Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Angel's Lullaby - Chapter 19 Bag.3



Yuya menatap kurir barang yang sedang berdiri di hadapannya. Pria yang sebenarnya lebih tua sepuluh tahun darinya itu tampak mengkeret di depannya. Yuya bisa maklum, mengingat posisinya di perusahaan ini bisa dibilang cukup berpengaruh, semua orang menaruh hormat padanya.
“Jadi,” Yuya mulai bicara, “Kamu tidak tahu siapa yang mengirimkan ini padaku?”

“Ya.” pria itu mengangguk cepat.
Yuya menatap berkas yang ada di atas mejanya. Berkas yang tadinya ada di amplop coklat yang dikirimkan untuknya.
“Seseorang hanya menyuruh saya untuk memberikannya pada Anda. Saya sama sekali tidak tahu apa isinya.” Ujar pria itu lagi sambil menatap takut-takut kearah Yuya yang diam saja.
“Baiklah, aku mengerti.” kata Yuya, “Maaf sudah membuatmu takut, tapi aku hanya ingin tahu siapa orang yang… mengirim ini. Saya tidak menyalahkan Anda jika itu yang Anda takutkan.”
“Anda boleh pergi. Terima kasih atas informasi Anda.”
Pria itu mengangguk lagi, kemudian cepat-cepat pergi dari sana dan meninggalkan Yuya sendirian dalam lamunannya. Dia diam menatap berkas-berkas di hadapannya.
Berkas-berkas itu adalah data diri Arisa, beserta foto-foto adiknya itu dari kecil sampai sekarang. Foto yang terbaru menampilkan Arisa sedang jalan-jalan bersama Haruto di taman bermain. Tapi bukan itu yang membuat Yuya kepikiran. Bukan foto-foto Arisa yang sedang jalan-jalan itu yang menarik perhatiannya, namun sebuah kertas kuning kecil dengan tulisan tangan yang bertuliskan :
Aku akan menemui putri kecil tidak lama lagi.
KW
Yuya mengambil ponselnya dan berjalan menuju jendela yang menghadap kearah pusat kota. tangannya memencet sebuah nomor dan menempelkan ponsel ke telinga.
“Halo, sayang? Bisa aku meminta tolong pada kakakmu? Apa? Oh, bukan masalah mobilku, ini lebih serius…” kata Yuya pada orang yang bicara padanya di seberang telepon.
“Ini tentang Kevin Woo. Aku ingin kakakmu mencari tahu apakah laki-laki itu masih hidup atau tidak. Karena seingatku dia sudah meninggal dan… aku yang melihatnya terjun dari balkon apartemennya sendiri setelah dia menyuruh Arisa menusuk dirinya sendiri dengan pisau.”

