaku dan aku tertawa.
“Oh ya, apa kamu sudah melakukan permintaanku tadi?” tanyanya sambil menatapku.
“Sudah. Dan kurasa dia akan menjaganya dengan baik.” kataku.
“Aku harap begitu…” katanya, “… aku berharap dia akan menjaganya sebaik mungkin.”
Kami lalu diam dan sama-sama melihat pemandangan matahari yang mulai naik ke langit. Rasanya aneh, tapi juga menenangkan, terutama ketika Runa ada di sampingku.
“Kamu harus tidur.” kataku, teringat kalau dia harus beristirahat. “Nanti siang kita ke markas dan memberikan keterangan untuk pengadilan Yuzuki.”
“Apa dia harus diadili?”
“Dia bersalah dan bekerja sama dengan Profesor Diva. Secara tidak langsung, Komandan menetapkannya sebagai otak dari semua yang terjadi kemarin.”
“Begitu…”
“Kenapa? Kamu khawatir padanya?”
“Tidak. Tapi aku khawatir pada keluarganya.” Kata Runa, “Kamu bilang dia punya adik, kan? Apa adiknya tidak akan kenapa-kenapa begitu tahu apa yang terjadi pada kakaknya.”
“Kurasa dia tidak akan keberatan.” Kataku, “Lagipula Mizuki itu wanita yang kuat, dan dia tidak akan mudah sedih seperti wanita kebanyakan.”
“Hmm…”
“Nah, sekarang tidurlah.” Aku menghelanya ke atas kasur, “Nanti aku akan membangunkanmu ketika kita akan pergi ke markas.”
“Baiklah,” dia tersenyum, “Rei…”
“Ya?”
“Temani aku tidur, ya?”
“Tentu, Ohime-sama. Apa pun permintaanmu.” Kataku sambil mencium keningnya. “Tidurlah,”
Dia tersenyum lagi dan memejamkan matanya.
Aku duduk di kursi di samping tempat tidur dan menggenggam tangannya sampai dia benar-benar tertidur. Setelah yakin dia benar-benar tertidur, aku melepaskan genggaman tanganku dan berjalan keluar dari kamarnya, tepat ketika bel pintu apartemenku berbunyi.
Aku menghampiri pintu depan dan membukanya, dan cukup terkejut ketika melihat Mizuki berdiri di depan pintu apartemenku dengan kantong kertas di tangannya.
“Hai, Rei,” dia tersenyum, “Boleh aku masuk?”
“Tentu. Tumben sekali kamu kemari?” kataku sambil sedikit menepi dan mempersilakannya masuk.
“Aku hanya ingin bertemu denganmu dan Runa.” katanya, “Aku membawakan kalian makanan. Kamu tidak sempat membuat sarapan atau makan siang nanti karena akan pergi ke markas, kan?”
“Kau tahu saja…” aku tertawa kecil dan mengikutinya ke dapur.
Mizuki meletakkan kantong kertas di tangannya ke atas meja dan mengeluarkan dua buah mangkuk yang diberi plastic dan berisi sup hangat, dua kantong kentang goreng, dua botol jus apel, dan juga satu kotak kue berwarna putih.
“Kamu memborong semuanya, ya?” kataku melihatnya mengeluarkan dua buah burger lagi dari dalam kantong kertas itu. Disusul dengan tiga kaleng softdrink dingin.
“Asal kamu tahu, aku juga kelaparan.” Katanya sambil membuka kertas pembungkus burger di tangannya dan menyerahkan satu padaku. “Aku tadi pergi ke markas atas permintaan Leia.”
“Benar juga…” aku mengangguk, “Jadi, bagaimana?”
“Biasa saja.” dia mengedikkan bahu. “Aku sudah tahu dengan apa yang dikerjakan Yuzuki, dan aku memang sempat marah, tapi… itu sudah tidak ada gunanya lagi. Kakakku itu benar-benar tidak bisa tertolong lagi.”
Wajah Mizuki tampak meredup ketika mengucapkan nama Yuzuki. Aku tahu ekspresi wajahnya itu menunjukkan kalau dia sedih, sekaligus marah atas apa yang coba dilakukan Yuzuki.
