Kay sedang asyik melihat bagaimana cara membuat
dream-catcher—hiasan yang konon bisa
menangkap mimpi-mimpi indah dan menyaring mimpi buruk, ketika dia melihat Reina
menuju kearahnya.
“Kamu sudah menentukan pilihanmu?”
tanya Kay saat gadis itu sudah berdiri di hadapannya.
“Aku bingung mau memilih apa,
semuanya cantik-cantik.” ujar Reina, “Tapi… aku mau coba membuat sendiri.
Nyonya Diana akan mengajariku.”
“Nyonya Diana?” Kay mengerutkan
kening.
Kay menatap wanita paruh baya yang
berdiri di belakang Reina. Wanita itu tersenyum pada Kay.
“Lama tidak bertemu, Tuan Kay. Saya
Nyonya Diana, pegawai di sini.” ujar wanita itu. “Terakhir kali Anda kemari
adalah ketika Tuan Herlangga memperkenalkan Anda pada para staf di toko ini.”
“Ah… aku tidak ingat sama sekali.
Maaf,” Kay tersenyum malu, “Mungkin perkenalan sekali lagi saja, ya? Saya Kay
Alfatio.”
Nyonya Diana hanya tersenyum
simpul. Beliau lalu membimbing Reina ke sebuah kursi. Kay mengikuti dan melihat
wanita itu mengeluarkan peralatan dan juga bahan-bahan untuk membuat perhiasan.
“Nona Reina ingin membuat hiasan
apa?” tanya Nyonya Diana, “Kalung? Cincin? Gelang? Atau mungkin dream-catcher?”
“Hmm…” Reina menatap bahan-bahan
yang ada di hadapannya, lalu menoleh kearah Kay, “Kay, menurutmu bagusnya
membuat apa?”
“Kok tanya aku? Kan, kamu yang mau
membuat perhiasan sendiri?” Kay tertawa geli, “Terserah kamu saja, Rei.
Memangnya kamu ingin membuat apa?”
“Kok malah balik tanya? Aku kan
minta pendapatmu, Kay.” Ujar Reina merajuk.
“Hmm… kalau disuruh dimintai
pendapat, mungkin aku bakal pilih benda yang bisa kupakai setiap saat, tapi
tidak terlalu mencolok saat aku mengenakannya.” Kata Kay, “Itu pendapatku
sebagai cowok, lho! Kalau kamu ya… terserah saja mau buat apa.”
Reina mengangguk-angguk paham.
“Bagaimana kalau kita membuat
kalung yang simpel, tapi bisa kalian pakai tanpa menarik perhatian, seperti
yang dikatakan Tuan Kay?” usul Nyonya Diana.
“Apa ada kalung yang seperti itu?”
tanya Reina.
“Tentu. Aku pernah membuatnya,
berkali-kali, dan hasilnya makin bagus.” Ujar beliau, “Ayo, Nona Reina, aku
tunjukkan cara membuatnya.”
Kay melihat wanita paruh baya itu
dengan cekatan mengambil botol kecil berisi pasir pantai berwarna putih bersih
serta bahan-bahan lain. Ia dan Reina memperhatikan beliau mengerjakan dengan
cepat membuat sebuah bandul berbentuk hati yang diisi dengan pasir pantai
berwarna putih dan juga kerang-kerang kecil.
“Wah…” Reina menatap kagum bandul hati
itu, “Bagus banget!”
“Ini baru yang dasar.” Kata Nyonya
Diana, “Kalau mau, Nona Reina bisa membuat hiasan untuk kalungnya.”
“Eh? Boleh?” tanya Reina.
“Tentu. Begini caranya…”
Reina melihat contoh yang dilakukan
oleh Nyonya Diana, kemudian mengikuti seperti yang dicontohkan. Gadis itu
tampak tekun mengerjakannya dan membuat Kay yang melihatnya tersenyum kecil.
Jarang-jarang dia melihat gadis itu bersemangat seperti ini.
Kay lalu berdiri dan memilih
melihat-lihat ke tempat lain. Dia tidak memberitahu Reina karena gadis itu
sedang asyik sendiri dengan pekerjaannya.
Cowok itu berjalan keluar dari toko
dan memutuskan untuk duduk sambil minum minuman dingin di warung yang menjual
minuman di dekat sana. Kay menatap rumah pantai yang ditinggalinya di kejauhan
dan menghembuskan nafas. Dia masih tidak terlalu senang meninggalkan Bi Ijah di
rumah bersama ibunya.
Kalau
wanita itu benar-benar ibuku…
kata cowok itu dalam hati.
Kay memasuki warung yang menjual es
kelapa dan minuman dingin lainnya dan memesan es campur ukuran jumbo. Dia
sedang kelaparan, dan juga, semangkuk besar es campur bisa menghilangkan lapar
dan hausnya di saat bersamaan.