***

Arisa menatap makanan di hadapannya dengan kedua alis terangkat. Ada sup ayam dan jamur, kentang tumbuk, juga chocolate-cheese cake yang tampak menggiurkan terhidang di atas mejanya sementara Haruto berdiri di belakangnya sambil mengerutkan kening.
“Ini semua makanan kesukaanku.” Kata Arisa, “Bahkan minumannya juga. Itu kan lemon tea yang dicampur dengan madu.”
“Benar juga…”
Haruto menghampiri meja makan dan mencicipi supnya sedikit.
“Rasanya juga enak.” kata Haruto, “Apa ibumu sudah pulang? Bukankah saat kita tadi datang sama sekali tidak ada orang di rumah?”
“Mama memang pergi ke supermarket atau memberikan pelatihan memasak kue di aula pertemuan komplek. Tapi siapa lagi yang tahu makanan kesukaanku selain keluargaku?” balas Arisa.
“Memang benar, sih.” Haruto mengangguk-angguk, “Kalau begitu, ayo kita makan. Setelah pulang dari sekolah tadi kamu langsung tidur di kamar, kan?”
Arisa menggeser kursi dan duduk di meja makan. Dia meminum lemon tea-nya sedikit-sedikit.
Haruto juga ikut duduk di kursi di seberang Arisa. Namun keningnya masih berkerut, karena seingatnya tidak ada orang di rumah Arisa saat mereka tadi sampai, dan dia juga yakin, semua makanan ini tidak ada di meja sama sekali saat mereka datang.
Lalu siapa yang menyiapkan ini semua?
Haruto melihat Arisa makan dengan lahap. Kemudian dia memikirkan tidak peduli siapa yang menyiapkan semuanya, dia bersyukur setidaknya Arisa mau makan tanpa harus dipaksa seperti yang pernah diceritakan oleh Nyonya Kunisada dan Yuya.
Haruto menyendok kentang tumbuk di hadapannya.
“Kamu tidak kembali ke sekolah?” tanya Arisa tiba-tiba. “Aku baik-baik saja ditinggal sendiri di rumah. Mama pasti akan pulang sebentar lagi.”
“Tidak. Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian di rumah.” Balas Haruto.
“Kamu ternyata keras kepala juga, ya?”
Haruto hanya tersenyum lebar mendengar sindiran Arisa, sementara gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kamu lebih tua dariku tapi tingkahmu seperti anak kecil saja. Seharusnya kita bertukar kepribadian saja.” kata Arisa.
“Maksudnya?”
“Lihat saja sendiri, kamu seperti anak kecil karena selalu saja membolos, sementara aku… ya, menurut Kak Yuya aku terlihat lebih tua dari usiaku. Penampilanku saja dibilang seperti anak SMA, kan?”
“Memang sih…” Haruto tertawa. “Andai kamu benar-benar anak SMA dan masuk di kelasku, aku yakin kamu akan jadi incaran teman-temanku.”
“Kenapa?”
“Kamu cantik, Arisa. Dan sikap pendiammu itu membuatmu terkesan misterius.” Ujar Haruto.
“Tolong, jangan panggil aku cantik.” kata Arisa sambil mengerutkan kening. “Aku tidak suka dengan sebutan itu.”
“Ah… karena traumamu?”
“Begitulah.”
“Hmm…”
“Kenapa?” tanya Arisa.
“Tidak apa-apa. Bahkan sikapmu menanggapi traumamu juga terkesan dingin.” Kata Haruto, “Apa biasanya kamu selalu begini?”
“Karena ajaran kakekku. Kurasa sikap diamku juga karena itu.” ujar Arisa, “Setelah peristiwa waktu itu aku dititipkan di tempat Kakek dan Nenek dan nyaris sebulan tidak masuk sekolah. Saat itulah Kakek menasehatiku dan mengajariku beberapa gerakan beladiri, kalau-kalau kejadian seperti itu terulang lagi aku bisa melawan.”
Arisa lalu mendongak, “Tapi kamu sendiri sudah tahu ceritanya dari Mama dan Kak Yuya, kan?”
“Memang,” Haruto mengangguk, “Tapi aku penasaran, kenapa ada orang seperti itu.”
Arisa hanya mengedikkan bahu.
“Apa bisa kita tidak membicarakan hal itu, Haruto? Aku mulai kehilangan selera makanku.”
“Ah, maaf, maaf… ayo kita makan lagi.”
Haruto dan Arisa kembali menyantap makanan mereka ketika mata Haruto tidak sengaja melihat sebuah kartu yang terletak di dekat teko teh. Dia mengambil kartu itu dan mengerutkan kening melihat tulisan rapi di sana.
“Arisa, kurasa memang ada seseorang yang tadi masuk ke rumahmu dan menyiapkan semua makanan ini, tapi yang jelas dia bukan ibumu atau salah seorang keluargamu.”
“Eh?”
Haruto menyerahkan kartu di tangannya pada Arisa. Gadis itu menerima kartu tersebut dan membacanya.
Detik itu juga Haruto melihat wajah Arisa kembali memucat seolah-olah dia melihat hantu di siang bolong.
“Ada apa, Arisa?”
“Semua… makanan ini… dia yang menyiapkannya.” Kata Arisa dengan susah payah. “Laki-laki itu… Kevin Woo. Tadi dia ada di sini.”

0 komentar:

Posting Komentar