“Daripada itu,” dia mendongak menatapku, “Aku sudah menetapkan diri menjadi dokter pribadimu selama kamu masih hidup, begitu juga dengan Runa.”
“Hah?”
“Komandan menyetujui permintaanku untuk menetapkanku sebagai dokter pribadi kalian berdua.” katanya lagi, “Aku tahu Runa terkena sindrom yang mengakibatkan tubuhnya melemah secara berangsur-angsur, dan sebenarnya, aku memiliki obat yang setidaknya bisa menghambat sindrom itu agar tidak berkembang lebih buruk.”
“Kau punya obatnya?” tanyaku tidak percaya, “Tapi—bagaimana bisa?”
“Kau lupa aku mempelajari DNA manusia selama bertahun-tahun, kan? Aku tahu sindrom apa yang diderita Runa, dan aku berniat menjadikannya sebagai orang pertama yang menguji obat buatanku.”
“Kau berniat menjadikannya percobaan?”
“Percobaan adalah kata-kata yang kasar. Aku tidak seperti orang-orang  Clematis dan juga Yuzuki.” Kata Mizuki, “Dan ngomong-ngomong soal Clematis, bagaimana nasib organisasi itu sekarang?”
“Sejak awal organisasi itu tidak memiliki pemimpin setelah kematian pemimpin mereka sebelumnya.” kataku, “Diva mengambil alih dan menjalankan semuanya dari balik bayang, dan sekarang… Komandan mengajukan permohonan agar Clematis menjadi bagian dari Raven.”
“Hee… pikiran yang cukup bijaksana. Mengingat banyak ilmuwan Clematis yang bisa berguna untuk memajukan kota ini.”
“Aku juga berpikir begitu. Tapi pasti akan ada yang tidak menyetujui hal itu, termasuk para petinggi Edenia.”
“Komandan pasti bisa melakukan tujuannya.” Mizuki tersenyum, “Dia wanita yang tidak mudah menyerah. Aku yakin dia bisa menyakinkan orang-orang sombong itu.”
“Kurasa begitu.” aku tersenyum, “Lalu, apa kamu ke sini hanya untuk membicarakan hal itu?”
“Aku hanya ingin memeriksa keadaan Runa, sebagai pertemuan pertamaku dengannya.” Katanya sambil melahap habis burger di tangannya. “Apa dia sedang beristirahat?”
“Ya.”
“Kalau begitu aku akan menemuinya nanti.” Kata Mizuki, “Aku akan pergi sekarang. Kau juga harus istirahat, kan?”
Dia berdiri dan membuang kertas pembungkus burger dan juga kaleng softdrink kosong ke tempat sampah.
“Sampaikan salamku pada Runa. Nanti malam atau besok pagi aku akan menemuinya untuk melakukan pemeriksaan.”
“Tentu.”
Aku mengantarnya sampai ke depan pintu. Kulihat matahari sudah mulai meninggi dan itu artinya sudah waktunya untukku beristirahat. Aku benar-benar lelah, dan aku perlu tidur di samping Runa.
Aku berbalik dan menuju kamar Runa lagi. Kulihat dia masih tertidur pulas. Aku mendekati tempat tidurnya dan masuk ke dalam selimutnya. Kutarik Runa mendekat kearahku dan memeluknya dari belakang, aroma bunga mawar menghiasi penciumanku dan membuatku tersenyum kecil.

***
Rei’s Side
Aku terbangun tepat di siang hari, sekitar pukul 12. Satu jam sebelum aku harus pergi ke markas. Ketika aku berbalik dan meregangkan tubuhku, Runa tidak ada di sampingku, yang menandakan dia sudah bangun, dan mungkin sedang berada di dapur.
Aku bangkit dari kasur dan membuka pintu, langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, kulihat Runa sedang menata meja makan dengan makanan yang tadi dibelikan Mizuki. Dia mendongak dan melihatku sambil tersenyum.
“Sepertinya kamu sudah lebih baik.” kataku sambil duduk di kursi makan dan menguap, “Tidurmu nyenyak?”
