Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Farewell Rain - Chapter 13



Kay sedang asyik melihat bagaimana cara membuat dream-catcher—hiasan yang konon bisa menangkap mimpi-mimpi indah dan menyaring mimpi buruk, ketika dia melihat Reina menuju kearahnya.
“Kamu sudah menentukan pilihanmu?” tanya Kay saat gadis itu sudah berdiri di hadapannya.
“Aku bingung mau memilih apa, semuanya cantik-cantik.” ujar Reina, “Tapi… aku mau coba membuat sendiri. Nyonya Diana akan mengajariku.”

“Nyonya Diana?” Kay mengerutkan kening.
Kay menatap wanita paruh baya yang berdiri di belakang Reina. Wanita itu tersenyum pada Kay.
“Lama tidak bertemu, Tuan Kay. Saya Nyonya Diana, pegawai di sini.” ujar wanita itu. “Terakhir kali Anda kemari adalah ketika Tuan Herlangga memperkenalkan Anda pada para staf di toko ini.”
“Ah… aku tidak ingat sama sekali. Maaf,” Kay tersenyum malu, “Mungkin perkenalan sekali lagi saja, ya? Saya Kay Alfatio.”
Nyonya Diana hanya tersenyum simpul. Beliau lalu membimbing Reina ke sebuah kursi. Kay mengikuti dan melihat wanita itu mengeluarkan peralatan dan juga bahan-bahan untuk membuat perhiasan.
“Nona Reina ingin membuat hiasan apa?” tanya Nyonya Diana, “Kalung? Cincin? Gelang? Atau mungkin dream-catcher?”
“Hmm…” Reina menatap bahan-bahan yang ada di hadapannya, lalu menoleh kearah Kay, “Kay, menurutmu bagusnya membuat apa?”
“Kok tanya aku? Kan, kamu yang mau membuat perhiasan sendiri?” Kay tertawa geli, “Terserah kamu saja, Rei. Memangnya kamu ingin membuat apa?”
“Kok malah balik tanya? Aku kan minta pendapatmu, Kay.” Ujar Reina merajuk.
“Hmm… kalau disuruh dimintai pendapat, mungkin aku bakal pilih benda yang bisa kupakai setiap saat, tapi tidak terlalu mencolok saat aku mengenakannya.” Kata Kay, “Itu pendapatku sebagai cowok, lho! Kalau kamu ya… terserah saja mau buat apa.”
Reina mengangguk-angguk paham.
“Bagaimana kalau kita membuat kalung yang simpel, tapi bisa kalian pakai tanpa menarik perhatian, seperti yang dikatakan Tuan Kay?” usul Nyonya Diana.
“Apa ada kalung yang seperti itu?” tanya Reina.
“Tentu. Aku pernah membuatnya, berkali-kali, dan hasilnya makin bagus.” Ujar beliau, “Ayo, Nona Reina, aku tunjukkan cara membuatnya.”
Kay melihat wanita paruh baya itu dengan cekatan mengambil botol kecil berisi pasir pantai berwarna putih bersih serta bahan-bahan lain. Ia dan Reina memperhatikan beliau mengerjakan dengan cepat membuat sebuah bandul berbentuk hati yang diisi dengan pasir pantai berwarna putih dan juga kerang-kerang kecil.
“Wah…” Reina menatap kagum bandul hati itu, “Bagus banget!”
“Ini baru yang dasar.” Kata Nyonya Diana, “Kalau mau, Nona Reina bisa membuat hiasan untuk kalungnya.”
“Eh? Boleh?” tanya Reina.
“Tentu. Begini caranya…”
Reina melihat contoh yang dilakukan oleh Nyonya Diana, kemudian mengikuti seperti yang dicontohkan. Gadis itu tampak tekun mengerjakannya dan membuat Kay yang melihatnya tersenyum kecil. Jarang-jarang dia melihat gadis itu bersemangat seperti ini.
Kay lalu berdiri dan memilih melihat-lihat ke tempat lain. Dia tidak memberitahu Reina karena gadis itu sedang asyik sendiri dengan pekerjaannya.
Cowok itu berjalan keluar dari toko dan memutuskan untuk duduk sambil minum minuman dingin di warung yang menjual minuman di dekat sana. Kay menatap rumah pantai yang ditinggalinya di kejauhan dan menghembuskan nafas. Dia masih tidak terlalu senang meninggalkan Bi Ijah di rumah bersama ibunya.
Kalau wanita itu benar-benar ibuku… kata cowok itu dalam hati.
Kay memasuki warung yang menjual es kelapa dan minuman dingin lainnya dan memesan es campur ukuran jumbo. Dia sedang kelaparan, dan juga, semangkuk besar es campur bisa menghilangkan lapar dan hausnya di saat bersamaan.
Tengah Kay menikmati es campur pesanannya. Seseorang menutup matanya dari belakang. Gerakan tangan Kay yang hendak menyuap ke mulutnya terhenti dan dia menghembuskan nafas, kali ini lebih jengkel walau tidak kentara.
“Aku tahu ini kamu, Regina.” Kata cowok itu sambil melepaskan tangan yang menutupi kedua matanya dan menoleh ke belakang.
Regina tersenyum lebar dan langsung duduk di sebelah Kay. Begitu melihat gadis itu duduk di dekatnya, tiba-tiba selera makan Kay menghilang entah ke mana dan dia menatap tidak berminat pada es campur di hadapannya.
“Kay, kenapa kamu tidak ada di rumah kemarin? Aku kemarin ke rumahmu, lho.” Kata Regina sambil tetap memasang senyum lebarnya.
“Aku sibuk. Tidak sempat pulang ke rumah.” Kata Kay malas dan memakan es campurnya dengan tidak berselera.
Regina menatap Kay dengan berminat. Sejak dia bertemu dengan Kay, yang dibawa oleh Maria Allendra ke jamuan makan malam dulu, dia memutuskan untuk mengejar Kay. Menurutnya, siapa yang tidak akan jatuh cinta pada Kay? Wajahnya tampan, dengan hidung mancung kecil yang cocok dengan wajahnya yang terkesan kokoh dan tegas. Rambutnya tebal, sedikit kecokelatan karena sering terpapar sinar matahari. Tubuhnya juga tinggi tegap. Dan tangannya…
