Hal
pertama yang kulakukan ketika melihat ayahku bangkit dari tidurnya adalah… terkejut. Tapi kemudian aku kembali
tersadar ketika pelindung tidak terlihat di hadapanku berdengung saat Vanessa
kembali menyerang.
Pemuda
berambut perak dari dalam peti—ayahku, keluar dan menggeleng-gelengkan
kepalanya. Aku masih terpana melihat sosok beliau yang ternyata lebih tinggi
dari Gabriel. Dengan rambut perak dan mata merah seperti yang kulihat pada bola
mata ibuku di dalam video yang kulihat membuat beliau seperti penyihir bermata
merah.
“Kuharap
aku tidak terlambat bangun dari tidur.” ujar beliau, “Aku mendengar
suara-suara, dan ketika terbangun, aku mendengar suara Gabriel yang menyebutkan
namamu, Ilana.”
“K,
kau… Ayah mengenalku?” tanyaku.
“Tentu
saja aku mengenali putriku sendiri.” beliau tertawa, “Itu hal yang wajar, kan?”
Aku
mengerjap mendengar suaranya yang tampak ramah. Namun, tatapan mata beliau
tampak dalam dan tegas. Bahkan ketika dia menatap kearah Harry yang sepertinya
ikut terpana melihat ayahku bangkit dari tidurnya.
“Harry
Savagers,” kata beliau, “Benar kata Selene, kau memang mirip dengan Kegnant.
Aku sampai lupa wajahmu karena kamu sedikit berubah dari terakhir kali kita
bertemu.”
“Raja
Arslan, senang sekali bisa melihatmu kembali bangkit.” Kata Harry, “Dan tepat
di saat kau dan seluruh keluargamu hancur di tanganku.”
“Aku
takut itu tidak akan terjadi,” Ayah tertawa tenang, “Semuanya akan berubah,
seperti yang diprediksikan oleh istriku. Benar kan, Selene?”
Aku
menoleh kearah peti ketika Ayah mengulurkan tangannya. Sebuah tangan putih yang
memiliki jari-jari lentik menyambut tangan beliau dan pandanganku tertutupi
oleh rambut cokelat keemasan yang muncul dari dalam peti.
“Tidur
yang melelahkan. Lain kali aku tidak akan mau tidur di dalam peti ini. Rasanya
seperti vampire saja. Untungnya luka-luka akibat pertempuran lebih dari sepuluh
tahun yang lalu sudah pulih seutuhnya.” suara itu terdengar bagai suara
lonceng, dan suara itu sangat mirip dengan suaraku.
Ayah
terkekeh dan menunjuk kearahku yang ada di belakang si gadis berambut coklat
keemasan. Gadis itu menoleh dan mataku langsung bertatapan dengan mata merah
semerah batu rubi. Gadis itu, yang tidak lain adalah ibuku, Selene Edelweiss,
menatapku sebentar dan tersenyum.
“Aku
tidak menyangka putri kecilku akan menjadi cantik seperti ini.” ujarnya, “Maaf
aku tidak berada di sisimu ketika kamu tumbuh, sayang.”
Perkataan
seperti itu pastinya membuat setiap anak yang tidak pernah bertemu orangtuanya
terharu. Begitu juga aku. Aku mengerjapkan mata menahan airmata yang mulai
mengalir di sudut mataku dan menunduk.
Suara
kain yang berdesir terdengar oleh telingaku dan aku melihat gaun merah di
hadapanku. Sepasang tangan memelukku erat.
“Terima
kasih sudah membangunkan kami, Ilana. Selanjutnya, serahkan saja pada kami.”
Bisik beliau.
Ibu
melepaskan pelukannya dan menatap Harry Savagers. Aku agak merinding melihat
tatapan beliau yang seolah ingin memakan Harry bulat-bulat.
Oh,
tapi kurasa beliau akan melakukannya.
“Baiklah… permainan yang ayahmu dulu buat untukku
akan kumulai lagi.” kata Ibu, lalu menoleh kearah Ayah, “Seperti biasanya. Tapi
sebelumnya kita harus pindah ke tempat yang lebih luas.”
Ayah
tersenyum sambil mengedikkan bahu. Aku tidak tahu apa maksud senyuman beliau
itu, namun sedetik kemudian, aku paham maksudnya.
Diiringi
suara retakan gua, Ayah melepaskan sayapnya dan juga kekuatannya yang…
sebenarnya.
***
Ketika aku mendengar Selene dan Arslan yang
terbangun dari tidur panjang mereka, aku menarik nafas antara lega dan was-was.
