Yuya
menatap kurir barang yang sedang berdiri di hadapannya. Pria yang sebenarnya
lebih tua sepuluh tahun darinya itu tampak mengkeret di depannya. Yuya bisa
maklum, mengingat posisinya di perusahaan ini bisa dibilang cukup berpengaruh,
semua orang menaruh hormat padanya.
“Jadi,”
Yuya mulai bicara, “Kamu tidak tahu siapa yang mengirimkan ini padaku?”
“Ya.”
pria itu mengangguk cepat.
Yuya
menatap berkas yang ada di atas mejanya. Berkas yang tadinya ada di amplop
coklat yang dikirimkan untuknya.
“Seseorang
hanya menyuruh saya untuk memberikannya pada Anda. Saya sama sekali tidak tahu
apa isinya.” Ujar pria itu lagi sambil menatap takut-takut kearah Yuya yang
diam saja.
“Baiklah,
aku mengerti.” kata Yuya, “Maaf sudah membuatmu takut, tapi aku hanya ingin
tahu siapa orang yang… mengirim ini. Saya tidak menyalahkan Anda jika itu yang
Anda takutkan.”
“Anda
boleh pergi. Terima kasih atas informasi Anda.”
Pria
itu mengangguk lagi, kemudian cepat-cepat pergi dari sana dan meninggalkan Yuya
sendirian dalam lamunannya. Dia diam menatap berkas-berkas di hadapannya.
Berkas-berkas
itu adalah data diri Arisa, beserta foto-foto adiknya itu dari kecil sampai
sekarang. Foto yang terbaru menampilkan Arisa sedang jalan-jalan bersama Haruto
di taman bermain. Tapi bukan itu yang membuat Yuya kepikiran. Bukan foto-foto
Arisa yang sedang jalan-jalan itu yang menarik perhatiannya, namun sebuah
kertas kuning kecil dengan tulisan tangan yang bertuliskan :
Aku
akan menemui putri kecil tidak lama lagi.
KW
Yuya
mengambil ponselnya dan berjalan menuju jendela yang menghadap kearah pusat
kota. tangannya memencet sebuah nomor dan menempelkan ponsel ke telinga.
“Halo,
sayang? Bisa aku meminta tolong pada kakakmu? Apa? Oh, bukan masalah mobilku,
ini lebih serius…” kata Yuya pada orang yang bicara padanya di seberang
telepon.
“Ini
tentang Kevin Woo. Aku ingin kakakmu mencari tahu apakah laki-laki itu masih
hidup atau tidak. Karena seingatku dia sudah meninggal dan… aku yang melihatnya
terjun dari balkon apartemennya sendiri setelah dia menyuruh Arisa menusuk
dirinya sendiri dengan pisau.”
***
Arisa
menatap makanan di hadapannya dengan kedua alis terangkat. Ada sup ayam dan
jamur, kentang tumbuk, juga chocolate-cheese
cake yang tampak menggiurkan terhidang di atas mejanya sementara Haruto
berdiri di belakangnya sambil mengerutkan kening.
“Ini
semua makanan kesukaanku.” Kata Arisa, “Bahkan minumannya juga. Itu kan lemon tea yang dicampur dengan madu.”
“Benar
juga…”
Haruto
menghampiri meja makan dan mencicipi supnya sedikit.
“Rasanya
juga enak.” kata Haruto, “Apa ibumu sudah pulang? Bukankah saat kita tadi
datang sama sekali tidak ada orang di rumah?”
“Mama
memang pergi ke supermarket atau memberikan pelatihan memasak kue di aula
pertemuan komplek. Tapi siapa lagi yang tahu makanan kesukaanku selain
keluargaku?” balas Arisa.
“Memang
benar, sih.” Haruto mengangguk-angguk, “Kalau begitu, ayo kita makan. Setelah
pulang dari sekolah tadi kamu langsung tidur di kamar, kan?”
Arisa
menggeser kursi dan duduk di meja makan. Dia meminum lemon tea-nya sedikit-sedikit.