“Ya. Terutama karena ada pangeran yang memelukku selama aku tidur.” katanya, duduk di hadapanku. “Apa tadi ada yang datang saat aku tidur? Leia-san?”
“Bukan, tapi Mizuki. Dia yang membawakan kita makanan ini.” kataku.
“Oh…” dia mengangguk-angguk, “Dia yang katamu adik Hanazaki Yuzuki, kan?”
“Yup.” aku mengangguk, “Kapan kamu bangun?”
“Sekitar satu jam sebelum kamu terbangun.” Jawabnya, “Kenapa?”
“Tidak apa-apa.” aku tersenyum, “Ayo kita makan, setelah itu kita pergi ke markas.”
“Err… Rei,”
“Apa?”
“Setelah dari markas… bisa kita pergi ke suatu tempat?” katanya sambil menunduk, “Aku… aku ingin pergi ke suatu tempat sebentar.”
“Memangnya kamu mau ke mana?”
“Err…” dia menundukkan kepalanya semakin dalam, dan karena rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya jadi sedikit tertutupi.
“Aku mau… pergi ke taman yang waktu itu.” katanya, “Taman favoritmu.”
“Kamu mau memetik bunga di sana?” tanyaku sambil tersenyum lebar, “Seperti yang pernah kamu lakukan saat masih kecil?”
“A, aku pernah melakukannya?”
“Yah… hanya sekali, ketika kamu menyelamatkanku dan  memberikan tujuan hidup yang baru.” Kataku.
“Menyelamatkanmu?” dia mengerutkan kening.
“Akan kuceritakan nanti. Dan kita akan pergi ke taman itu setelah kita kembali dari markas.” Ujarku. “Sekarang, ayo makan, dan jangan bicara lagi, oke.”
“Kadang-kadang kamu bisa menjadi pemaksa, ya?” kata Runa sambil tertawa, “Oh ya, Rei,”
“Apa?”
“Aku mencintaimu.”
Aku mendongak dan menatap matanya yang menatapku balik. Mata ungunya bersinar dan menampakkan sinar paling cantik yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
“Aku juga mencintaimu.” Kataku.
Aku meraih sebelah tangannya yang ada diatas meja dan menciumnya.
Runa berdiri dan memelukku dari belakang. Dagunya bersandar di puncak kepalaku.
“Janji yang dulu pernah kamu ucapkan… menjaga dan melindungiku, kamu akan menepatinya?” tanyanya.
“Aku sudah bilang berkali-kali kalau aku akan melakukan apa pun agar kamu bahagia.” Jawabku sambil tersenyum kecil, “Apa pun untuk Tuan Putri yang cantik ini.”
“Dasar penggoda.” Katanya sambil tersenyum.
“Aku hanya menggodamu, tidak menggoda gadis lain.” balasku.
Matanya mengerjap dan dia menatapku lekat-lekat.
“Terima kasih, Rei…” katanya lirih, “Karena mau berlari dan mencariku tanpa kenal lelah. Terima kasih…”
“Hei, jangan menangis…”
Aku menghadapnya dan mengusap setitik airmata yang mengalir dari sudut matanya.
“Kalaupun kamu menghilang lagi, aku akan mencarimu lagi. Aku akan melakukannya berkali-kali, bahkan jika itu mempertaruhkan nyawaku.” Kataku, “Lagipula, aku sepenuhnya milikmu. Jiwa dan ragaku, semuanya.”
“Aku juga milikmu sepenuhnya.” Dia tersenyum, “Janji jari kelingking?”
Aku tersenyum dan mengangguk.
“Tapi kurasa kita tidak memerlukan janji kelingking lagi sekarang.”
Aku mendekatkan wajah Runa padaku dan menutup bibirnya dengan bibirku. Kedua tangannya memeluk leherku dan aku menariknya lebih dekat ke dalam pelukanku.
Ya…
Aku tidak akan melepaskannya lagi, untuk kedua kalinya.
Tuan Putri yang terus mengisi hatiku dengan namanya.

0 komentar:

Posting Komentar