Tengah Kay menikmati es campur
pesanannya. Seseorang menutup matanya dari belakang. Gerakan tangan Kay yang
hendak menyuap ke mulutnya terhenti dan dia menghembuskan nafas, kali ini lebih
jengkel walau tidak kentara.
“Aku tahu ini kamu, Regina.” Kata
cowok itu sambil melepaskan tangan yang menutupi kedua matanya dan menoleh ke
belakang.
Regina tersenyum lebar dan langsung
duduk di sebelah Kay. Begitu melihat gadis itu duduk di dekatnya, tiba-tiba
selera makan Kay menghilang entah ke mana dan dia menatap tidak berminat pada
es campur di hadapannya.
“Kay, kenapa kamu tidak ada di
rumah kemarin? Aku kemarin ke rumahmu, lho.” Kata Regina sambil tetap memasang
senyum lebarnya.
“Aku sibuk. Tidak sempat pulang ke
rumah.” Kata Kay malas dan memakan es campurnya dengan tidak berselera.
Regina menatap Kay dengan berminat.
Sejak dia bertemu dengan Kay, yang dibawa oleh Maria Allendra ke jamuan makan
malam dulu, dia memutuskan untuk mengejar Kay. Menurutnya, siapa yang tidak
akan jatuh cinta pada Kay? Wajahnya tampan, dengan hidung mancung kecil yang
cocok dengan wajahnya yang terkesan kokoh dan tegas. Rambutnya tebal, sedikit
kecokelatan karena sering terpapar sinar matahari. Tubuhnya juga tinggi tegap.
Dan tangannya…
Oh, ya, Regina pernah berjabat
tangan dengan Kay, dan ketika dia merasakan tangan besar Kay membungkus
tangannya Regina memutuskan untuk memilikinya. Well… walau dia sudah berusia 26 tahun, tidak ada salahnya dia
mencari pacar, kan? Toh, dia sedang tidak ingin menjalani hubungan yang penuh
komitmen seperti menikah.
“Lalu… kenapa kamu ada di sini?” tanya
Kay.
“Aku sedang melakukan pemotretan.
Dan ketika melihatmu, aku langsung memutuskan untuk kemari.” jawab Regina,
“Kamu makin hari makin ganteng saja, Kay. Ngomong-ngomong, mana pacarmu yang
kemarin kutemui bersamamu waktu itu?”
Untuk
apa kamu mau tahu, Tante? Kata Kay
dalam hati.
“Dia sedang berada di dalam toko,
sibuk memilih pernak-pernik dari kerang.” Kata Kay sambil menunjuk toko
pernak-pernik di sebelahnya.
Regina menatap toko pernak-pernik
itu dan mendengus tanpa sadar.
“Lalu, kenapa kamu tidak
menemaninya di dalam?” tanya Regina, “Ah… apa dia terlalu lama memilih sehingga
kamu bosan? Well, semua cewek memang
begitu, kok!”
Kay hanya diam dan memakan lagi es
campurnya.
“Hmm… Kay, kamu mau menemaniku
sebentar?” tanya Regina.
“Aku tidak bisa. Aku harus
menunggui Reina.”
“Oh ayolah! Hanya sebentar, dan
setelahnya aku akan mentraktirmu makan siang.” Ujar Regina.
Kay menatap sekilas Regina,
kemudian menggeleng.
“Tidak. Sekali tidak tetap tidak.”
ujar cowok itu.
“Ayolah, Kay… hanya sebentar, dan
setelah itu aku—”
“Kay!”
Mereka berdua menoleh dan melihat
Reina berjalan kearah mereka sambil tersenyum lebar. Gadis itu menghampiri
mereka dan melirik sekilas kearah Regina.
“Kay, coba lihat deh!” kata Reina
sambil menunjukkan dua buah kalung di tangannya.
“Oh, sudah selesai?” Kay melihat
kalung itu dan tersenyum, “Bagus.”
“Benar? Kata Nyonya Diana juga
begitu. Kalung ini kalung pertama yang kubuat. Dan katanya aku boleh datang
lagi kalau ingin belajar dan mencoba membuat perhiasan yang lain.” kata Reina
bersemangat, “Kay, kamu mau menemaniku ke sini lagi, kan kapan-kapan?”
“Apapun untuk pacarku yang manis.”
jawab Kay sambil mencubit hidung Reina.
“Ehm!”
Mereka berdua menoleh dan menatap
Regina yang sedang tersenyum manis. Sepintas, Reina melihat tatapan kesal di
mata Regina, tapi dia tidak memusingkannya.
“Ah, Regina, apa kabar?” kata Reina
sambil tersenyum, “Aku tidak tahu kamu ada di sini.”
“Ya…” Regina menjawab dengan nada
melengos, lalu menatap Kay, “Kay, aku rasa aku harus pergi. Manajerku pasti
sudah mencariku sejak tadi.”