Haruto
juga ikut duduk di kursi di seberang Arisa. Namun keningnya masih berkerut,
karena seingatnya tidak ada orang di rumah Arisa saat mereka tadi sampai, dan
dia juga yakin, semua makanan ini tidak ada di meja sama sekali saat mereka
datang.
Lalu
siapa yang menyiapkan ini semua?
Haruto
melihat Arisa makan dengan lahap. Kemudian dia memikirkan tidak peduli siapa
yang menyiapkan semuanya, dia bersyukur setidaknya Arisa mau makan tanpa harus
dipaksa seperti yang pernah diceritakan oleh Nyonya Kunisada dan Yuya.
Haruto
menyendok kentang tumbuk di hadapannya.
“Kamu
tidak kembali ke sekolah?” tanya Arisa tiba-tiba. “Aku baik-baik saja ditinggal
sendiri di rumah. Mama pasti akan pulang sebentar lagi.”
“Tidak.
Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian di rumah.” Balas Haruto.
“Kamu
ternyata keras kepala juga, ya?”
Haruto
hanya tersenyum lebar mendengar sindiran Arisa, sementara gadis itu menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Kamu
lebih tua dariku tapi tingkahmu seperti anak kecil saja. Seharusnya kita
bertukar kepribadian saja.” kata Arisa.
“Maksudnya?”
“Lihat
saja sendiri, kamu seperti anak kecil karena selalu saja membolos, sementara
aku… ya, menurut Kak Yuya aku terlihat lebih tua dari usiaku. Penampilanku saja
dibilang seperti anak SMA, kan?”
“Memang
sih…” Haruto tertawa. “Andai kamu benar-benar anak SMA dan masuk di kelasku,
aku yakin kamu akan jadi incaran teman-temanku.”
“Kenapa?”
“Kamu
cantik, Arisa. Dan sikap pendiammu itu membuatmu terkesan misterius.” Ujar Haruto.
“Tolong,
jangan panggil aku cantik.” kata Arisa sambil mengerutkan kening. “Aku tidak
suka dengan sebutan itu.”
“Ah…
karena traumamu?”
“Begitulah.”
“Hmm…”
“Kenapa?”
tanya Arisa.
“Tidak
apa-apa. Bahkan sikapmu menanggapi traumamu juga terkesan dingin.” Kata Haruto,
“Apa biasanya kamu selalu begini?”
“Karena
ajaran kakekku. Kurasa sikap diamku juga karena itu.” ujar Arisa, “Setelah
peristiwa waktu itu aku dititipkan di tempat Kakek dan Nenek dan nyaris sebulan
tidak masuk sekolah. Saat itulah Kakek menasehatiku dan mengajariku beberapa
gerakan beladiri, kalau-kalau kejadian seperti itu terulang lagi aku bisa melawan.”
Arisa
lalu mendongak, “Tapi kamu sendiri sudah tahu ceritanya dari Mama dan Kak Yuya,
kan?”
“Memang,”
Haruto mengangguk, “Tapi aku penasaran, kenapa ada orang seperti itu.”
Arisa
hanya mengedikkan bahu.
“Apa
bisa kita tidak membicarakan hal itu, Haruto? Aku mulai kehilangan selera
makanku.”
“Ah,
maaf, maaf… ayo kita makan lagi.”
Haruto
dan Arisa kembali menyantap makanan mereka ketika mata Haruto tidak sengaja
melihat sebuah kartu yang terletak di dekat teko teh. Dia mengambil kartu itu
dan mengerutkan kening melihat tulisan rapi di sana.
“Arisa,
kurasa memang ada seseorang yang tadi masuk ke rumahmu dan menyiapkan semua
makanan ini, tapi yang jelas dia bukan ibumu atau salah seorang keluargamu.”
“Eh?”
Haruto
menyerahkan kartu di tangannya pada Arisa. Gadis itu menerima kartu tersebut
dan membacanya.
Detik
itu juga Haruto melihat wajah Arisa kembali memucat seolah-olah dia melihat
hantu di siang bolong.
“Ada
apa, Arisa?”
“Semua…
makanan ini… dia yang menyiapkannya.” Kata Arisa dengan susah payah. “Laki-laki
itu… Kevin Woo. Tadi dia ada di sini.”
0 komentar:
Posting Komentar