Oh, ya, Regina pernah berjabat tangan dengan Kay, dan ketika dia merasakan tangan besar Kay membungkus tangannya Regina memutuskan untuk memilikinya. Well… walau dia sudah berusia 26 tahun, tidak ada salahnya dia mencari pacar, kan? Toh, dia sedang tidak ingin menjalani hubungan yang penuh komitmen seperti menikah.
“Lalu… kenapa kamu ada di sini?” tanya Kay.
“Aku sedang melakukan pemotretan. Dan ketika melihatmu, aku langsung memutuskan untuk kemari.” jawab Regina, “Kamu makin hari makin ganteng saja, Kay. Ngomong-ngomong, mana pacarmu yang kemarin kutemui bersamamu waktu itu?”
Untuk apa kamu mau tahu, Tante? Kata Kay dalam hati.
“Dia sedang berada di dalam toko, sibuk memilih pernak-pernik dari kerang.” Kata Kay sambil menunjuk toko pernak-pernik di sebelahnya.
Regina menatap toko pernak-pernik itu dan mendengus tanpa sadar.
“Lalu, kenapa kamu tidak menemaninya di dalam?” tanya Regina, “Ah… apa dia terlalu lama memilih sehingga kamu bosan? Well, semua cewek memang begitu, kok!”
Kay hanya diam dan memakan lagi es campurnya.
“Hmm… Kay, kamu mau menemaniku sebentar?” tanya Regina.
“Aku tidak bisa. Aku harus menunggui Reina.”
“Oh ayolah! Hanya sebentar, dan setelahnya aku akan mentraktirmu makan siang.” Ujar Regina.
Kay menatap sekilas Regina, kemudian menggeleng.
“Tidak. Sekali tidak tetap tidak.” ujar cowok itu.
“Ayolah, Kay… hanya sebentar, dan setelah itu aku—”
“Kay!”
Mereka berdua menoleh dan melihat Reina berjalan kearah mereka sambil tersenyum lebar. Gadis itu menghampiri mereka dan melirik sekilas kearah Regina.
“Kay, coba lihat deh!” kata Reina sambil menunjukkan dua buah kalung di tangannya.
“Oh, sudah selesai?” Kay melihat kalung itu dan tersenyum, “Bagus.”
“Benar? Kata Nyonya Diana juga begitu. Kalung ini kalung pertama yang kubuat. Dan katanya aku boleh datang lagi kalau ingin belajar dan mencoba membuat perhiasan yang lain.” kata Reina bersemangat, “Kay, kamu mau menemaniku ke sini lagi, kan kapan-kapan?”
“Apapun untuk pacarku yang manis.” jawab Kay sambil mencubit hidung Reina.
“Ehm!”
Mereka berdua menoleh dan menatap Regina yang sedang tersenyum manis. Sepintas, Reina melihat tatapan kesal di mata Regina, tapi dia tidak memusingkannya.
“Ah, Regina, apa kabar?” kata Reina sambil tersenyum, “Aku tidak tahu kamu ada di sini.”
“Ya…” Regina menjawab dengan nada melengos, lalu menatap Kay, “Kay, aku rasa aku harus pergi. Manajerku pasti sudah mencariku sejak tadi.”
“Oh, silakan.” Kata Kay sambil tersenyum, “Hati-hati di jalan.”
Regina tersenyum pada Kay, dan kemudian pergi.
“Akhirnya dia pergi juga…” kata Kay, “Kamu benar-benar penyelamat, Rei. Kalau kamu nggak datang, entah apa yang bakal dia lakukan padaku.”
“Memangnya dia bakal melakukan apa padamu?” tanya Reina, “Jangan-jangan kamu tadi tergoda sama dia, ya? Hayoo… ngaku deh Kay!”
“Apaan, sih? Jangan bilang kamu cemburu?” balas Kay sambil terkekeh, “Aku nggak bakal berpaling ke lain hati, kok. Kalau itu yang kamu permasalahkan.”
Reina mengerucutkan bibirnya dan memandang Kay, “Benar? Jangan-jangan kamu menggombal, lagi!”
“Aku serius, kok!” ujar Kay, “Sudah, deh… jangan membahas soal Regina lagi. Kamu sudah selesai berbelanja? Mau kemana lagi setelah ini?”
“Hmm… temani aku membeli kue coklat. Aku kangen dengan kue coklat buatan Bi Ijah, dan karena kamu nggak ada di rumahmu yang lama, jadinya aku tidak punya alasan untuk ke rumahmu.” Ujar Reina.
“Hmm… kue coklat, ya? Bagaimana kalau kamu membuatnya sendiri? Kamu bisa membuatnya, kan?”
“Kalau ada bahan-bahannya.” Jawab Reina.
Kay tersenyum, “Kalau begitu ayo ke rumah pantai yang kutempati. Di sana ada bahan-bahan membuat kue yang baru dibeli oleh koki beberapa hari lalu.”
“Ke rumah pantaimu? Memangnya boleh?”
“Tentu saja boleh. Apalagi dulu Kakek pernah bilang untuk mengajak gadis yang kusayangi ke sana kalau aku benar-benar menemukannya.”
Ucapan Kay itu membuat pipi Reina kontan memerah. Gadis itu meninju lengan Kay.
“Kay gombal!”
“Aku nggak gombal, kok. Itu kenyataan yang memang ada di depan mata.” Kay tersenyum lebar. “Ayo, kita ke rumah pantaiku.”
“Oke,” Reina mengangguk, “Ah, Kay, pakai ini deh. Aku sudah susah payah membuat kalung ini untukmu, jadi harus kamu pakai.”
Kay menatap kalung yang ada di tangan Reina. Kalung berbentuk bujur sangkar itu dihiasi pasir pantai berwarna kebiruan dan kerang-kerang kecil berwarna coklat. Kalung itu cukup sederhana, hanya dibuat dari bandul bujur sangkar itu, dan beberapa manic-manik bulat berwarna biru laut yang turut menghiasi. Satu kalung lagi memiliki bandul yang sama, hanya saja warna pasir pantai di dalam bandul berwarna merah muda, begitu pula manic-manik bulatnya.
Cowok itu mengambil kalung yang berwarna merah muda dan dengan cepat memasangkannya di leher Reina. Dia kemudian mengambil kalung biru dan memasangnya di lehernya sendiri.
“Nah, sudah.” Kay tersenyum. “Ayo kita pergi.”