Kenapa aku was-was? Karena kalau mereka
berdua terbangun, itu artinya Ilana sudah memberikan darahnya pada mereka
berdua.
Aku tidak menyebutnya sebagai hal buruk.
Tapi, kalau saja kalian tahu bagaimana mereka berdua jika sudah terbangun,
membunuh, dan menggunakan kekuatan mereka yang… sangat besar itu, seluruh dunia
mungkin akan terguncang.
Dan ketika Selene menyuruh Arslan
membawa kami semua ke tempat yang lebih luas, aku langsung menyerang balik
Harry, tepat ketika Arslan melepaskan sayapnya dan membuat langit-langit gua
runtuh seketika.
Oke. Pernah dengar kalau sebuah bom
meledak di tempat tertutup, ledakannya akan jauh lebih besar. Oh, kalau kalian
belum pernah dengar teori itu, lupakan saja.
Yang jelas, aku langsung berlari kearah
Ilana tepat sebelum ‘ledakan’ yang dibuat Arslan terjadi dan melindunginya dari
reruntuhan batu yang hendak mengenainya. Telingaku agak berdenging ketika
mendengar bunyi ledakan besar di belakangku.
Aku bersyukur aku bukan manusia biasa.
Karena kalau aku masih manusia, aku yakin tubuhku sudah hancur
berkeping-keping.
Maaf, lupakan perumpamaan barusan, kalau
kalian merasa jijik.
“A, aduh… Gabriel, berat…” Ilana mencoba
mendorongku menjauh.
“Maaf,” aku langsung menyingkir ke
sampingnya dan menepis debu dan batu-batu yang menempel di pakaianku.
Dan… kalau kalian ingin tahu seperti apa
keadaan gua yang gelap barusan—oh, kalian sudah tahu rupanya.
Ya. Langit malam yang diselimuti oleh
awan yang sama gelapnya berada di atas kami. Hujan rintik-rintik mulai
membasahi bumi, dan segera berubah menjadi deras ketika kami semua pulih dari
keterkejutan karena ledakan tadi.
Arslan menatapku sambil tersenyum lebar,
dan aku harus menahan diri agar tidak menyerang kearahnya karena sudah membuat
ledakan yang membuat kami kaget setengah mati. Yang harus diserang tentu saja
bukan dia.
“Sangat menyenangkan bisa melihat langit
malam lagi,” Selene mendekat kearah Raven yang ternyata melindungi Vanessa dari
batu-batu gua. “Kulihat kamu mulai menjadi pria yang tampan, Raven sayang.”
“Ibu… lain kali, tolong peringatkan dulu
kalau ingin membuat Big Bang.” Kata
pemuda itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, membersihkan debu dan kotoran
yang menempel di rambutnya.
“Kalian berdua benar-benar membuatku
harus bekerja ekstra.” Kata Raven lagi, “Aku bahkan sampai harus mengungsi ke
tempat lain karena istana sudah tidak aman lagi.”
Selene hanya tersenyum manis dan menatap
Vanessa yang berada dalam pelukan Raven sekilas.
“Apa gadis ini kehilangan pelindungnya?
Aku merasakan auranya sama denganku.”
“Ya. Aku melihat pelindungnya dibunuh.”
jawab Raven.
“Hmm…” Selene mengangguk-angguk, “Kalau
begitu, jaga gadis itu baik-baik, Raven. Ibu dan ayahmu akan mengurus sesuatu
dulu.”
“Dengan senang hati.” jawab Raven, dan
membuatku mengerutkan kening.
“Gabriel, apa kedua orangtuaku memang
selalu seperti ini?” tanya Ilana yang berada di sampingku.
“Percayalah, jika aku bilang mereka
berdua seperti orang yang haus darah ketika melakukan ‘tugas’ mereka, kamu
tidak akan tahu seberapa mengerikan kekuatan mereka.”
Ilana hanya diam mendengarnya.
“Kurasa sebaiknya aku membantu mereka,”
kataku, “Biar bagaimanapun, Harry Savagers sudah menculikmu dan membuatmu
terluka seperti itu.”
Dia mengerutkan kening dan menatap
sekujur tubuhnya.
“Oh, ya… benar juga.” Katanya.
Aku lalu hendak mendekati Selene dan
Arslan, ketika tangan Ilana menggenggam tanganku.
“T, tunggu, Gabriel. Ada sesuatu yang
ingin kutanyakan padamu.” Katanya.