“Oh, silakan.” Kata Kay sambil
tersenyum, “Hati-hati di jalan.”
Regina tersenyum pada Kay, dan
kemudian pergi.
“Akhirnya dia pergi juga…” kata
Kay, “Kamu benar-benar penyelamat, Rei. Kalau kamu nggak datang, entah apa yang
bakal dia lakukan padaku.”
“Memangnya dia bakal melakukan apa
padamu?” tanya Reina, “Jangan-jangan kamu tadi tergoda sama dia, ya? Hayoo…
ngaku deh Kay!”
“Apaan, sih? Jangan bilang kamu
cemburu?” balas Kay sambil terkekeh, “Aku nggak bakal berpaling ke lain hati,
kok. Kalau itu yang kamu permasalahkan.”
Reina mengerucutkan bibirnya dan
memandang Kay, “Benar? Jangan-jangan kamu menggombal, lagi!”
“Aku serius, kok!” ujar Kay,
“Sudah, deh… jangan membahas soal Regina lagi. Kamu sudah selesai berbelanja?
Mau kemana lagi setelah ini?”
“Hmm… temani aku membeli kue
coklat. Aku kangen dengan kue coklat buatan Bi Ijah, dan karena kamu nggak ada
di rumahmu yang lama, jadinya aku tidak punya alasan untuk ke rumahmu.” Ujar
Reina.
“Hmm… kue coklat, ya? Bagaimana
kalau kamu membuatnya sendiri? Kamu bisa membuatnya, kan?”
“Kalau ada bahan-bahannya.” Jawab
Reina.
Kay tersenyum, “Kalau begitu ayo ke
rumah pantai yang kutempati. Di sana ada bahan-bahan membuat kue yang baru
dibeli oleh koki beberapa hari lalu.”
“Ke rumah pantaimu? Memangnya boleh?”
“Tentu saja boleh. Apalagi dulu
Kakek pernah bilang untuk mengajak gadis yang kusayangi ke sana kalau aku
benar-benar menemukannya.”
Ucapan Kay itu membuat pipi Reina
kontan memerah. Gadis itu meninju lengan Kay.
“Kay gombal!”
“Aku nggak gombal, kok. Itu
kenyataan yang memang ada di depan mata.” Kay tersenyum lebar. “Ayo, kita ke
rumah pantaiku.”
“Oke,” Reina mengangguk, “Ah, Kay,
pakai ini deh. Aku sudah susah payah membuat kalung ini untukmu, jadi harus
kamu pakai.”
Kay menatap kalung yang ada di
tangan Reina. Kalung berbentuk bujur sangkar itu dihiasi pasir pantai berwarna
kebiruan dan kerang-kerang kecil berwarna coklat. Kalung itu cukup sederhana,
hanya dibuat dari bandul bujur sangkar itu, dan beberapa manic-manik bulat
berwarna biru laut yang turut menghiasi. Satu kalung lagi memiliki bandul yang
sama, hanya saja warna pasir pantai di dalam bandul berwarna merah muda, begitu
pula manic-manik bulatnya.
Cowok itu mengambil kalung yang
berwarna merah muda dan dengan cepat memasangkannya di leher Reina. Dia
kemudian mengambil kalung biru dan memasangnya di lehernya sendiri.
“Nah, sudah.” Kay tersenyum. “Ayo
kita pergi.”
***
Regina menatap Kay dan Reina yang pergi
meninggalkan warung. Matanya menyipit tajam melihat Kay memasangkan kalung ke
leher Reina tadi. Perasaan kesal dan marah bercampur menjadi satu dalam
benaknya.
Gadis
ingusan itu benar-benar menyebalkan!
Katanya dalam hati, memperhatikan Kay dan Reina yang menaiki motor sport hitam dan meninggalkan pantai itu.
Regina mengentakkan kakinya kesal
dan tidak menyadari kalau dia menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.
Wanita itu lalu duduk di kursi
plastic yang disediakan di tempatnya tadi melakukan pemotretan. Beberapa orang
kru pemotretan menghampirinya dan mulai meriasnya kembali. Seorang kru
memberikan sebotol air padanya, yang tidak dibalas dengan sedikitpun ucapan
terima kasih. Ia tengah memikirkan sesuatu dan tidak mau konsentrasnyia
diganggu.
Aku
tidak boleh membiarkan Kay makin terpikat pada gadis ingusan itu. Aku harus
bisa membuatnya menyukaiku, apapun yang terjadi!
Regina lalu tersenyum ketika
mendapatkan sebuah ide dalam kepala cantiknya. Ia kemudian mengambil ponsel
yang dia simpan di saku roknya dan menekan sebuah nomor yang dia yakin bisa
membantunya mengatasi masalahnya.
0 komentar:
Posting Komentar