***

Regina menatap Kay dan Reina yang pergi meninggalkan warung. Matanya menyipit tajam melihat Kay memasangkan kalung ke leher Reina tadi. Perasaan kesal dan marah bercampur menjadi satu dalam benaknya.
Gadis ingusan itu benar-benar menyebalkan! Katanya dalam hati, memperhatikan Kay dan Reina yang menaiki motor sport hitam dan meninggalkan pantai itu.
Regina mengentakkan kakinya kesal dan tidak menyadari kalau dia menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.
Wanita itu lalu duduk di kursi plastic yang disediakan di tempatnya tadi melakukan pemotretan. Beberapa orang kru pemotretan menghampirinya dan mulai meriasnya kembali. Seorang kru memberikan sebotol air padanya, yang tidak dibalas dengan sedikitpun ucapan terima kasih. Ia tengah memikirkan sesuatu dan tidak mau konsentrasnyia diganggu.
Aku tidak boleh membiarkan Kay makin terpikat pada gadis ingusan itu. Aku harus bisa membuatnya menyukaiku, apapun yang terjadi!
Regina lalu tersenyum ketika mendapatkan sebuah ide dalam kepala cantiknya. Ia kemudian mengambil ponsel yang dia simpan di saku roknya dan menekan sebuah nomor yang dia yakin bisa membantunya mengatasi masalahnya.

0 komentar:

Posting Komentar