“Ya?”
Dia menatapku sebentar, kemudian
menggelengkan kepalanya.
“Sepertinya aku tidak bisa menanyakannya
padamu sekarang.” ujarnya, “Mungkin lain kali. Tolong… jangan sampai kamu
meninggalkan aku lagi.”
Aku mengerutkan kening mendengarnya. Tapi
tidak bertanya lebih lanjut. Aku menghampiri Selene dan Arslan yang
bersiap-siap menghadapi Harry Savagers yang tengah berusaha berdiri dari balik
reruntuhan.
“Kulihat kamu makin akrab dengan
putriku,” kata Arslan sambil menguap, “Kuharap kamu menjaganya dengan baik,
Gabriel. Aku masih ingat sumpah yang kamu ucapkan di hadapan kami ketika dia
baru saja lahir.”
“Aku ingin sekali mengingatnya,
sayangnya setelah benar-benar menjadi Shadow seutuhnya, aku nyaris tidak ingat semua
kehidupanku ketika masih manusia.” Ujarku.
“Oh, aku akan mengatasi hal itu.” Selene
tersenyum manis, “Aku akan membuatmu mengingat semuanya, Kak. Tapi, sekarang
bukan itu yang akan kita urus saat ini.”
“Kau benar,” aku mengangguk, “Dan… kurasa
Harry Savagers tidak akan menyerang kita sendirian kali ini.”
Tepat setelah aku mengucapkan itu, dari
balik pepohonan, muncul beberapa bayangan yang mengenakan mantel hitam. Ya…
kalau kalian ingin menebaknya sebagai Shadow, aku hanya bisa mengatakan:
Kalian luar biasa. Tebakan jitu.
Dan coba tebak siapa pemimpin mereka?
Wow, kalian benar lagi.
Verilo muncul dari balik salah satu
pohon. Masih mengenakan mantel merah yang selalu dipakainya. Pria itu maju dan
mendekat kearah Harry, yang seakan menunggunya sejak tadi. Verilo menatapku
dengan tatapan bengis yang dia bisa, yang jujur saja, tidak berpengaruh padaku.
“Verilo, lama tidak bertemu.” Kata
Arslan yang berdiri di sebelahku, “Terakhir kali aku melihatmu, mantel merah
itu tidak pernah kamu kenakan. Apakah Tetua Tertinggi yang memberikan mantel
itu padamu?”
“Mereka memberikan kekuasaan penuh untuk
membunuhmu, Yang Mulia Raja.” Kata Verilo dengan nada sedikit menyindir.
“Bersama dengan semua keturunanmu, juga istri kesayanganmu itu.”
Kulirik Selene tampak diam, namun mata
merahnya memancarkan kemarahan yang amat sangat. Aku segera menepuk bahunya dan
menggeleng mengisyaratkannya agar tidak menyerang secara langsung seperti yang
pernah dilakukannya dulu.
Selene mengangguk pelan dan mundur
selangkah, membiarkan Arslan berdiri tepat di depan untuk melindunginya.
“Selene tidak ada hubungannya dengan
para Shadow. Kalau kalian membicarakan dosa di masa lalunya, itu memang tidak
termaafkan. Mengubah kita semua menjadi seperti sekarang.” ujar Arslan, “Tapi,
ada sisi baiknya, kan? Kalian memiliki keabadian dan tidak pernah menua. Dua
hal yang sangat diinginkan manusia biasa.”
Harry tampak seperti tertawa alih-alih
mendengus. Pria itu tampaknya ingin tertawa mendengar ucapan Arslan.
“Yah… cukup basa-basinya.” Kata Verilo,
“Aku tidak sabar ingin memenggal kepalamu dan juga seluruh keluargamu.
Bagaimana rasanya jika kita tidak bisa lagi melakukan regenarasi pada tubuh
kita ketika kesadaran kita tidak ada lagi, ya?”
“Aku sangat ingin merasakannya. Tapi
sayangnya, aku punya keluarga yang harus dilindungi.” Arslan tersenyum simpul.
“Seperti dulu, kan?”
Dan begitu saja, pertarungan kembali
dimulai.
***
Aku
menatap pertarungan di hadapanku dengan mulut menganga.
Oke.
Mungkin tidak menganga, tapi aku cukup takjub dengan kecepatan serta kekuatan
ayahku ketika melawan Verilo. Kekuatan beliau… dan kecepatannya… lebih tinggi
daripada Shadow maupun Hunter.
Kemudian
ibuku ikut bertarung, dan aku melihat sekelebat sayap sehitam malam di
punggungnya ketika dia menyerang Harry dan juga Shadow-Shadow yang ada di sana.
Dibantu Gabriel, tentu saja. Dan jika kalian ingin tahu, kekuatan mereka
bertiga kalau disatukan ternyata mengerikan.
Aku
serius.
“Huft…”
Aku
menoleh dan melihat kakakku meletakkan Vanessa yang pingsan di dekatku. Pelipis
kanan Kak Raven mengeluarkan darah. Dan aku melakukan gerakan tanpa sadar
mengelus darah yang mengalir di wajahnya.
“Sakit?”
tanyaku.
“Tidak…
ini, sih luka kecil.” Dia tersenyum, “Kamu tidak apa-apa, Ilana?”
Aku
mengangguk, kemudian menoleh kearah Vanessa.
“Dia
akan sadar sebentar lagi. Tapi mungkin dia akan mencoba menyerang lagi.” kata
Kak Raven, “Tolong, gunakan kekuatanmu memanggil sulur-sulur tanaman, lalu ikat
dia dengan sulur-sulur itu.”
“Eh?”
“Lakukan
saja.” tegasnya.
Aku
memanggil sulur-sulur tanaman hijau, seperti yang kulakukan pada peti kedua
orangtuaku tadi, aku mengikat Vanessa. Kedua tangan dan kakinya kuikat agar dia
tidak leluasa bergerak. Setelah memastikan ikatan sulur-sulur tanaman itu cukup
kencang untuk mengekangnya. Kak Raven menunduk dan menyibakkan rambut yang menutupi
leher Vanessa.
“Kamu
mau apa, Kak?” tanyaku bingung.
“Hanya
ada satu cara agar dia tidak lagi menyerang kita. Dan sebenarnya aku tidak suka
menggunakan cara ini.” katanya tenang, “Kalau kamu mau memalingkan wajahmu
kearah lain, silakan saja. Soalnya ini sedikit… menjijijkkan.”
Dibilang
begitu, aku malah tambah penasaran. Aku memperhatikan Kak Raven mendekatkan
wajahnya ke leher Vanessa, dan…
Oke.
Aku akui itu sedikit menjijikkan, tapi juga… astaga. Pikiranku mulai kacau!
Kak
Raven menggigit leher Vanessa, layaknya vampire. Aku mendengar suara degukan
dari tenggorokannya, tanda kalau dia meminum darah Vanessa. Tubuh Vanessa
bergetar dan mulutnya sedikit terbuka, namun kedua matanya tidak membuka.
Tubuhnya menggelepar sesaat sebelum kemudian diam lagi. Kak Raven mengangkat
wajahnya dari leher Vanessa. Jejak darah masih menempel di bibirnya, dan dia
dengan tenangnya menjilat darah itu di hadapanku.
“Kak,
jangan lakukan itu di hadapanku. Itu menjijikkan.” Kataku.
“Maaf.
Tapi bukankah sudah kubilang kalau kamu boleh memalingkan wajah kearah lain
kalau merasa ini akan menjijikkan?” balasnya.
Aku
menghiraukan protesnya dan menatap Vanessa, “Apa yang Kakak lakukan padanya?”
“Mematikan
program yang bersarang di otaknya.” Jawabnya, “Program yang sama seperti yang
tertanam dalam otak Ibu. Tapi, ini versi yang cukup lemah, sehingga aku bisa
dengan mudah menghancurkan program itu dengan racunku.”
“Racun?”
“Sebagai
keturunan langsung dari Arslan Beverill dan juga Selene Edelweiss, kita
memiliki racun yang bisa mematikan program yang dibuat Kegnant Faradis. Ayah
yang mengatakannya padaku.” katanya lagi.
“Apa
aku juga memiliki racun seperti itu?” tanyaku lagi, mengerutkan kening karena
sedikit… oke, jijik.
“Tentu
saja. Tapi…” Kak Raven menatapku sebentar, “Kekuatanmu belum sepenuhnya
terbuka. Dulu Ibu menyegel kekuatanmu karena kekuatanmu terlalu besar,
sementara tubuhmu sangat lemah. Kamu hampir mati berkali-kali ketika kekuatanmu
lepas. Kalau kekuatanmu yang besar itu
dilepaskan, sebelah matamu akan berubah warna menjadi merah seperti milik Ibu.”
“Aku…
punya kekuatan yang sangat besar?”
“Ya.
Hanya saja sejak dulu tubuhmu lemah. Dan untuk menghindarkanmu dari kematian,
Ibu memutuskan menyegel kekuatanmu agar kamu bisa tetap hidup.”
Suara
ledakan di belakang kami membuatku menoleh, dan aku menatap ngeri ketika melihat
Gabriel tergeletak di tanah. Harry berdiri di hadapannya. Dan walau saat ini
gelap, tapi karena ada sinar bulan yang masih bersedia menemani sementara hujan
semakin deras, aku bisa melihat wajah bengis Harry.
Dan
kalian harus tahu, jika wajahnya seperti itu, itu artinya tidak bagus.
“Gabriel!!”
Aku
bergegas berdiri, namun rasa sakit akibat luka-luka yang kudapat karena
jarum-jarum infuse yang dipasang Harry sebelumnya dan juga kelelahan, aku
kembali terjatuh. Aku merasa payah, dan lemah.
“Gabriel!!”
“Jangan
kemari!” serunya, “Jangan coba-coba kemari! Aku bisa mengatasinya!”
Aku
tidak sempat menjawab ketika Gabriel kembali berdiri, kemudian kembali
menyerang Harry. Mereka berdua kembali terlibat pertarungan seru. Baik Ayah,
Ibu, dan juga Gabriel, mereka bertiga terus bertarung dan aku tidak bisa
berbuat apa-apa.
Sial.
Aku benci ketika aku merasa lemah seperti ini.
Kak
Raven berdiri di sampingku dan membantuku berdiri. Dia mendudukkanku di dekat
Vanessa yang masih pingsan.
“Seharusnya
kamu tidak gegabah berdiri tadi.” katanya. “Aku akan menyembuhkan lukamu dengna
sari bunga Edelweiss, tunggu sebentar.”
Aku
tidak memperhatikannya dan memfokuskan pandanganku pada Gabriel yang sedang
‘menghajar’ Verilo dan Harry bersamaan. Aku ingin membantunya. Tapi aku tidak
mungkin bisa melakukannya dengan tubuhku yang sekarang sedang terluka dan
fisikku yang kelelahan.
Seandainya
aku punya kekuatan yang lebih besar…
Kau ingin kekuatan?
“Apa?”
“Apanya
yang apa, Ilana?” tanya Kak Raven.
“T,
tidak… aku tadi mendengar suara…” kataku dengan suara yang seakan tenggelam.
Aku
kembali mendengar suara itu lebih jelas. Dan kali ini, aku juga melihat
bayangan seorang gadis yang tengah berdiri di hadapanku, dengan rambut yang
sama denganku, wajah yang sama, dan…
Tunggu.
Dua bola matanya berbeda warna. Yang satu berwarna merah, dan yang satunya
berwarna ungu.
Gadis
itu tersenyum padaku dan mulutnya bergerak menanyakan pertanyaan yang sama
seperti yang tadi ditanyakannya.
Apa kau ingin kekuatan?
“Aku…
aku…”
Aku adalah dirimu, dan kamu adalah
diriku. Kata gadis itu, aku
adalah kekuatanmu yang tersegel di dalam tubuhmu. Aku adalah kekuatanmu yang
sudah lama tertidur… bangunkan aku… bangunkan aku… cepatlah…
“—lana!
Ilana! Ilana!!!”
Aku
tersentak kaget dan menatap Kak Raven yang menatapku khawatir.
“Kak…
Raven?”
“Kamu…”
dia menyipitkan matanya, “… kamu melihat gadis bermata merah dan ungu dengan
wajah yang mirip denganmu?”
Bagaimana
dia bisa tahu?
Kak
Raven menghembuskan nafas dan menundukkan wajahnya. “Seharusnya aku tahu hari
ini akan datang.” katanya.
“A,
apa maksud Kakak?”
Belum
sempat dia menjawab, kami lagi-lagi mendengar suara ledakan. Kali ini aku
melihat ayahku dan Gabriel tersungkur di tanah, dan dari kegelapan malam, aku
bisa melihat darah di sekujur tubuh mereka.
“Kurang
ajar!!”
Ibuku
berteriak marah dan menyerang Verilo (yang sepertinya menjadi penyebab Ayah dan
Gabriel terluka) dengan kecepatan yang sangat… ganas.
“Ilana,”
Aku
menoleh kearah Kak Raven dan melihat matanya menatap tajam padaku.
“Kamu…
apa kamu ingin kekuatanmu kembali? Maksudku, kekuatanmu yang sebenarnya?”
0 komentar:
Posting Komentar